Saturday, May 27, 2023

Kisah "Taman Endog" dan Pasar Sandang Sumedang, dari Hoax hingga Fakta

ENTAH apa yang dipikirkan warga Sumedang saat pertama kali Taman Endog itu dibangun. Pada zaman, ketika sumber informasi sangat terbatas, dan percepatan sebaran informasi tak semassif hari ini, warga hanya bisa menerima satu sumber resmi.

Taman Endog Sumedang
Foto Koleksi Pribadi tahun 2021

 Untuk apa Taman Endog itu dibangun? Dalam rangka apa monumen di dekat jembatan pasifik itu didirikan?

Hanya orang-orang pemerintahan dan kalangan tertentu yang tahu. Mereka yang bertanya, mencatat, dan mengabarkan, mungkin merasa lebih nyaman menyimpan cerita-cerita lain di luar jawaban resmi sebagai catatan pribadi.

Saya sendiri masih duduk di kelas 2 bangku SMP saat Taman Endog diresmikan. Dan tulisan ini berdasar pada ingatan seorang anak berusia 14 tahun tentang apa yang dilihat dan didengarnya. Jadi jangan dianggap serius.

Sebagai pelengkap, saya masukan pula narasi yang berasal dari dokumen dan buku-buku sejarah tentang kota leutik campernik itu.
**
Saat menjabat sebagai Regent van Sumedang, Pangeran Aria Soeri Atmadja melakukan penataan kawasan Kota Sumedang. Untuk kawasan bisnis dan perdagangan (selanjutnya kita sebut sebagai pasar), itu ditempatkan sekitar 1 kilometer dari Gedong Bengkok yang menjadi kantor pusat pemerintahan saat itu.

Di kawasan pasar itu, dibangun pula pos polisi yang hingga pertengahan dekada 2000-an, kita kenal sebagai Markas Polsek Sumedang Utara. Kini kembali menjadi pos polisi, setelah Mapolsek Sumedang Utara menempati bangunan baru di kawasan Rancamulya.

Seiring laju pertumbuhan penduduk, dan dinamika sosial ekonomi di Sumedang hingga akhir dekade 1980-an, lokasi pasar utama sudah sesak oleh pedagang. Los-los pasar yang berada tepat di pinggir Jalan Mayor Abdurahman berpotensi menimbulkan kesemwarutan tata kota. Maka, Pemerintah Daerah TIngkat 2 Kabupaten Sumedang saat itu berencana melakukan relokasi dan menata ulang pasar sandang Sumedang.

Tentu tak mudah mengubah mindset dan kebiasaan. Tak mudah meyakinkan para pedagang untuk ditempatkan ke lokasi baru. Besar atau kecil, pasti ada penentangan dari kaum pedagang.

Meski di zaman itu, sangat mudah Pemerintah menggunakan tangan besi, tapi saya berasumi, Pemkab Sumedang yang dipimpin oleh Bupati Drs. H. Sutardja, memilih jalan persuasif. Dan untuk itu, tentu saja selalu butuh alasan yang bisa diterima terutama oleh hati dan keyakinan warga Sumedang umumnya.

Nah, saya ingat betul, saat itu berkembang isu (saya sendiri saat ini menilai itu adalah hoax) bahwa di kalangan warga Sumedang, bahwa konon pemerintah pusat melalui Pak Sudomo (Mantan Pangkopkamtib, seorang menteri yang sangat berpengaruh di zaman itu, dan beragam Kristen), akan membangun sebuah gereja di tengah Kota Sumedang. Pemerintah pusat meminta lahan pasar untuk direlokasi, karena lahan itu dipilih untuk dibangun sebuah gereja.

"Cenah mah, Sudomo rek ngabangun gereja di dieu, jadi ku Pak Sutardja (Bupati Sumedang) dipiheulaan we dijieun taman," ujar Mang Uca Cahyana, salah seorang pedagang pasar yang akrab dengan saya, dulu. Kenapa akrab? Karena dia dulu pernah kos di rumah nenek saya.

Tentu saja, kita tidak bisa percaya begitu saja dengan kabar yang disampaikan Mang Uca seperti itu. Bahkan mungkin tertawa kecil mendengarnya.

Tapi benak saya menilai saat ini ucapan Mang Uca itu cukup logis sebagai suatu alasan yang sengaja dibuat pihak tertentu (entah siapa), agar tidak terjadi penentangan dari kaum pedagang di pasar yang akan direlokasi.

Memang, situasi sosial politik zaman itu, ketika rezim Orde Baru terkesan menekan kelompok-kelompok Islam. Kasus Tanjungpriok (1983), dan Tragedi Woyla (1984), terekam kuat dalam ikatan kolektif masyarakat Indonesia termasuk warga Sumedang.

