Showing posts with label catatanku. Show all posts
Showing posts with label catatanku. Show all posts

Tuesday, May 30, 2023

Leuhang, Pengobatan Alternatif Warisan Leluhur Sunda

SAUNA sebagai media pengobatan tidak hanya ada dalam budaya Tiongkok atau Jepang. Ternyata, para leluhur Sunda di tatar Parahyangan telah lama mengenal Leuhang, pengobatan alternatif menggunakan media uap yang didihkan dengan campuran rempah-rempah khas Indonesia.

Keberadaan Leuhang itu dilestarikan oleh Yana Suryana (57) warga Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Sejak 2011 ia mempopulerkan kembali leuhang. Menurut Yana, jauh sebelum muncul sauna yang mengadopsi kultur di Tiongkok atau Jepang, leuhang sudah lebih dulu digunakan oleh para leluhur sunda sebagai media pengobatan alternatif.

Menurut Yana, khasiat leuhang tidak kalah hebat untuk menyembuhkan berbagai kesehatan. Dengan ramuan rempah-rempah yang khas, para pengguna leuhang seolah terbius dan dibuat rilex dengan wewangian serupa aroma terapi.

"Kehadiran leuhang diperkirakan lahir berbarengan etnis sunda. Orang tua kita terlebih dahulu biasa merebus berbagai rempah, kemudian air tampung di dalam wadah dan ditutup oleh kain. Lalu orang tersebut masuk kedalam kain untuk menguapi badan. Tetapi yang membedakan dengan sauna modern, aroma rempah-rempah sangat berkhasiat untuk kesehatan," kata Yana yang akrab disapa Uwa saat dijumpai tempat praktik leuhang miliknya di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, kemarin (1/9/2017)

Berawal dari hal itulah, Yana mengatakan jika saat ini banyak orang yang mengobati berbagai penyakitnya dengan leuhang. Maka dari situlah mulai banyak masyarakat yang berminat untuk melakukan pengobatan leuhang. Selain berguna untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, Yana pun mengklaim jika leuhang pun membantu melancarkan peredaran darah, sekaligus mengeluarkan toksin (racun) dalam tubuh melalui keringat.

"Mudah-mudahan semua penyakit bisa hilang dengan terapi pengobatan leuhang. Hal itu dikarenakan racun tubuh keluar bersama keringat," katanya.

Namun seiring perkembangan zaman serta teknologi, Yana mengatakan jika leuhang seolah kuno di mata masyarakat. Menjamurnya jumlah sauna dan kemudian menjadi trend pasar, membuat masyarakat kini beranggapan sauna lebih modern dan kekinian.

"Saya memutuskan untuk kembali ke Cisondari untuk menekuni dan mengembangkan leuhang. Ini dilakukan untuk menyelamatkan warisan leluhur, saya pun berinovasi dengan membuat sebuah alat berbentuk kotak untuk mandi uap," katanya.

Sebelum digunakan untuk masyarakat banyak, Yana mengatakan jika dirinya telah mengukur suhu panas serta kemampuan daya tahan tubuh manusia saat berada dalam kota leuhang tersebut. Untuk berada dalam kota leuhang setiap orang hanya mampu selama 15 menit saja. Tetapi itu bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan maupun fisik.

"Rempah-rempah yang digunakan yaitu daun sirih, kayu manis, sereh, daun jeruk dan honje. Itu semua adalah ciptaan yang maha kuasa untuk kita manusia nikmati. Maka dari sayang jika kekayaan alam harus dimusnahkan begitu saja," kata Yana.

Disinggung mengenai tarif untuk satu kali terapi, Yana mengatakan jika dirinya tidak pernah mematok sama kali harga kepada pasiennya. Ia pun menambahkan jika ia yang lakukan adalah sebuah bentuk keiklahlasan untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Selain itu leuhang sebagai wujud bagaimana tanah sunda memiliki keanekaragaman budaya.

Sementara salah seorang pengobatan leuhang, Lili Setia Darma mengatakan jika selama beberapa kali merupakan terapi dirinya mengakui adanya perubahan membaik dalam tubuhnya diantaranya penyakit kolesterol, darah tinggi dan asam urat yang semakin membaik. Selanjutnya Lili mengatakan jika melalui pengobatan medis‎, dirinya Akui tidak adanya perubahan yang signifikan.

"Menepis anggapan selama ini jika teknik pengobatan medis modern adalah satu-satunya cara, padahal sebagai orang Sunda telah diwarisi budaya pengobatan yang sangat luar biasa oleh para leluhur,” tandasnya. ***

(Tulisan ini hasil suntingan saya di tahun 2017, saat masih bekerja di sebuah surat kabar harian yang terbit di kota Bandung)

Sunday, May 28, 2023

Saat Bung Karno Kagumi Gemulai Para Penari Klasik Sumedang

Gemulai para penari menyambut kedatangan Ir. Soekarno, yang berkunjung ke Sumedang pada tahun 1956. Pemimpin Besar Revolusi itu pun kemudian memboyong sejumlah penari dan seniman Sumedang untuk mementaskan tari klasik sunda karya R. Ono Lesmana Kartadikusuma ke Istana Merdeka.


Sosok Bung Karno memang dikenal sangat mencintai kesenian dan keindahan. Banyak fakta dan cerita yang menunjuk betapa pemimpin besar revolusi, panglima tertinggi angkatan perang di masa orde lama itu memiliki kelembutan hati, dan punya apresiasi yang tinggi terhadap kesenian.

Bung Karno
Sumber: net
Saat Kabupaten Sumedang dipimpin oleh Bupati Sulaeman Sumitakusumah, pada tahun 1956, Presiden Soekarno itu melakukan kunjungan kerja ke Sumedang. Bung Karno disambut dengan antusias oleh rakyat Kabupaten Sumedang.

Dan seperti tamu-tamu agung lainnya, Bung Karno di sambut dengan gemulai penari-penari asal Sumedang di Gedung Srimanganti.

Saya tahu hal itu, ketika berbincang dengan almarhum R. Ahmad Wiriatmadja, di beranda Gedung Srimanganti, Komplek Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, sekitar tahun 2012, . Saat itu beliau tercatat sebagai Ketua Pemangku Adat Keraton Sumedang.

“Saat itu Bung Karno disambut dengan Tari Topeng. Dan juga beberapa tarian karya putra Sumedang, R. Ono Lesmana Kartadikusuma. Bung Karno sangat tertarik dan memuji penampilan para penari, sehingga diboyong untuk dipentaskan di Istana Merdeka,” ujarnya.

Pria sepuh yang akrab dipanggil Aom Ahmad ini pun melanjutkan kisahnya. Karena tertarik dengan gemulai para penari, Bung Karno memboyong sejumlah penari itu ke Istana Merdeka

“Yang jadi penari istana waktu itu seperti Ibu Idar dan Ibu Tati,” kata Aom.

Diketahui, R. Ono Lesmana Katadikusumah adalah seorang putra Sumedang. Ia mulai mencipta dan mengajarkan Tari Wayang pada tahun 1926. Di adalah salah satu maestro dalam hal penciptaan tari-tari klasik sunda.

Selain Tari Wayang, karya terkenal R. Ono antara lain Tari Jayengrana, Jakasona, dan Suraning Pati. Mulai tahun 1986 tarian-tarian karya R. Ono dilestarikan dan dilatihkan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang

Lebih dalam, Aom Ahmad menilai apresiasi terhadap seni-seni klasik di zaman modern sangat mahal dan langka pada jaman sekarang.


Anak-anak belajar menari tari klasik di Gedung Srimanganti
Foto Koleksi "Sang Kelana", 2011
Menurutnya, semangat untuk memelihara dan ngamumule (memulyakan-red) seni-seni tradisional klasik seperti tarian karya R. Ono Lesmana itu bukan berarti mengajak kembali ke kehidupan masa lalu.

Bila tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan berbentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika, maka menurut Aom, ada nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam setiap gemulai gerakan tari, terutama dalam mengolah rasa.

“Kita bisa belajar ada saatnya harus bersikap keras, tapi ada saatnya hati itu harus lembut,” demikian pesan yang bisa saya simak dari seorang sesepuh Sumedang kala itu.

Memang, di zaman ini, hiburan telah menjadi industri, dan industri akan selalu berorientasi pada selera pasar. Mari kita simak baik, apakah pementasan Tari Klasik misalnya, akan seheboh rencana konser grup band "Coldplay"? Saya kira jauh tanah ke langit.

Upaya-upaya untuk mendorong, baik secara formal melalui kebijakan maupun secara informal melalui lembaga-lembaga seni untuk mempertahankan kehadiran seni tradisi, memang kerap dilakukan.

Namun pada kenyataannya tidaklah serta merta menjamin berkembang dan dekatnya kedudukan seni tradisi tersebut di masyarakat luas. Bahkan mungkin para agennya telah sampai pada titik jenuh dan kelelahan. (*)

Saturday, May 27, 2023

Betapa Kita Mudah Terjebak Syakwasangka (Merenungi Kasus Yana "yang hilang" di Cadaspangeran, Tahun 2021)

PADA bulan November 2021, publik Sumedang bahkan Indonesia, dihebohkan oleh "hilangnya" Yana Supriatna, warga Desa Sukajaya Kec. Sumedang Selatan, di kawasan Cadaspangeran. Banyak kasus orang hilang, tapi rasanya tak seheboh itu. Mengapa? Karena manusia memang takut oleh hal-hal yang tak kasat mata atau gaib.

Ilustrasi: Ular Kuning asli di Alun-alun Sumedang
Masyarakat pernah heboh oleh berita seorang pemuda bernama
Yana Supriatna hilang disembunyikan oleh Siluman Ular Kuning di Cadaspangeran
  
Tiga hari sejak dilaporkan hilang Senin (15/11/2021) lalu, Yana akhirnya ditemukan Kamis (18/11/2021). Jauh dari sangkaan, dia ditemukan dalam keadaan sehat wal afiat di kawasan Dawuan Kabupaten Majalengka. Semua geleng-geleng kepala. Kata seorang teman, Yana sukses membuat lelucon yang bikin polisi, tentara, basarnas, warga biasa, hingga paranormal berkata dengan intonasi yang sama: "sialan, gua kena prank!".

Laporan orang hilang bukan hal yang baru. Tapi hilang di Cadaspangeran, mudah membuat orang membuat spekulasi, terutama hal yang berbau mistis. Maklum, mitos tentang kawasan itu sudah berurat akar, terutama di Sumedang.

Dan bumbu cerita mistis pun begitu manis dikunyah oleh media massa, setelah Yana mengirim voice note yang isinya mengesankan dia hilang secara misterius. Maka asumsi miring bahwa Yana diculik mahluk halus, segera saja mendapat tempat pertama di benak publik.

Singkat kata, kasus hilangnya Yana secara misterius jadi trending topik karena masyarakat kita memang hampir selalu mabuk oleh cerita-cerita misteri. Lumrah memang, karena siapapun kita, selalu sama-sama resah oleh ketidakpastian. Yang berbeda adalah respon dan tindakan.

Demikianlah. Saya teringat bulan-bulan pertama wabah covid-19 mulai menyerang, menghebohkan, dan mengguncang seluruh aspek kemanusiaan secara global. Seketika, warga dunia panik dan suasana ketidakpastian berkembang memayungi perihidup kita sehari-hari.

Spekulasi bermunculan. Debat kusir di mana-mana. Teori-teori, dari yang remeh temeh, hingga konspirasi yang rumit pun, lalu lalang di perangkat genggam komunikasi kita. Logika dan mitos campur aduk. Produksi hoax di mana-mana, berseteru head to head dengan mereka yang menyaksikan atau merasakan langsung bagaimana ketika covid-19 menginfeksi tubuh.

Mengapa? Karena covid-19 tak kasat mata. Ia ghoib secara harfiyah. Ia ada, namun tak nampak oleh mata telanjang.

Dalam menghadapi situasi seperti itu, yang bisa dilakukan adalah waspada, waspada lagi, dan terus waspada. Pepatah lama, "mengecah jauh lebih baik daripada mengobati", layak kita pegang. Ketika protokol kesehatan dirumuskan para ahli lalu dilegitimasi menjadi kebijakan oleh pemerintah, itu saja yang bisa kita lakukan. Meski dalam hati ada yang berbisik sambil terkekeh; "setinggi-tinggi sekolah, sekeras-kerasnya otak berfikir tentang mikrobiologi, pada akhirnya kembali pada pelajaran taman kanak-kanak; rajin cuci tangan pakai sabun.

Tapi apa boleh buat. Hanya itu yang bisa kita pegang dan lakukan. Kita boleh mengkritisi kecenderungan perilaku korup penguasa. Kita boleh nyinyir dengan apa saja kebijakan yang dibuat pemerintah. Tapi sisakan sedikit dalam lubuk hati, bahwa tak ada satu pun orde atau pemerintahan yang hendak mengubur massal rakyatnya sendiri.

Toh, pelan tapi pasti, dalam kegalauan sehari-hari menjalani masa pandemi itu, muncul kesadaran betapa kesehatan itu mahal harganya. Betapa udara yang kita hirup adalah setinggi harga nyawa yang kita pertahankan. Serta kesadaran-kesadaran baru, yang bisa terus berkembang berbuah perilaku, kreasi dan hal-hal yang baru.

Dari upaya bertahan, kita jadi terbiasa. Dan konon, kemampuan beradaptasi jadi cara manusia menjadi mahluk yang paling mampu bertahan di muka bumi ini. Sisanya, Tuhan Maha Punya Rencana.

Suatu ketika, selepas menunaikan kewajiban waktu dzuhur, saya berbicang dengan seorang teman di pelataran masjd. Dia berkata; "orang yang meninggal karena wabah penyakit itu mati syahid. Jadi kenapa kita harus takut tak pakai masker", begitu ujarnya dalam bahasa sunda.

Saya tersenyum saja. Sambil memakai kembali sepatu saya dan menyimpulkan talinya, saya berujar menanggapinya.

"Orang yang mendapat syahid itu, mati karena berperang, bukan mati konyol. Kalau meninggal karena tak pakai masker, tak peduli protokol kesehatan saat wabah terjadi, itu ibarat memberikan leher untuk di tebas musuh. Ya mati konyol.... Assalaamu'alaikum!" ujar saya, sambil berlalu. (*)

Kisah "Taman Endog" dan Pasar Sandang Sumedang, dari Hoax hingga Fakta

ENTAH apa yang dipikirkan warga Sumedang saat pertama kali Taman Endog itu dibangun. Pada zaman, ketika sumber informasi sangat terbatas, dan percepatan sebaran informasi tak semassif hari ini, warga hanya bisa menerima satu sumber resmi.

Taman Endog Sumedang
Foto Koleksi Pribadi tahun 2021

 Untuk apa Taman Endog itu dibangun? Dalam rangka apa monumen di dekat jembatan pasifik itu didirikan?

Hanya orang-orang pemerintahan dan kalangan tertentu yang tahu. Mereka yang bertanya, mencatat, dan mengabarkan, mungkin merasa lebih nyaman menyimpan cerita-cerita lain di luar jawaban resmi sebagai catatan pribadi.

Saya sendiri masih duduk di kelas 2 bangku SMP saat Taman Endog diresmikan. Dan tulisan ini berdasar pada ingatan seorang anak berusia 14 tahun tentang apa yang dilihat dan didengarnya. Jadi jangan dianggap serius.

Sebagai pelengkap, saya masukan pula narasi yang berasal dari dokumen dan buku-buku sejarah tentang kota leutik campernik itu.
**
Saat menjabat sebagai Regent van Sumedang, Pangeran Aria Soeri Atmadja melakukan penataan kawasan Kota Sumedang. Untuk kawasan bisnis dan perdagangan (selanjutnya kita sebut sebagai pasar), itu ditempatkan sekitar 1 kilometer dari Gedong Bengkok yang menjadi kantor pusat pemerintahan saat itu.

Di kawasan pasar itu, dibangun pula pos polisi yang hingga pertengahan dekada 2000-an, kita kenal sebagai Markas Polsek Sumedang Utara. Kini kembali menjadi pos polisi, setelah Mapolsek Sumedang Utara menempati bangunan baru di kawasan Rancamulya.

Seiring laju pertumbuhan penduduk, dan dinamika sosial ekonomi di Sumedang hingga akhir dekade 1980-an, lokasi pasar utama sudah sesak oleh pedagang. Los-los pasar yang berada tepat di pinggir Jalan Mayor Abdurahman berpotensi menimbulkan kesemwarutan tata kota. Maka, Pemerintah Daerah TIngkat 2 Kabupaten Sumedang saat itu berencana melakukan relokasi dan menata ulang pasar sandang Sumedang.

Tentu tak mudah mengubah mindset dan kebiasaan. Tak mudah meyakinkan para pedagang untuk ditempatkan ke lokasi baru. Besar atau kecil, pasti ada penentangan dari kaum pedagang.

Meski di zaman itu, sangat mudah Pemerintah menggunakan tangan besi, tapi saya berasumi, Pemkab Sumedang yang dipimpin oleh Bupati Drs. H. Sutardja, memilih jalan persuasif. Dan untuk itu, tentu saja selalu butuh alasan yang bisa diterima terutama oleh hati dan keyakinan warga Sumedang umumnya.

Nah, saya ingat betul, saat itu berkembang isu (saya sendiri saat ini menilai itu adalah hoax) bahwa di kalangan warga Sumedang, bahwa konon pemerintah pusat melalui Pak Sudomo (Mantan Pangkopkamtib, seorang menteri yang sangat berpengaruh di zaman itu, dan beragam Kristen), akan membangun sebuah gereja di tengah Kota Sumedang. Pemerintah pusat meminta lahan pasar untuk direlokasi, karena lahan itu dipilih untuk dibangun sebuah gereja.

"Cenah mah, Sudomo rek ngabangun gereja di dieu, jadi ku Pak Sutardja (Bupati Sumedang) dipiheulaan we dijieun taman," ujar Mang Uca Cahyana, salah seorang pedagang pasar yang akrab dengan saya, dulu. Kenapa akrab? Karena dia dulu pernah kos di rumah nenek saya.

Tentu saja, kita tidak bisa percaya begitu saja dengan kabar yang disampaikan Mang Uca seperti itu. Bahkan mungkin tertawa kecil mendengarnya.

Tapi benak saya menilai saat ini ucapan Mang Uca itu cukup logis sebagai suatu alasan yang sengaja dibuat pihak tertentu (entah siapa), agar tidak terjadi penentangan dari kaum pedagang di pasar yang akan direlokasi.

Memang, situasi sosial politik zaman itu, ketika rezim Orde Baru terkesan menekan kelompok-kelompok Islam. Kasus Tanjungpriok (1983), dan Tragedi Woyla (1984), terekam kuat dalam ikatan kolektif masyarakat Indonesia termasuk warga Sumedang.

Jadi, daripada dibangun gereja ditempat itu yang pastinya akan bertentangan dengan hati dan keyakinan kebanyakan kaum Muslim di Sumedang, maka Bupati Sutardja mendahuluinya dengan membangun sebuah taman. Begitulah kira-kira. Ya..anggap saja cocoklogi. hehehe...

Wallahu alam bisshowwab. Tapi yang pasti, relokasi pasar sandang itu terjadi dengan mulus. Pedagang setuju dan dengan tertib memindahkan kiosnya, mengisi kios di los-los pasar yang baru di sebelah timur.

Lalu, sebuah taman pun dibangun, lengkap dengan patung Endog (telur) yang sedang disangga oleh dua belah tangan. Taman dan patung endog itu selesai dibangun tahun 1991 dan diresmikan oleh Bupati Sutardja.

Maka, kawasan itu pun tidak lagi nampak kumuh. Jalan Mayor Abdurachman sampai pertigaan ke arah Panyingkiran, yang biasanya macet oleh aktifitas pedagang, pembeli serta kendaraan angkutan umum, jadi lancar dan tetata lebih rapih.

Nah, jadi mungkin inilah sebetulnya tujuan dari relokasi dan pembangunan taman Endog itu.

Pembangunannya sendiri berkat kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat II Sumedang dengan PT. Djarum. Itu tertera dalam prasasti tertulis di salah satu sisi monumen atau patung Endog itu.

Di sisi lainnya terdapat sebuah pesan bertuliskan :

Sumedang Tandang Nyandang Kahayang;

Pembangunan berbagai sendi kehidupan adalah milik kita. Roda kehidupan terus berputar, yang terlahir demi pembangunan, menempuh perjalanan panjang, pembangunan takkan pernah berhenti, kehati-hatian itu adalah kata hati kita, langkah kitalah yang menopang gerak pembangunan, keberhasilan pun sempat kita jelang, tapi perlu kita jaga lir ibarat nanggeuy endog beubeureumna.

Sumedang, 28 Oktober 1991,
Bupati / Kepala Daerah Tingkat II

Drs. H. Sutardja

Kalimat terakhir "lir ibarat nanggeuy endog beubeureumna", itu berupa peribahasa dalam bahasa Sunda yang dapat bermakna, menjaga dengan sungguh-sungguh, penuh kehati-hatian.  

Dari kalimat itu pula, ditambah dengan bentuk monumen di tengah taman itu sendiri, maka warga Sumedang kemudian sepakat menamai taman itu dengan Taman Endog.

Dulu ada teman saya yang menulis Taman Endog itu dengan padanan kata Bahasa Indonesia, sehingga ditulisnya jadi "Taman Telur". Saya protes. Alasannya, pertama, karena penulisan untuk nama tempat itu tidak harus diterjemahkan. Kedua, ya tidak enak saja didengarnya. Hehehe... 

***
Selanjutnya, dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya sekitar akhir tahun 2015, kawasan pasar sandang direnovasi dan direvitalisasi, sehingga nampak seperti saat ini. Pihak swasta bermodal besar masuk menjadi investor dalam proyek itu.

Penolakan atas rencana itu warga pedagang pasar terjadi besar-besaran. Pembongkaran los bangunan pasar sampai dilakukan di malam hari dengan kawalan ketat Satpol PP yang dibantu Polisi dan TNI. Saat alat-alat berat itu mulai beroperasi, para pedagang masih melakukan perlawanan, meski bentrokan besar tidak terjadi.

Untunglah, semua pihak berkoordinasi . Meski harus berjalan dengan alot, jalan musyawarah dengan para pedagang pasar akhirnya menuai kesepakatan. Bangunan dan los-los pasar yang baru pun kemudian berhasil dibangun lebih tetata rapi dan dibuat menjadi tiga lantai.

Tapi tantangan zaman tidak berhenti. Era disrupsi digital datang, menggeser perilaku pembeli. Para konsumen kini (terutama kaum milenial) lebih senang berbelanja online.

Entah ada hubungannya atau tidak, tapi sampai saat ini banyak kios-kios di lantai dua dan tiga pasar itu yang tutup, tak terisi. Dan pera pemilik kios di lantai satu pun kerap mengeluh sepi pembeli.