Jadi, daripada dibangun gereja ditempat itu yang pastinya akan bertentangan dengan hati dan keyakinan kebanyakan kaum Muslim di Sumedang, maka Bupati Sutardja mendahuluinya dengan membangun sebuah taman. Begitulah kira-kira. Ya..anggap saja cocoklogi. hehehe...

Wallahu alam bisshowwab. Tapi yang pasti, relokasi pasar sandang itu terjadi dengan mulus. Pedagang setuju dan dengan tertib memindahkan kiosnya, mengisi kios di los-los pasar yang baru di sebelah timur.

Lalu, sebuah taman pun dibangun, lengkap dengan patung Endog (telur) yang sedang disangga oleh dua belah tangan. Taman dan patung endog itu selesai dibangun tahun 1991 dan diresmikan oleh Bupati Sutardja.

Maka, kawasan itu pun tidak lagi nampak kumuh. Jalan Mayor Abdurachman sampai pertigaan ke arah Panyingkiran, yang biasanya macet oleh aktifitas pedagang, pembeli serta kendaraan angkutan umum, jadi lancar dan tetata lebih rapih.

Nah, jadi mungkin inilah sebetulnya tujuan dari relokasi dan pembangunan taman Endog itu.

Pembangunannya sendiri berkat kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat II Sumedang dengan PT. Djarum. Itu tertera dalam prasasti tertulis di salah satu sisi monumen atau patung Endog itu.

Di sisi lainnya terdapat sebuah pesan bertuliskan :

Sumedang Tandang Nyandang Kahayang;

Pembangunan berbagai sendi kehidupan adalah milik kita. Roda kehidupan terus berputar, yang terlahir demi pembangunan, menempuh perjalanan panjang, pembangunan takkan pernah berhenti, kehati-hatian itu adalah kata hati kita, langkah kitalah yang menopang gerak pembangunan, keberhasilan pun sempat kita jelang, tapi perlu kita jaga lir ibarat nanggeuy endog beubeureumna.

Sumedang, 28 Oktober 1991,
Bupati / Kepala Daerah Tingkat II

Drs. H. Sutardja

Kalimat terakhir "lir ibarat nanggeuy endog beubeureumna", itu berupa peribahasa dalam bahasa Sunda yang dapat bermakna, menjaga dengan sungguh-sungguh, penuh kehati-hatian.  

Dari kalimat itu pula, ditambah dengan bentuk monumen di tengah taman itu sendiri, maka warga Sumedang kemudian sepakat menamai taman itu dengan Taman Endog.

Dulu ada teman saya yang menulis Taman Endog itu dengan padanan kata Bahasa Indonesia, sehingga ditulisnya jadi "Taman Telur". Saya protes. Alasannya, pertama, karena penulisan untuk nama tempat itu tidak harus diterjemahkan. Kedua, ya tidak enak saja didengarnya. Hehehe... 

***
Selanjutnya, dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya sekitar akhir tahun 2015, kawasan pasar sandang direnovasi dan direvitalisasi, sehingga nampak seperti saat ini. Pihak swasta bermodal besar masuk menjadi investor dalam proyek itu.

Penolakan atas rencana itu warga pedagang pasar terjadi besar-besaran. Pembongkaran los bangunan pasar sampai dilakukan di malam hari dengan kawalan ketat Satpol PP yang dibantu Polisi dan TNI. Saat alat-alat berat itu mulai beroperasi, para pedagang masih melakukan perlawanan, meski bentrokan besar tidak terjadi.

Untunglah, semua pihak berkoordinasi . Meski harus berjalan dengan alot, jalan musyawarah dengan para pedagang pasar akhirnya menuai kesepakatan. Bangunan dan los-los pasar yang baru pun kemudian berhasil dibangun lebih tetata rapi dan dibuat menjadi tiga lantai.

Tapi tantangan zaman tidak berhenti. Era disrupsi digital datang, menggeser perilaku pembeli. Para konsumen kini (terutama kaum milenial) lebih senang berbelanja online.

Entah ada hubungannya atau tidak, tapi sampai saat ini banyak kios-kios di lantai dua dan tiga pasar itu yang tutup, tak terisi. Dan pera pemilik kios di lantai satu pun kerap mengeluh sepi pembeli.

Demikianlah.

6 comments:

  1. Dulu kantor polisi itu disebut poces ternyata polsek Sumedang Utara nama resminya ya 😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe... menurut KBBI, "Poces" itu permainan adu kelereng atau Ngadu Kaleci ceuk urang Sumedang mah.... Memang saat itu, Mapolsek Utara disebut POCES...mungkin serapan dari bahasa belanda..Wallahualam.

      Delete
  2. Kantun dijaga dengan konsisten ayeuna mah. Tos rapih teu katingali kumuh tos ditertibkeun mah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya...dan menjaga itu adalah tugas kita semua warga kabupaten sumedang

      Delete
  3. Alhamdulillah ....maa syaa Allah...tabaarokAllah

    ReplyDelete