Demikianlah.

Hiking ke Margawindu di Era 1990-an, Sejuk, Hening, Menyegarkan Pikiran

KAWASAN wisata Cisoka Margawindu lokasinya berada di ujung selatan wilayah Kabupaten Sumedang, masuk dalam wilayah Desa Citengah Kecamatan Sumedang Selatan.

Sejak saya masih remaja, pada dekade 1990-an, kawasan itu jadi salah satu destinasi wisata alam, seperti hiking, camping, atau kegiatan-kegiatan resmi organisasi pecinta alam atau ekstrakurikuler di sekolah. Memang, kecenderungan anak-anak muda Sumedang saat itu memang hiking atau bertamasya ke alam, saat mengisi waktu libur sekolah. Belum mengenal mall atau nongkrong di cafe seperti saat ini. 
 
Penurus Osis SMPN 1 Sumedang jalan-jalan ke Margawindu, sekitar Juli 1992
- Koleksi Album Pribadi

Saya sendiri, pertama kali hiking ke kawasan itu sekitar tahun 1991, bersama anak-anak Madrasah Tsanawiyyah (MTs) Persatuan Islam Sumedang. Saya sendiri saat itu siswa kelas 2 SMP Negeri 1 Sumedang. Namun karena rumah saya dekat dengan madrasah itu, saya ikut saja bergabung dengan mereka.

Minggu pagi itu, kami menggunakan kendaraan "Angkutan Pedesaan", satu-satunya kendaraan umum yang bisa digunakan menuju kawasan itu. Jalan aspal baru sampai Desa Cipancar. Mobil Angdes yang kami tumpangi cuma bisa sampai di jebatan pertama, setelah lewat Kantor Desa Cipancar. Oiya, kalau tidak salah, saat itu belum ada Desa Citengah. Baru setelah tahun 2000-an terjadi pemekaran dan terbentuk Desa Citengah, hingga saat ini.

Di sekitar jembatan pertama itu, belum ada satu pun rumah penduduk. Hanya tanah-tanah kosong dengan semak belukar. Dari situ kami berjalan kaki, menyusuri jalan yang mulai dan terus menanjak. Kondisi jalan sendiri masih terdiri kerikil, batu-batu padas dan tanah merah. Kiri kanan jalan cuma semak belukar dan pepohonan yang masih rapat dan rimbun. Sesekali kami melihat monyet-monyet bergelantungan, dan mendengar suara-suara khas serangga hutan.

Butuh waktu lebih dari satu jam bagi kami berjalan kaki untuk tiba di jembatan terakhir. Dari situ tinggal satu tikungan dan tanjakan lagi sebelum tiba menikmatai hamparan daun-daun teh yang hijau, menyegarkan. Meski keringat cukup belepotan, tapi udara sejuk, bahkan cenderung dingin, membuat kami tak terlalu kehausan saat menempuh perjalanan.

Selanjutnya, setelah pengalaman pertama itu, berkali-kali saya hiking ke kawasan itu. Kadang sendirian saja, dan termenung di sana menikmati suasana. Adakalanya bersama teman-teman sekolah saya. 

Ya, memang asyik hiking ke situ, apalagi bareng pacar atau gadis kecengan. 

Sejarah Singkat Perkebunan Margawindu

Lantas, sejak kapan dataran tinggi di selatan Kota Sumedang itu diolah dan dikelola menjadi Kawasan Perkebunan yang kita kenal sebagai Perkebunan Margawindu ?

Besar kemungkinan sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch menggalakan Sistem Tanam Paksa atau Culture Stelsel di tahun 1830

Dari penelurusan literatur sejarah, saya menemukan beberapa buku dan dokumen yang berkaitan dengan Perkebunan Teh Margawindu, antara lain dalam"Addresboek van Nederland Indie voor Den Handel", yang diterbitkan oleh Hugh & Van Dietmar, Rotterdam. Mungkin ini adalah literatur tertua yang saya temukan, yang menyebut nama Onderneming atau Perkebunan Margawindoe

Pada masa itu, Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Otto Van Rees, yang memerintah sejak 11 April 1884 hingga 29 September 1888. Asisten Residen yang bertugas di Sumedang adalah W. LIN, dan Bupati Sumedang di masa itu adalah Pangeran Soegih.

Dalam buku itu disebutkan, Kawasan Perkebunan Margawindu dikelompokkan sebagai " Particuliere Landbouw Ondernemingen op Gehuurde Gouvernements Gronden" atau Perusahaan Pertanian Swasta yang Statusnya Menyewa Lahan Pemerintah.Dan Pengusaha Belanda yang mengelolanya saat itu adalah F.A. De Nijs.

Disebutkan, tidak cuma tanaman teh yang ditanam di kawasan itu. Ada juga tanaman Kina, yang wajib ditanam berdasarkan aturan "Cultur Stelsel" atau Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch sejak tahun 1830.

Selanjutnya, dalam buku "Cultur Adresboek voor Nederlands Indsche", hingga tahun 1937 Eigenaar atau Pemilik Perkebunan Margawindu itu adalah; Kongsi Dagang Eksploitasi Pamanukan dan Ciasemlanden Subang, yang diketuai oleh H.J Addam. Petugas Administraturnya adalah W. Angenent.

Adapun Jurnal "De Indische Mercure" yang terbit 4 Juni 1930, melaporkan bahwa PanenTahunan Teh Margawindu itu mencapai 150.000 kilogram atau 150 ton per tahun.

Ketika Indonesia Merdeka, lahan perkebunan itu dinasionalisasi menjadi Milik Negara Republik Indonesia.

Lalu, bagaimana pengelolaannya pasca Indonesia Merdeka?

Hingga saat ini belum saya temukan dokumen yang otentik mengenai itu. Namun dari keterangan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada wartawan, diketahui bahwa pada tahun 1997, PT. Cakra mengembalikan hak guna usaha atas lahan Margawindu. Sayang tidak diketahui sejak kapan PT. Cakra itu mengelola Margawindu.

Dalam keterangannya kepada wartawan, pejabat Badan Pertanahan Nasioal (BPN) Sumedang yang berwenang saat itu mengatakan, setelah dikembalikan oleh PT. Cakra, rencananya, lahan margawindu itu oleh akan Dijadikan Hutan Kembali oleh Negara melalui PT. Perhutani. Namun, pada tahun 2003, Perhutani mengeluarkan surat bahwa lahan tersebut batal dihutankan.

Menurut pejabat itu, hingga saat ini, belum ada finalisasi status HGU antara Perum Perhutani, Pengusaha dan Negara belum jelas. Sementara pemerintah Kabupaten Sumedang sendiri, sejak 2020 konon sudah mengajukan HGU untuk menjadikan eks lahan perkebunan Margawintu sebagai kawasan Wisata.

Saat ini, jalan akses ke kawasan margawindu memang relatif mulus. Dari mulai Jalan Desa Citengah, hingga puncak Kawasan Cisoka, badan jalan menggunakan beton. Tak heran bila kemudian tumbuh spot-spot wisata.

Pertanyaannya, jika kemudian benar terjadi alih fungsi lahan kawasan tersebut menjadi kawasan wisata, adakah pengaruh kuat terhadap keseimbangan alam itu sendiri? Kalau memang harus dan ada potensi ekonomis yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat Sumedang, bagaimana dengan penataannya sehingga tidak merusak lingkungan?

Wallahualam bisshowab.

Tapi faktanya, sudah dua kali terjadi banjir bandang di kawasan Desa Citengah. Yang terakhir pada bulan Mei 2022 lalu, bahkan sampai merenggut korban jiwa. (*)

Sejak Dekade 1980-an Dunia "Diserbu" Robot

DEKADE 1980-an telah dicengangkan oleh sebuah teknologi mutakhir yang disebut robot. Teknologi itu terus mengalami perkembangan, dan menjadi cikal bakal lahirnya "Artificial Intelligence", sebagai kreasi paling aktual yang bisa dilakukan oleh umat manusia di abad ini.

Pada saat itu, manusia baru mampu memikirkan bagaimana kerja-kerja mekanis yang biasa dilakukan oleh anggota tubuh seperti kaki, tangan, tulangpunggung dan sistem persendian manusia dapat dilakukan oleh sebuah mesin. Kini, setelah teknologi robot mencapai puncak, manusia berfikir bagaimana sistem dan mekanisme kerja otak bisa ditiru dan diterapkan, melengkapi teknologi robot yang sudah ada.

Impian tentang robot cerdas itu memang sudah lahir (setidaknya telah muncul di publik) sejak awal dekade 1980-an. Di Jepang, negara yang paling keranjingan dengan teknologi ini, saat itu sudah lahir robot-robot yang mampu menghibur di pusat-pusat perdagangan, mengatur lalu lintas, atau sebagai buruh yang pekerja 24 jam se hari, non-stop.

Bahkan, masyarakat pecinta robot di Jepang, sudah memimpikan akan lahir "Robot Marlyn Monroe", lengkap dengan kemampuan sensualitasnya. Sekadar tahu, Marlyn Monroe adalah bintang film Hollywood yang terkenal kerap beradegan panas.

Ilustrasi: Tahun 1980-an  para pecinta robot sudah memimpikan
lahirnya sebuah "Robot Marlyn Monroe"

Majalah "Zaman" Edisi 23 Mei 1982 mengutip pernyataan Profesor Ichiro Kato, dari Graduate School of Science and Engineering, Waseda University, Tokyo. Dia adalah salah satu di antara sejumlah ilmuwan Jepang generasi awal pembuat robot modern.

"Robot saat ini menjadi arus utama dunia industri. Mereka (para robot) diperkenalkan sebagai buruh atau yang sejenis dengan itu. Tapi dalam dua puluh tahun mendatang, robot akan berkembang pesat. Misalnya, untuk pelayanan pengobatan," kata Profesor Kato.

"Mereka (para robot) akan mengambil peran dalam mengatasi situasi sehari-hari. Lalu mereka akan semakin mirip dengan manusia, dengan pengintegrasian pada kecerdasan buatan, suara, pengenalan dalam merasakan sentuhan, dan penggunaan fungsi tubuh. Melalui mekanisme dari manusia ini, kita akan mengetahui lebih banyak diri kita. Dan mengetahui diri sendiri itu sebuah pencarian yang panjang," tandas Profeser Kato.

Untuk diketahui, robot-robot di Jepang saat itu sudah mampu berkomunikasi dua arah dengan manusia, melalui sistem penginderaan komputer. Uniknya, definisi tentang "keluarga" pun sampai bergeser. Keluarga di Jepang akan disebut modern jika mereka memasukan robot sebagai anggotanya. Mereka memperlakukan robot layaknya manusia. Misalnya, menyediakan kamar khusus, atau mengajak robot sama-sama nonton televisi di ruang keluarga.

Perusahaan-perusahaan besar di Jepang pun menuai manfaat lebih. Dengan mempekerjakan robot, mereka meraup untung jauh lebih besar. Majalah itu mencatat, dengan robot "Unimate" yang dimiliki Nissan Motor Company saat itu mampu memproduksi 30 sampai 50 unit mobil, dibandingkan pekerja manusia yang hanya mampu menghasilkan 5 sampai 6 unit mobil. Dengan jumlah "Unimate" sebanyak 150, Nissan saat itu mampu memproduksi 1.300 mobil per hari.

Cikal Bakal "Robot" Sudah Ada Sejak Abad 16

Istilah "Robot", pertama kali digunakan oleh dramawan asal Cekoslovakia, Karel Capek dalam karyanya berjudul "Rossum's Universal Robots". Kata "robots" dalam judul itu berasal dari kata "Robota", yang dalam bahasa Ceko, berarti "buruh terpaksa".

Nah, di Jepang, jika kita telusuri sejarahnya lebih jauh, prototipe robot paling sederhana di "negeri matahari terbit" itu ternyata sudah ada sejak akhir abad 16.

Robot generais pertama yang dibuat pada tahun 1796
oleh Pangeran Hosokawa Yorinao
Sebuah desaian robot "maju mundur" dibuat oleh Pangeran Hosokawa Yorinao pada tahun 1796. Benda ini berbahan kayu, tali, kawat, kain, dan tanah liat. Namun sudah bisa berdasarkan prinsip otomatisasi. Robot "maju-mundur" ini kemudian diperkenalkan ke publik Jepang. Biasanya dipakai di pasar-pasar untuk menarik perhatian pembeli dan menimbulkan kegembiraan.

Demam Robot Melanda Dunia

Popularitas robot di era awal dekade 1980an itu memang makin menggila, mewarnai alam fikir dan imajinasi umat manusia. Itu dipacu dengan berbagai bentuk iklan dan propaganda. Robot menjadi simbol kehidupan yang modern, termasuk di Indonesia.

Saat saya kecil, ayah memberikan sebuah robot mainan berukuran kecil terbuat dari plastik, yang bisa berjalan dengan lampu berkedip-kedip di bagian kepalanya. Tentu saja kawan-kawan sekampung yang saat itu mainan standarnya adalah mobil-mobilan dari bambu dengan roda dari karet bekas sendal jepit, jadi heboh.

Tahun 1986, ada salah satu film warkop DKI yang juga melibatkan robot sebagai tokohnya. Kalau tidak salah, judulnya, "Sama Juga Bohong". Ini menunjuk suatu gejala, betapa robot benar-benar merasuk dalam kehidupan nyata sehari-hari kita saat itu.


Ilustrasi: Film "Sama Juga Bohong" (1986)
Dono berhasil menciptakan Robot Buatan Indonesia
Film Holywood apalagi. Mereka sudah jauh lebih menggila dengan film-film box office seperti sekuel film "Star Wars", "Star Trex", Terminoator, dan sebagainya. Bahkan sudah ada Film "Chery 2000" tentang robot wanita yang bisa diajak bersenggama oleh pemiliknya.


Dalam Film "Cherry 2000", Robot Wanita sudah benar-benar mirip dengan Wanita Asli sehingga bisa dijadikan teman kencan dan penyaluran hasrat seksual

Demikian halnya di layar kaca. Anak-anak dari keluarga menengah ke atas yang sudah memiliki Video Tape Player Betamax sudah biasa menonton film-film dengan tokoh utama robot, seperti Voltus Five, Megaloman, Gaban, dan sebagainya.


Saya sendiri cuma nonton film robot seperti "Buck Rogers", "Automan", dan sebagainya yang tayang di TVRI. Baru setelah hadir stasiun televisi swasta, saya bisa menyaksikan hiburan film-film robot era Ksatria Baja Hitam, atau Power Rangers. Dan anak-anaknya pun menikmati film robot generasi Transformer di era pertengahan dekade 2000-an.

Demikianlah.

Kini tentu lebih hebat lagi. Perpaduan sistem mekanis dan kecerdasan buatan, seperti yang sudah diramalkan oleh Profesor Kato memang benar-benar terjadi. Dan peran manusia dalam industri semakin ditinggalkan. Mungkin kelak disingkirkan. (*)

Tuesday, May 23, 2023

Demi Waktu, Kita Semua Merugi

ANUGERAH yang sama dilimpahkan Allah SWT kepada setiap mahluk di alam semesta ini adalah waktu. Tak peduli apa agamanya, apa bangsanya, miskin atau kaya, tua atau muda, apapun, semua melangsungkan kehidupannya dalam koridor waktu.
Ilustrasi
Sumber: net


Kita pun meyakini, Allah mengatur perputaran bumi, bulan, dan matahari, serta peredaran bintang-bintang untuk dijadikan manusia sebagai dasar menentukan ukuran dan bilangan waktu.

Bilangan waktu itu konstan berjalan ke depan. Apa yang begitu luar biasa di masa lalu, menjadi cerita yang biasa-biasa saja pada saat ini. Dan apa yang begitu istimewa pada saat ini, mungkin akan menjadi hal yang biasa-biasa saja di masa yang akan datang.

Kitab suci dan sabda nabi mengajarkan kita untuk senantiasa memperhatikan waktu. Karena buah waktu yang bernama kesempatan atau momentum itu tak pernah berulang. Perilaku, perasaan dan pikiran manusia sajalah yang membuat suatu peristiwa di masa lalu serasa berulang.

Cara maksiat di jaman purba sama saja dengan hari ini. Langkah beramal sholeh di masa lalu sama dengan masa kini. tetapi waktu, sejak mulai diciptakan, senantiasa konstan ke depan.

Seiring waktu, saya, anda, dan kita bisa memilih satu dari dua jalan yang disediakan: jalan fujuur atau jalan takwa. Seburuk-buruknya jalan atau jalan sebaik-baiknya jalan. Dan ingat, apapun jalan yang dipilih menjadi bahan pertanggungjawaban.

Saya merenungkan, dengan ilmu yang beribarat setitik air saja di tengah samudera, manusia mampu merekam atau memfoto orang-orang atau peristiwa di masa lalu. Kita yang hidup hari ini, bisa mendengar suara atau melihat gambar orang-orang terdahulu.

Singkatnya, jika di dunia ini saja jejak langkah manusia bisa ditelusuri, lantas masihkah saya, anda dan kita berani malu dengan bermaksiat? apa yang akan kita perbuat ketika segala rekaman hidup kita sejak ruh ditiupkan hingga ajal di kerongkongan, ditampakkan sedetil-sedetilnya, selengkap-lengkapnya ?

Demikianlah teman-teman.

Demi waktu..sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal baik, dan berpesan-pesan pada menjalankan kebenaran, dan berpesan-pesan pada menjalankan kesabaran. (^)

Bangunlah saat Orang Lain Masih Bermimpi

DALAM sebuah komunitas atau sekumpulan orang-orang, pada ranah apapun, akan nampak sekali bedanya mana orang yang punya inisiatif dan mana yang tidak. Mereka yang memiliki daya inisiatif lebih menonjol dan pro-aktif dibanding yang lainnya. Ia bangun manakala orang lain masih bermimpi.

Terminologi kata "inisiatif" berasal dari kata latin "initiare" yang artinya “memulai”. Dan bagi saya, inisiatif atau prakarsa adalah salah satu titik tolak mengembangkan aktivitas. Daya inisiatif akan melahirkan orang-orang yang pro-aktif.

Ilustrasi
Dan orang-orang pro-aktif selalu menunjukkan kesediaan untuk menerima tanggung jawab tertentu. Lalu, ia menyadari bahwa dirinya ikut bertanggung jawab dan kemudian melakukan langkah-langkah yang terukur, terarah, sesuai perannya untuk menuntaskan tanggungjawab itu.

Sebaliknya, orang yang suka melempar tanggung jawab dan mencari kambing hitam, sangat sulit sekali diharapkan memiliki atau mengambil inisiatif.

Ukuran manusia pro-aktif bukan lahir dengan sendirinya tanpa ada proses. Proses dimaksud adalah penyelaman dan pendalaman dirinya dengan berbagai atribut gerak manusia di sekelilingnya di mana suatu strata berbeda dengan strata lainnya.

Mereka yang yang penuh daya inisiatif adalah mereka yang terproses dalam implementasi pengalaman hidup, dan jauh lebih teruji oleh dinamika kehidupan. Dan manusia yang terproses tidak akan ogah-ogahan. Dalam berbuat, mereka tidak akan melakukan sesuatu seperti istilah orang sunda: puraga tanpa kadenda, asal jadi, asal-asalan, tanpa dasar niat, target dan tanpa memaknai karyanya sebagai sesuatu yang bernilai.

Pada lini dan bidang apapun, jika sudah masuk pada suatu fungsi gerak atau sistem, terutama dalam ruang organisasi, menuntut adanya keterlibatan, pelibatan diri dan memainkan sejumlah peran sesuai dengan kapasitas bakat, potensi dan keahlian. Tetapi bukan sama sekali didasarkan pada asumsi bahwa kita paling hebat dan serba bisa. Tetapi lebih karena memang kita mau menerima tanggung jawab itu.

Sebab masa depan suatu tatanan – masyarakat atau organisasi – merupakan urusan seluruh stakeholdernya, kepentingan seluruh komponennya, dan karena itu menjadi tanggung jawab semuanya. Bukan urusan dan tanggung jawab seorang pemimpin saja.

Dalam sebuah komunitas, organiasasi, atau lembaga apapun yang penuh daya inisiatif, akan ada pemimpin yang mau mengayomi sampai hal-hal detil dan mendasar. Akan ada pengikut yang mampu kreatif mengemukakan ide-ide baru dan memprakarsai gagasan-gagasan cerdas.

Dan perlu disadari bawah proses inovasi selalu dimulai dari ide. Jadi, dalam kerangka membangun suatu dasar pembangunan daerah, aset utama yang paling berharga adalah ide-ide atau pikiran-pikiran yang bebas, tetapi terukur oleh keterbukaan dan standar akuntabilitas publik.

Dan Kabupaten Sumedang membutuhkan orang-orang yang penuh daya inisiatif dan gerak yang pro-aktif. Memiliki ghirah, semangat, energi untuk berkolaborasi, berinovasi, serta bertransformasi: "ngigelan jeung ngigelkeun zaman". Sebabb, terlalu riskan menjalani percepatan teknologi dan akses informasi ke depan dengan pola-pola kuno dan konservatif. (*)

Monday, May 22, 2023

Kisah Inong yang Penuh Cinta di Malam itu

MALAM itu, di akhir bulan Oktober 2017 saya masih di kantor, menyelesaikan tugas mengedit beberapa berita yang dikirm wartawan Harian Pagi Radar Bandung. Telepon genggam saya berbunyi dan memunculkan sebuah nomor tanpa namal. Saat kujawab, suara seorang perempuan menyapa dengan bahasa sunda.

"Assalamu'alaikum. Cus, ieu sayah, Inong. Maneh di mana?," ujar suara itu.

Inong adalah panggilan sayang bagi Rizti Agralina, temen sekelas saya waktu berseragam SMA. Entah dari mana dia mendapat nomor kontak saya yang memang kerap berganti-ganti saat itu. Sudah lama pula saya tidak bertemu dengannya. Terakhir kali bertemu dalam sebuah acara reuni sekolah pada pertengahan tahun 2016.

Dengan setengah heran campur senang dan sedikit merasa surprised, saya meresponnya. Setelah sedikit basa-basi, melalui sambungan telepon itu kami berbincang serius, membahas sebuah gagasan yang dia sampaikan kepada saya malam itu.

Pada malam itu, dia menyampaikan bahwa dia berniat membentuk sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang yang peduli terhadap anak-anak pengidap HIV & Aids. Dia bilang, gagasan itu muncul setelah berdiskusi dengan sejumlah aktivis Komite Penanggulangan Aids (KPA) Sumedang. Dia merasa terpanggil setelah melihat data dan fakta yang disampaikan KPA Sumedang, terutama yang menyangkut tentang nasib anak-anak penderita HIV & Aids.

"Geus kieu we, bisi maneh sibuk ayeuna mah, urang geus ngobrong jeung Kang Cecep. Ke mun maneh balik ka Sumedang, urang panggih nya, urang ngobrol," ujar dia. Nadanya, begitu bersemangat.

Saya mengiyakan. Namun jujur saat itu, saya tak terlalu fokus mendalami gagasan yang dia sampaikan. Saya cuma berjanji bertemu dia, bila pulang ke Sumedang. Memang, setiap akhir pekan saya selalu pulang. Jarak Bandung-Sumedang tidak terlalu sulit untuk ditempuh pulang ke rumah, seminggu sekali.

Singkat cerita, saya dan dia bertemu di Cafe "Kopi Boehoen". Dia menraktir saya minum kopi. Saat itulah untuk pertama kalinya saya mendengar gagasan dia secara utuh tentang sejenis paguyuban, yang tak terlalu kaku, namun efektif dan berbasis komunitas, untuk menggalang orang-orang yang peduli terhadap nasib anak-anak pengidap HIV dan Aids. Dia menyatakan itu sebagai "Gerakan Pita Merah"

"Kita fokus ke anak-anak saja Cus. Urusan HIV&Aids yang lainnya itu biar KPA," begitu kira-kira kata Inong.

Di akhir perbincangan serius, dia meminta dua hal kepada saya. Pertama, Kelompok Musik Kakilangit yang saya inisiasi bersama Kang Cecep Ganda, dapat tampil dalam acara "Charity", Deklarasi dan Peresmian Gerakan Pita Merah. Dan kedua, dia meminta saya membantunya mengembangkan gerakan tersebut, semampu dan sesempat waktu saya.

Dalam kesempatan yang lain, di belakang si Inong, saya berbincang serius dengan Kang Cecep Ganda, membahas gagasan dan niat baik Inong. Jelek-jelek begini, saya dan Kang Cecep, sedikit memahami kultur dan konstelasi sosial politik dan budaya di Sumedang dalam merespon sebuah gagasan, apalagi sebuah gerakan. Setidaknya, saya dan Kang Cecep dapat membantu Inong memetakan jalan agar gagasan dan niat baiknya itu terwujud.

Dan saya begitu optimis. Karena Inong sendiri sebagai penggagas, begitu optimis dan menggebu-gebu. Saya dan Kang Cecep memilih posisi sebagai supporting system bagi sebuah gerakan dan agenda-agenda yang telah disusun Inong. Dia menetapkan tanggal 10 November 2017 sebagai hari H gerakan itu di-launching. Tempatnya di Cafe "Kopi Boehoen".

Begitulah. Di sela-sela rutinitas pekerjaannya sebagai dokter hewan, Inong mempersiapkan acara deklarasi itu. Saya sendiri hanya bisa setiap akhir pekan saja, berkoordinasi dengan Kang Cecep, yang diserahi tugas mengisi dan meramaikan acara deklarasi.

Selain sejumlah aktivis KPAD Sumedang, seperti Kang Budi, Tita, Dedi, dan lain-lain, dalam sejumlah pertemuan menjelang deklarasi, saya pun sempat melihat sosok-sosok yang cukup saya kenal seperti Diah Gusrayani, seorang dosen dan aktivis perempun, serta Soni Anhar yang dikenal sebagai MC dengan panggilan akrab "Uncle Soni". Ada juga Lia Gustiani, seorang pengusaha perempuan, dan teman-teman lain yang belum begitu saya kenal.

"Saya ge geus ngontak barudak si Yugow Cs, supaya mantuan Cus," ujar Inong suatu ketika.

Tibalah Hari H Deklarasi Gerakan Pita Merah. Sesuai rencana, Kelompok Musik Kakilangit menjadi semacam backsound. Diah dan Uncle Sony berduet menjadi "host". Saya sendiri cuma duduk-duduk dan ngobrol dengan sejumlah tamu yang saya kenal.
Rizti "Inong" (kerudung merah) memeluk anak pengidap HIV
dalam acara Deklarasi Pita Merah, Tahun 2012
Sumber: Koleksi Pribadi


Saya tak tampil dalam formasi KL karena sudah lama tak latihan bersama. Maklum, saya bukan musisi. Saya cuma senang bermusik. Hehehe.. Formasi KL saat itu, Cecep Ganda, Asep Hongkong, Irsan, Kiki dan dibantu Kang Roni Juliawan, kibordis senior Sumedang serta Teh Mariam sebagai vokalis utama. Catat ya..Ini acara Charity. Bukan konser. Jadi memang KL mempersiapkan diri untuk melayani para tamu undangan dan donatur yang ingin tampil dan bernyanyi.

Dalam acara itu, Inong kuingat bergaun dominan warna merah. Cukup anggun dia. Saya nyaris pangling. Malam itu dia nampak seperti seorang ibu. Bukan Inong yang kukenal cuek, dan cenderung lebih maskulin dibanding temen-temen perempuan saya yang lain. Hahahaha... Saya yakin, bukan hanya saya yang merasa pangling. Yugow, Ade Adut, Asep Yayan, Zeni dan teman-teman lain pun setuju dengan saya.

Dan Inong pun menangis di malam itu, saat sebuah narasi tentang nasib seorang bocah penderita HIV dan Aids disampaikan oleh seorang aktivis KPAD Sumedang. Hal yang jarang bahkan belum pernah kulihat sejak saya mengenal dan bergaul dengan dia.

Saya tahu, pembacaan narasi, dan sejumlah gimmick lainnya digelar malam itu sebagai cara menggalang dana dari para tamu undangan dan donatur. Tapi jauh lebih daripada itu semua, saya melihat ketulusan, dan semangat memberi yang begitu kuat dan besar dari Inong, serta sejumlah orang yang hadir malam itu. Saya sendiri merasa terharu dan senang menjadi penyaksi acara charity itu.

Demikianlah. Acara Charity dan Deklarasi Gerakan Pita Merah itu berlangsung sukses. Sederhana memang, tapi efektif. Sejumlah pejabat pemerintah dan anggota DPRD Sumedang kulihat hadir. Beberapa tokoh sosialita pun kulihat tampil bernyanyi. Sejumlah dana berhasil dikumpulkan. Dan gerakan, siap dilanjutkan.

Namun, dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis acara, satu hal terbersit di benak melahirkan tanya. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi gagasan dan semangat Inong hingga begitu menggebu sepenuh hati bagi hadirnya Gerakan Pita Merah itu? Dan kenapa dia terpikir sampai ke situ?

Kalau si Inong mengajak saya naik gunung, menjelajah hutan, berpetualang, mengarungi jeram-jeram berbahaya, atau nongkrong berdua di cafe, itu sudah gak aneh. Tapi melihat dia begitu gigih hingga rela blusukan ke kawasan terpencil seperti pelosok Jatigede untuk menularkan semangat positif memperhatikan nasib anak-anak pengidap HIV dan Aids, adalah hal mewah bagi saya.

Namun tak sempat saya bertanya serius soal itu langsung kepada Inong. Hari-hari berikutnya saya memilih sibuk menjalani rutinitas pekerjaan kantor yang makin menumpuk pasca promosi jadi redaktur Radar Bandung.

Sampai suatu ketika, Inong menelepon dan mengundang saya datang ke rumahnya di Cileunyi. Sambil ngopi dan merokok, kami berbincang ngalor ngidul, berbagi kisah dan pengalaman. Sejak lulus SMA kami tak seakrab itu.

Saat itulah saya mendengar langsung alasan mendasar yang memotivasi dia berbuat sesuatu bagi anak-anak penderita HIV dan Aids. Seperti apa? Nanti saya cerita dalam tulisan selanjutnya.

Saat ini, saya memang sudah tidak lagi terlibat baik dalam berbagai aktivitas maupun momen-momen penting yang digelar Gerakan Pita Merah. Tak ada alasan yang harus saya ungkap untuk itu. Saya yakin Inong dan sahabat-sahabat di "Pita Merah" bisa memahaminya.
Inong (paling kanan) dan para aktibvis "Pitmer"
saat peringati Hari Aids se-Dunia 2017
Sumber: Koleksi Pribadi

Namun bagi saya sendiri, "Gerakan Pita Merah" adalah manifesto sebuah ketulusan dan sebuah tempat di mana gairah untuk berbagi serta peduli bagi nasib orang-orang lemah, dapat ditemukan, dipelihara dan ditularkan. Lepas dari berbagai dinamika dalam perjalanannya, Gerakan Pita Merah menurut saya, berhasil mengejewantahkan niat baik itu. Sederhana tapi tulus. Keberhasilannya bukan pada seberapa besar nilai uang yang berhasil dikumpulkan untuk membantu anak-anak malang itu. Tapi pada nilai-nilai humanis yang terus menerus diperjuangkan. Dan barangkali itulah salah satu bentuk perwujudan Cinta sebagai sesuatu yang saya, anda, dan kita semua cari dalam proses menuju keabadian.

Semoga saja demikian.

Gara-gara Tulisan di Blog, Nongol di TV Nasional

SEPERTI pernah saya sampaikan, gara-gara tulisan di blog saya terdahulu yang berjudul, "Diva Indonesia itu Teman Kami" saya mendapat pengalaman bahagia, tampil di TV Nasional.

Tidak seperti zaman ini, ketika setiap orang bisa mengeksiskan dirinya sendiri utuh di media sosial atau Youtube, pada waktu itu untuk bisa nongol di Layar Kaca adalah kebanggaan tersendiri. Dan tolong garis bawahi, wajah saya nongol di TV itu bukan sebagai figuran atau penonton berbayar ya..! Tapi dapat dikata sebagai "tokoh utama" ..hahahha...

Lantas bagaiamana ceritanya bisa begitu?

Saya, Ige, dan Adi Dono nongol di Playlist SCTV
Sumber: Screenschoot Video

Tulisan berikut ini pernah pula saya posting di blog saya terdahulu. Berisi tentang kisah pengalaman saya dan dua kawan saya, tampil sebagai bintang tamu bertemu Rossa, Sang Diva Indonesia. Yah..untuk sekelas saya sih, peristiwa itu cukup menghebohkan saat itu, setidaknya bagi teman-teman Alumni SMAN 1 Sumedang (Smansa) angkatan 1996 .



Komentar tema-teman Alumni Smansa 96
Sumber: Screenshoot dari Blog Terdahulu

Yang cukup membuat saya kaget plus senang, tulisan itu pun baru dibaca dan dikomentari oleh Mbak Miranda di tahun 2017 atau sekitar 12 tahun setelah diposting. Mbak Miranda ini pihak dari rumah produksi acara "Playlist SCTV" yang pertama kali menghubungi saya.

Komentar Mbak Miranda 

Baiklah, mari silahkan simak kisah pengalaman saya dimaksud berikut ini yang saya posting ulang dari blog saya terdahulu. Ada beberapa kalimat yang saya edit untuk lebih membuatnya enak dibaca.

***
Kisah di Balik Layar (Acara Live on Playlist SCTV bersama ROSSA, Jum’at 23 Oktober 2009)

Kawan, kawan….!

Banyak hal besar yang dilakukan orang untuk memperoleh arti. Tapi tak sedikit pula hal kecil yang dilakukan orang yang bisa membuatnya jadi berarti untuk orang lain. Besar dan Kecil, tentu punya porsi dan tempatnya masing-masing. Keduanya menjadi relatif dalam ukuran, waktu, ruang, kesempatan, dan terutama dalam soal nasib dan pilihan-pilihan hidup untuk menjadi bahagia.

Dalam hidup, adakalanya tiap 24 jam waktu yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, tidak semuanya menjadi berarti, selain rutinitas keseharian yang suka atau tidak, diinginkan atau tidak, harus kita jalani. Adakalanya dari 24 jam waktu itu, hanya beberapa menit saja yang cukup membuat kita memperoleh sesuatu yang baru, yang tidak diduga, yang dapat mengubah cara pandang kita atau setidaknya menambah cakrawala pemahaman kita dalam mempersepsikan hidup.

Yang aku dan kedua temanku alami kemarin pun boleh jadi mencerminkan hal itu. Lima jam menempuh waktu di perjalanan Jakarta-Sumedang, terjebak kemacetan, kepanasan, dan hiruk pikuk kota jakarta, harus dijalani untuk merasakan sesuatu ketika 10 menit saja waktu yang tersedia untuk merubah kesempatan yang ada menjadi berarti.

Usai ditraktir makan di Resto Bumbu Desa
Aku berfoto dengannya
Sumber: Koleksi Pribadi, 2009

Sebelumnya, Rabu malam, 21 Oktober 2009, seseorang bernama Miranda Suz memintaku berteman dalam Facebook. Melalui inbox, dia menyampaikan salam kenal, lalu mengaku ingin tahu banyak hal tentang Rossa. Dengan menahan heran, aku konfirmasi permintaanya. Sejenak kemudian muncul pertanyaan di benakku; siapa dia? Mengapa harus aku yang diajaknya bicara tentang Diva Indonesia itu?

Aku segera membalas pesannya via inbox, dan kuungkapkan pertanyaanku. Ia tak segera menjawabnya. Keherananku bertambah. Maka aku pun mengontak Rossa via SMS. Kusampaikan apa yang terjadi. Lalu sahabatku itu pun menjawab; “selama pertanyaanya nggak aneh-aneh, ya nggak apa-apa,” kira-kira begitu jawabnya

Beberapa saat kemudian, barulah Miranda menjawab message yang kukirim. Katanya, dia ingin membuat kilas balik tentang Rossa yang akan ditayangkan dalam acara Playlist di SCTV. Ia menghubungiku, karena ia mengaku telah membaca tulisanku tentang Rossa, di Blog-ku.

Dengan demikian, hilanglah keherananku. Setelah jelas, dan terutama setelah kukantongi “izin” dari Ocha, kukatakan saja kesiapanku membantunya. Kusampaikan nomor HP-ku, dan besok hari kami sepakat bertemu.

Aku jadi termenung. Maklum, bagi orang kampung sepertiku, masuk dalam acara TV nasional, ditonton jutaan pemirsa, adalah sebuah kesempatan yang sangat langka. Boleh jadi cuma sekali seumur hidup. Tapi tanpa pernah diduga, kesempatan ini tiba-tiba di depan mata. Dan bagi orang kampung sepertiku, segera membuatku salah tingkah, gelisah, tak sabar menunggu esok.

***

Kamis siang, 22 Oktober 2009, kuterima telpon dari Miranda. Katanya, aku ditunggu di kampus SMAN 1 Sumedang, sekolah paling favorit di kotaku. Sekolah yang telah melahirkan banyak orang besar dengan berbagai bakat emas yang dimilikinya. Dan bagiku dalam hal ini adalah, sekolah yang telah mempertemukan aku dengan sahabat-sahabat terbaikku. Salah satunya yang kini telah menjadi seorang Diva Musik Indonesia. Tiga tahun belajar bersama, nakal bersama, senang sedih bersama, menyisakan banyak hal yang pantas dikenang dalam perspektif masing-masing.

“Assalamu’alaikum!,” kataku menyapa kru yang nampak telah siap melaksanakan tugasnya.

“Waalaikumsalam, saya Bagas!,” jawab salah seorang dari mereka yang pertama menyambutku.

Ia pun mengenalkanku pada rekan-rekan kru yang lain. Kusalami satu-satu. Dan yang namanya Miranda paling akhir ku salami. Ia di dalam mobil dan nampak sibuk menelepon.

Tanpa basa-basi, Bagas pun menjelaskan rencana kerjanya. Ia jelaskan aku harus begini dan begitu. Aku manggut-manggut saja, antara mengerti dan tidak.

“Yang penting, aku masuk TV !,” pikirku sambil menahan tawa dan gejolak narsis yang tiba-tiba saja sehebat gejolak adrenalinku.

Setelah Bagas jelaskan rencana, aku pun terus terang kalau aku telah mengkonfirmasi soal ini ke Rossa. Dan mereka pun terbelalak.

“Jadi, mas sudah mengontak Mbak Ocha?,” ujar salah seorang dari mereka. Wajahnya nampak agak kaget.

“Waduh mas, kita ini mau bikin surprise, wah gimana nih?,” kata Anggi, yang dikenalkan padaku oleh Bagas sebagai Sutradara acara ini.

Ia nampak bingung. Bola mata dari balik kaca mata minusnya nampak membesar, wajahnya menyiratkan kecewa. Ia pun menoleh ke arah Miranda.

“Ya udah nggak apa-apa, lanjut saja!,” ujar Miranda sambil kembali meneruskan kegiatannya dalam mobil, menelopon.

“Ya udah mas, nggak apa-apa. Kita terus aja. Kita juga salah koq, lupa ngasih tau,” kata Bagas memecah kebingungan.

“Ya mas, kita ini susah lho nyari-nyari info tentang masa-masa sekolah Rossa. Kupikir ia SMA-nya di Bogor, satu sekolah sama Ivan Gunawan,” kata Anggi menambahkan. Ia pun lalu berdiskusi dengan Bagas dan kru yang lain.

Aku sendiri jadi mulai nggak enak. Pikirku, satu hal penting yang akan menjadikan acara ini menarik nampaknya sudah hilang.

Maksudku mengontak Ocha sebelumnya, sekedar berhati-hati. Sejak remaja aku bersentuhan dengan dunia politik, dan terlibat banyak hal dalam proses politik di tingkat lokal. Pengalaman dan sense kala bersentuhan dengan dunia politik itu, membentuk cara berfikir dan bersikap “hati-hati” dalam berhubungan dengan orang yang belum dikenal.

Singkat cerita, kami pun langsung shooting. Beberapa angel sudah dibuat. Dan ada juga yang harus diulang karena aku mungkin nampak gugup. Maklumlah, selain karena skenario dadakan, narasi dadakan, ekpresi dadakan, juga terutama karena ‘’orang kampung” ini pertama kali masuk TV..hehehehe.

Pada waktu jeda, sambil menunggu ide, Bagas, Anggi, dan Miranda serta seorang kameramen nampak terus berdiskusi. Aku sendiri pun mencari ide, agar nilai surprise acara itu pun dapat kembali diperoleh. Aku ingin menghargai kerja keras kru, yang katanya begitu sulit mencari cerita SMA sang Diva.

Aku coba larut dalam alam pikiran Miranda yang nampak pucat lelah. Mungkin dia lagi sakit. Di depanku, Bagas yang tetap senyum dan mencoba menerima keadaan, sementara Anggi nampak serius, seserius aku bila mengahadapi rapat-rapat internal di partai.

Saat itu, aku berniat menelepon temen-temen sekelas Ocha yang tentu paling dekat dan punya lebih banyak cerita tentang Ocha. Tapi kutau kebanyakan dari mereka bekerja dan tinggal di luar Sumedang.

Tiba-tiba kuingat temanku yang memang sejak SMA dikenal dengan sikapnya yang periang, heboh, dan tentu saja punya daya tarik tersendiri. Namanya Adi Cahyadi. Itu karena ada sedikit kemiripan wajahnya dengan almarhum Wahyu Sardono (Dono Warkop), pelawak populer tanah air. Tapi teman-teman memanggilnya Si Dono.

Aku ingat kalau dia pernah memergoki Ocha nge-date di sekolah. Aku ingat pula kalo Ocha pernah godain dia saat gigi depannya ompong. Ocha datang ke kelasnya, dan hanya meminta dia satu hal, agar dia mau tersenyum atau ketawa sekedar memastikan gosip kalo Gigi Depan Dono tanggal, dan jadi Ompong.

Akhirnya kutelepon saja dia. Kuminta ia segera datang. Ia menjawab dengan ketidakpercayaan, dan nada suaranya penuh ketidakyakinan. Maklum pula, di antara kami kadangkala sering saling mengerjai. Tapi kupastikan dan kuyakinkan dia bahwa ini serius. Dia pun berjanji datang.

Setelah yakin Dono Warkop KW 100 itu akan datang, aku lapor ke Bagas. Dia pun menyetujui.

Tak lama, Dono datang. Wajahnya masih tetap menampakkan keheranan, tapi kutahu betul ini sangat menyenangkan dia. Kuingat kalo ia pun pernah punya cita-cita masuk TV, entah jadi apa…(hahahaha sory Don..).

Kita pun akhirnya segera menyelesaikan shooting Back to School ini. Setelah usai, Anggi bilang pada aku dan dono, kalau kami berdua diminta hadir dalam acara Playlist secara Live sebagai daya dukung nilai Surprise acara ini. Aku dan Dono segera menyanggupinya.

***

Jumat, 23 Okotber 2009, pagi. Aku kontak Dono. Aku konfirmasikan jadi tidaknya kita berangkat ke Jakarta. Aku tau Dono bingung. Anaknya sakit. Tapi Dono kemudian menyatakan siap berangkat. Maka sekitar jam 10 pagi kita berangkat.

Di perjalanan menuju Bandung, Dono bilang sudah mengajak Asep Ige. Alasan Dono, selain karena IG pun teman kami sejak SMP, nilai lebihnya adalah agar ada yang hapal jalan-jalan di Jakarta, dan gantian nyetir mobil. Aku memang sampai hari belum bisa menyetir mobil. Masih trauma.

Sepanjang jalan, kita bicarakan banyak hal, becanda dan mengkhayal habis-habisan. Semua masa lalu sejak kami duduk di bangku SMP terbahas dalam pembicaraan sepanjang jalan. Yang aneh-aneh dan lucu-lucu dari kelakuan masa kecil kami, terceritakan kembali. Segala cerita tentang cinta, cinta monyet, cinta karet, cinta kepepet, dan cinta-cinta lainnya pun menyelingi derai tawa kami sepanjang jalan.

Tak terasa, Jam 14.00 kami sudah masuk Jakarta via Tol Cawang. Bagas yang menghubungiku, menugaskan Pak Muslim untuk menyambut kami. Tapi ya itu, “orang kampung” masuk Jakarta, nyari jalan aja susah. Untunglah, segera kita dapat solusi, dan menemukan tempat janjian ketemu Pak Muslim.

Beberapa saat kemudian kita sampai di Studio Penta SCTV. Gerbangnya dijaga satpam, dan masuk ke area studio pun nampak dijaga lagi. Wah gila…ketat amat. Ketika hendak masuk ke area studio utama, Pak Muslim lupa mengenalkan kami pada satpam. Maka satpam pun sempat menahan kami sejenak dan bertanya, “Kamu siapa?,” katanya.

Ih…wajahnya galak banget. Aku, Dono dan IG saling berpandangan. Pak Muslim balik ke belakang, dan dia bilang bahwa kami adalah temannya Rossa. Tiba-tiba saja Pak Satpam jadi ramah dan persilahkan kami masuk.

Kami pun langsung dibawa ke “tempat persembunyian”. Kalau teman-teman ingin melihat wajah polos paling asli nan culun, barangkali bisa melihat ketika kami bertiga berada di dalam area studio itu. Sambil menunggu acara berlangsung, di “tempat persembunyian”, tingkah kami aneh-aneh, sebagai kompensasi dan perlawanan atas rasa minder, rasa rendah diri, rasa malu, canggung, bingung, asing, dan berat hati kami menjadi orang populer di kampung kami, hehehehe…. Duh gimana ya rasanya…sulit tergambarkan…

Dono begitu sibuk menelepon orang tua, sahabat, kerabat, handai taulan….”Mak…aku masuk TV bareng Rosaa…!” kira-kira begitu.

Ige dari tadi cuma diam, wajahnya pucat pasi, keringat dingin, senyumnya menyeringai aneh, dan suaranya bergetar. Dia berfikir, bagaimana jika di acara sebentar lagi, Ocha menyambut kami dengan kalimat, “Siapa kalian? Aku nggak kenal…?!” Terbayang rasa malu dibenak Ige yang harus dia tanggung seumur hidup. Kira-kira begitu.

Aku sendiri lebih banyak diam, mengamati kelakuan kedua temanku. Sesekali kubaca SMS yang masuk. Banyak alumni Smansa 96 yang bertanya dan komentar penasaran. Itu karena sahabatku, Lenny YH sudah membuat pengumuman di status FB-nya: “Saksikan Ncus, Dono, dan Ige feat Rossa di SCTV jam 15.00”. Sebuah pengumuman yang bombastis sekaligus narsis abis…!! Hahahahah thanks Nie…

Aku mencoba tenang. Tapi memang sulit. Terutama karena di tempat persembunyian itu ber-AC, sehingga aku nggak bisa merokok. Ya..sepertinya aku tak bisa tenang tanpa rokok dan Kopi.

“Ini studio SCTV, tapi koq TV nya banyak semut ya, nggak jauh beda dengan di Sumedang?” kataku memecah ketegangan. Dono menimpali dan mencoba membetulkan kabel antena TV yang memang gambarnya kesemutan.

“Tenang Ge… jangan tegang. Apalagi yang bawah, bisa gawat tuh kalo nanti ketemu Cathy Sharon,” kataku menggoda Ige.

Nampak tawa tertahan di wajahnya. Si Dono ketawa cengengesan. Kita pun kemudian berembuk, kira-kira apa yang akan dilakukan untuk membuat Ocha merasa surprise.

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Kami dibawa orang SCTV keluar tempat persembunyian menuju belakang panggung. Di sana Ocha nampak mulai action. Dan kami disiapkan untuk masuk oleh petugas yang nampak repot dengan kabel, peralatan radio komunikasi.

Melihat postur tubuh, Dono di tempatkan paling depan, disusul Ige, dan aku yang memang paling tinggi, ada dibelakang barisan. Saat itulah, dengan segala kepolosan, keluguan, keculunan, dan kekampung-kampungan, kami merasa sebagai bintang dadakan. Eiitt...jangan sirik ya... itu faktanya.

Kami pun masuk. Dan hasilnya, ya seperti yang pemirsa Playlist SCTV saksikan.

Sampai hari ini pun kami belum tahu seperti apa penampilan kami saat ini. Kami ikuti alur acara. Rasa kami larutkan saja dalam suasana. Seadanya, sekenanya. Tanpa mengada-ngada. Barangkali itulah kami aslinya.

Selesai acara kami, kami pun diminta ke belakang panggung. Kami diminta Rossa untuk menunggunya. Dia masih harus nyanyi satu lagu terakhir. Banyak orang dan banyak pihak di situ. Ada yang ribut minta tanda tangan dan foto bareng. Bukan pada kami. Tapi pada Ocha dan artis-artis pengisi acara. Ada Acha Septiasa, Cathy Sharon, dll.

Setelah acara selesai, Ocha pun menghampiri kami. Tapi lagi-lagi dikerumuni penggemarnya. Kami bertiga senyum cengengesan.

“Kita ini bintang tamu, nggak level foto bareng Ocha saat ini,”kata Dono nada becanda dan cengegesan. Padahal dia pun lagi nyari-nyari kesempatan bisa foto barenag Acha Septiasa.

Menjelang keluar pintu luar studio, wartawan infotainment sudah berkerumun menunggu Ocha. Kami bertiga menyelinap keluar. Mbak Henny, dari management Rossa, dan Pak Muslim menyertai kami memasuki mobil kami. Katanya, kita makan dulu bareng Ocha yang setelah sedikit berkomentar pada wartawan, memasuki Mobil Toyota Alphard nya.

Kami diajak Mbak Henny masuk ke areal Resto “Bumbu Desa”. Sementara mobil Rossa, terus lurus melaju. Tanpa bertanya, kami ikuti saja Mbak Henny. Baru setelah duduk di kursi meja resto, mbak Henny bilang, Rossa ada dulu urusan. Kita dipersilahkan pesan duluan. Tapi aku memilih mengajak dulu temen-temen menunaikan Sholat Ashar.

Sewaktu hendak berwudhu, Dono becanda, “Waduh, aku nggak tega nih cuci muka, sayang, nanti bekas pipi Ocha luntur, deh!,” katanya sambil tegelak.

Aku dan Ige pun terbahak-bahak.Pak Muslim yang ikut Sholat bareng kami, cuma senyum-senyum aja. Bagi beliau, yang katanya tiap hari ketemu artis, semua ini nampak biasa-biasa saja.

Singkat cerita, kita pun makan bareng Ocha di resto itu. Kita ditraktir, kayak jaman dulu waktu SMA. Ocha nampak ceria, bebas, dan melepaskan sejenak atribut keartisannya. Dia tampil saat itu jadi sosok yang pernah kami kenal dulu. Sosok Ocha yang periang dan suka guyon. Aku menoleh ke Mbak Henny, dan dua orang lain dari management Ocha yang turut hadir. Nampak mereka “olohok” saja liat Rossa becanda akrab bersama kami.

Tepat menjelang Maghrib, kami pun pamit pulang. Ocha menyalami kami dengan hangat dan kami pun segera meluncur menuju tol ke arah pulang. Pak Muslim yang memandu kami, sampai akhirnya berpisah menjelang pintu tol.

***

Sekali lagi kukatakan, kawan…!

Aku tetaplah aku, anak kampung yang tiba-tiba tersanjung gara-gara masuk TV. Aku mendapatkan bagian kecil saja, dan boleh jadi tidak ada artinya bagi Rossa, anda atau siapapun. Tapi biarlah Aku, Dono, dan Ige yang merasakan semua ini sebagai sesuatu dan tercatat menjadi sejarah hidup kami. Boleh kan, narsis dikit? Hehehehe…paling tidak aku, Dono, dan Ige bisa menambah bahan canda kami.

Terima kasih SCTV . Terima kasih Pak Muslim…Mbak Miranda, Mas Bagas, Mas Anggi, dan semua kru yang terlibat. Mudah-mudahan kita dapat ketemu lagi. Kalau lewat ke Sumedang, jangan sungkan mengontak kami, nanti kita makan Tahu Sumedang, oleh-oleh khas kota kami.

Salam

 


Sedalam Itukah Saya Menulis tentang Rossa ?


TULISAN berikut ini, saya buat dan diposting di blog saya terdahulu sekitar awal tahun 2009. Sudah banyak yang membaca dan mengetahuinya, termasuk Rossa sendiri.

Saya masih ingat bagaimana respon Rossa setelah membaca tulisan saya tentangnya, saat itu. Melalui SMS (dulu belum ada WA), dengan tulus dia mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih. Saya percaya dia tidak berbasa-basi menyampaikannya. Entahlah, meski tak pernah seakrab teman-teman yang lain, saya bisa membedakan sikap dia; apakah tulus atau sekadar basa-basi menghargai pertemanan.

Belasan tahun kemudian, saat ini, tengah tahun 2023, saya cengar-cengir sendiri membaca ulang tulisan ini yang bercerita tentangnya. Saya sendiri kaget, kok bisa saya menulis tentang dia. Bahkan suatu ketika, salah seorang sahabat akrab Rossa sampai berkata pada saya; "Cus, kamu dulu naksir si Ocha ya? Kamu nulis dalam banget..," celetuk dia sambil nyengir.

Entahlah. Yang jelas, akibat tulisan itu, saya untuk pertama kalinya bisa nongol masuk TV Nasional, dan menghebohkan hampir seluruh Alumni Smansa Sumedang generasi kami, serta guru-guru kami.

Tapi yang lebih penting menurut saya, akibat tulisan itu pula, Rossa yang sedang ada di puncak popularitas sebagai Diva Tanah Air, menjadi semakin peduli dan kembali akrab dengan teman-teman masa kecil dan masa remajanya. Dia memang teman dan sahabat yang baik.

Sekarang, saya posting ulang tulisan tentang Rossa dimaksud di blog baru saya ini. Mungkin memang sudah basi. Tapi mudah-mudahan tetap menghibur dan menginspirasi.

***

DIVA INDONESIA ITU TEMAN KAMI !

Dalam tulisan kali ini, saya ingin bertutur sedikit tentang Rossa. Bukan karena saya wartawan majalah gosip, atau seorang pengamat musik. Saya akan bertutur sebagai seorang teman satu sekolah, sejak duduk di bangku SLTP hingga SLTA. Layaknya sebagai teman satu sekolah, ada hal-hal yang cukup berkesan ketika bergaul dengannya dan juga bersama teman-teman lainnya.

Namun sebelumnya perlu digaris bawahi bahwa apa yang akan saya tuturkan di bawah ini, sama sekali tidak bermaksud untuk membuat gosip, mencari sensasi, atau nebeng popularitas teman saya itu, apalagi membuat kontroversi.

Dalam bertutur tentang ini, saya berusaha keras untuk keluar dari sikap menyanjung Ocha secara berlebihan. Toh tidak ada artinya. Pujian atau cacian dari saya akan sama saja artinya, tak kan pernah berpengaruh apa-apa terhadap Ocha. Karena saya bukan Bens Leo, atau petinggi-petinggi Industri Musik Indonesia yang punya otoritas untuk menilai dan mengomentari artis penyanyi Indoneisa. Saya pun bukan Andy F. Noya yang bisa mengungkap fakta di balik layar via Kick Andy-nya, saya bukan pula Mas Tukul yang pura-pura “wong deso” untuk menarik simpati dan mengajak ketawa. Saya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Saya hanyalah saya, Kurniawan Abdurrahman, temen sekolah sang Diva.

***

Pertama kami saya mengetahui nama Rossa sejak saya duduk di Sekolah Dasar. Meski belum sempat berhadapan muka langsung, saya tahu dia dari majalah anak-anak yang memuat profilnya sebagai artis cilik di Kabupaten Sumedang.

Saya teringat, ketika saya masih duduk di bangku kelas 4 SD, sekitar tahun 1988, ada sebuah acara panggung hiburan di Kota Sumedang yang menampilkan artis-artis populer Indonesia saat itu seperti Richie Richardo, Helen Sparingga, Mus Mulyadi, Obbie Messakh, grup lawak d’Bodors (Abah Us Us, Yan Asmi, dan Kusye), dan lain-lain.

Acara itu digelar di dalam Stadion Ahmad Yani Ketib, Sumedang. Masyarakat kota kami yang jarang mendapatkan hiburan, tumplek berdesak-desakan menonton dan tentu saja heboh, seheboh-hebohnya. Bahkan sore sebelum acara dimulai, pihak panitia mengarak para artis berkeliling kota.

Saya diajak nonton acara tesebut, dan masuk secara gratis karena Om Dori (kolega bapak saya) mendapatkan Free Ticket. Karena kedekatan Om Dori dengan panitia, saya dapat masuk boot artis di belakang panggung, sehingga saya bisa dekat bahkan melihat langsung bagaimana para artis itu berdandan, bersiap, menunggu waktu naik pentas.

Singkat kata, menjelang tampilnya artis penyanyi Helen Sparingga (penyanyi top saat itu), pembawa acara mengumumkan tampilnya seorang artis cilik tuan rumah yang penuh bakat. Entah di sebelah mana si artis cilik itu duduk sebelumnya, yang jelas kemudian saya mendengar suaranya menyapa penonton tanpa canggung. Lalu dia pun melantunkan dua buah lagu. Saya lupa lagu apa yang dia nyanyikan. Tapi pada saat itulah untuk pertama kalinya saya mendengar dan melihat Rossa unjuk kemampuan.

Saya kemudian baru mengenal langsung dan bergaul lebih dekat dengan Rossa sejak kami sama-sama duduk di bangku kelas 1 SMP Negeri 1 Sumedang pada tahun 1990. Kami akrab memanggilnya Ocha.

Di tahun ajaran baru itu SMPN 1 Sumedang menerima siswa hingga 8 kelas, dari mulai Kelas 1-A hingga Kelas 1-H. Dan Ocha masuk Kelas 1-A, sementara saya ada di Kelas 1-B.

Dia belum terkenal waktu itu. Tapi sikap riang gembiranya, keluwesan bergaulnya, sopan santun dan gayanya membuat dia mudah dikenal di sekolah. Dia juga termasuk siswi yang cerdas. Prestasi akademiknya cukup baik. Kalau saya tidak salah ingat, sejak Kelas 1 sampai kelas 3, peringkat akademiknya tidak keluar dari Peringkat 1, 2 dan 3 silih berganti dengan anak-anak cerdas lainnya di Kelas 1-A SMPN 1 Sumedang, seperti teman saya Kristian, Budi Hermawan, dll.

Menginjak kelas 2 SMP, saya, Ocha, dan beberapa teman lain mulai berkenalan dengan kehidupan berorganisasi di OSIS. Saya, Ocha, dan beberapa teman menjadi semacam elit-elit siswa yang aktif berorganisasi. Tapi Ocha nampak lebih sibuk di bidang seni suara, bersama Pak Agus Dian, Guru Seni Musik kami.

Selain itu, layaknya anak-anak yang masuk usia puber, kami mulai senang naksir-naksir lawan jenis. Saya tidak tahu siapa yang dia taksir waktu SMP. Tapi yang saya tahu justru banyak teman-teman cowok yang naksir ke dia, termasuk Sang Ketua Osis angkatan kami. Pak Ketu (demikian kami panggil) yang sehari-hari tampil alim, bersosok ustadz/kyai, yang memperoleh Nilai 10 dalam pelajaran agama, dan juga adik Guru Agama kami di SMP, tiba-tiba menjadi “pemuja rahasia” Rossa.

Dia begitu mengagumi Rossa, dan tentu saja bila ada acara-acara rapat OSIS, teman-teman menggoda Pak Ketu habis-habisan. Memang ini di luar dugaan dan bikin heboh para pengurus OSIS. Pak Ketu yang alim bisa juga tergoda oleh Ocha yang tengil dan cekikikan...(hahahaha...)

Saya tidak tahu pasti apa yang ada di benak Ocha saat Pak Ketu menyatakan perasaannya. Namun dari fakta yang bisa kucermati, dengan sedikit “keisengan”-nya Ocha keliatan asyik mencandainya. Sering kali tawanya yang khas lepas ke udara bila kami membicarakan Pak Ketu yang mulai salah tingkah di depan Ocha. (Kini istilahnya disebut "baper" ya?!). Dan pernah suatu ketika, kami semua berdiri di atas ”penderitaan” Pak Ketu yang mati-matian menahan Ge-eR dan malu nya.

Saya sendiri pernah “dikerjain” Ocha. Waktu SMP saya termasuk anak cowok yang agak sedikit minder dan cepat salah tingkah jika berhadapan dengan anak cewek, terutama yang saya taksir. Suatu hari di ruang OSIS saya sampaikan ke Ocha bahwa saya naksir teman kami, (sebut saja namanya Ina). Tanpa saya ketahui dia sampaikan perasaan saya ke Ina, dan tiba-tiba dia bersama Ina masuk ruang OSIS, lalu dia keluar membiarkan saya dan Ina berdua di ruang OSIS. Tentu saja saya salah tingkah habis-habisan. Ina sendiri terlihat tenang tanpa ekspresi apa-apa. Selang setelah itu, saya ketemu Ocha ketika hendak masuk kelas. Dia ketawa cekikikan melihat kebingungan dan salah tingkah saya. Ah…Ocha..Ocha…!!

Mei tahun 1993, saya lulus dari SMPN 1 Sumedang. Dalam acara perpisahan diumumkan tiga peringkat siswa terbaik yang memperoleh Nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (NEM) tertinggi. Ocha ada di peringkat ke dua. Dia bersama Kristian, dan Elga teman saya naik ke panggung untuk memperoleh penghargaan. Saya sendiri tidak naik panggung, karena saya cuma peringkat 4.

Tibalah saatnya acara perpisahan yang digelar di Gedung KGS Sumedang. Selepas seremoni kelulusan, Ocha, Kristian dan Band kelas 3-A, tampil bernyanyi di panggung membawakan lagu “Everything about You” milik Uggly Kids Joe, band luar negeri yang lagi ngetop saat itu.

Saya tak ketinggalan ikut pula naik panggung menyanyi. Lagu yang saya bawakan saat itu adalah “Salam Terakhir” lagu yang cukup Jadul miliknya Grup Band The Rollies.

Pak Agus Dian, guru seni musik kami terperanjat juga mendengar gaya dan kualitas saya menyanyi. Semua teman-teman terheran-heran, tak menyangka saya bisa nyanyi. Baru saat itu, Pak Agus Dian, dan guru-guru saya SMP melihat bakat terpendam saya sebagai penyanyi. Bakat yang kemudian benar-benar terpendam, lalu padam oleh pilihan jalan hidup saya sendiri saat ini.

Dengan NEM yang tinggi, saya dan Ocha kembali memasuki sekolah yang sama. Juni 1993 kami sama-sama duduk di SMA Negeri 1 Sumedang, sekolah paling favorit di kota Sumedang. Dengan passing grade NEM yang tinggi, di SMA Negeri 1 Sumedang banyak ditempa siswa-siswa cerdas, dengan berbagai bakat emas masing-masing. Ocha salah satunya. Dan lagi-lagi saya tak pernah satu ruang kelas dengan dia. Hanya bertetangga. Ocha masuk Kelas 1-1 dan saya Kelas 1-2.

Popularitas Ocha di kalangan anak remaja seusia kami saat itu sudah tidak perlu disangsikan lagi. Bolehlah dikatakan, ketika Ocha masuk SMA, hampir tidak ada yang tidak tahu siapa Ocha. Di akhir acara MOS (Masa Orientasi Siswa) yang biasa diselenggarakan untuk “menyambut” anak kelas 1, Ocha tampil menyanyi, diiringi petikan gitar menawan Kang Cecep Ganda Ruhimat, kakak kelas kami. Saya ingat lagu yang dibawakannya adalah “Kaulah Segalanya” lagu yang populer dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya. Gaya dan kualitas suaranya dia usahakan seperti Ruth Sahanaya asli-nya. Kelak kemudian hari Ocha mengaku kepada Publik bahwa Ruth Sahanaya menjadi penyanyi Indonesia favoritnya.

Tak heran bila kemudian pada masa-masa di SMA ini, di luar kegiatan belajar di kelas, Ocha lebih beraktifitas di bidang seni suara. Ia menjadi “anak kesayangan” Ibu Tuti Supriati, guru Seni Musik kami. Ocha pun kemudian mengharumkan nama sekolah dengan menyabet gelar Juara Lomba Menyanyi “Bahana Suara Pelajar” se-Jawa Barat. Ocha pun kemudian menjadi ikon dan teladan bidang kesenian di sekolah kami.

Kegiatan sekolah dan cara bergaul pada masa SMA membuat keakraban saya dengan Ocha tidak seakrab saat SMP. Dan meski sama-sama mengambil jurusan Fisika saat naik ke Kelas 2, saya lagi-lagi hanya "bertetangga" saja dengan dia. Ocha masuk di Kelas Fisika Satu dan saya di Kelas Fisika Dua. Bila bertemu pun cuma senyum dan saling sapa seadanya.



Roosa (Bertopi) bersama temen-teman Smansa 96
Foto Koleksi: Kurniawan Abdurahman


Meski demikian, dari perilaku Ocha sehari-hari dan pergaulan umum yang saya ketahui, pada waktu SMA Ocha benar-benar termasuk siswi yang memperhatikan kegiatan belajar di kelas. Dia pun termasuk orang yang care terhadap teman-temannya, sekalipun kalau boleh saya bilang, pergaulannya termasuk high-level dibanding saya dan teman-teman pada umumnya. Tepatnya, dia tidak sombong dan pandai menempatkan diri. Untuk kalangan (calon) selebritis seperti Ocha, sikapnya saat itu termasuk kategori rendah hati. Inilah modal sebenarnya sehingga ia cukup disegani dan dikagumi oleh teman-teman.

Meski demikian, Ocha juga manusia biasa. Ada juga sikap dan perilakunya yang memerlukan permakluman. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos kadang juga berakibat lain. Dan pernah suatu saat ada peristiwa di mana Ocha pernah marah (mungkin tepatnya kesal) pada Guru Bahasa Indonesia kami. Ocha mengekspresikan kemarahannya dengan cara yang unik dan membuat heran teman-temannya. Bahkan saya dan teman-teman di kelas Fisika 2, “tetangga” kelasnya pun sampai tahu dan terheran-heran. Tapi kemarahan Ocha cuma sesaat. Sebentar saja, waktu itu juga Ocha udah ketawa-ketawa lagi. Dari sini saya berani mengatakan (meski mungkin juga salah) kalau Ocha bukan tipe orang pendendam. Ia mudah memaafkan. (Hai Cha…inget ini nggak? Sory deh….aku bahas ya….!! But You know what happened more than us).

Juni 1996, kami lulus dari SMAN 1 Sumedang. Tepat sehari sebelum acara perpisahan SMA digelar di Gedung KGS Sumedang, Keluarga Besar Ocha menyelenggarakan acara resepsi Syukuran atas diluncurkannya Album Pertama Rossa sebagai Penyanyi Nasional dengan hits-nya “Nada-Nada Cinta”. Ocha terlihat anggun saat itu. Dia didampingi kedua orang tuanya memotong nasi tumpeng dan secara simbolik dibagikan kepada orang-orang terdekatnya, yang menyayanginya dan benar-benar berkontribusi pada awal karirnya. Saya dan beberapa teman SMA nya yang diundang hadir pada acara itu, cukup bangga dan senang menyaksikan kebahagiaan dirinya pada momen bersejarah yang menjadi titik pijak karir bermusiknya.

Esok harinya, di tempat yang sama, diselenggarakanlah acara perpisahan SMA. Saya dan seluruh lulusan tahun 1996 berdandan dan memakai pakaian resmi, semi formal. Saya sendiri ditunjuk sebagai perwakilan siswa yang secara simbolik dan diiringi upacara adat, akan dilepas oleh Kepala Sekolah. Otomatis saya datang dengan memakai seragam SMA. Baru setelah prosesi pelepasan, saya berganti kostum dengan mengenakan Jas pinjaman yang agak kekecilan.

Pada acara perpisahan itu, Ocha pun kembali dipanggil naik panggung sebagai siswa berprestasi. Dia menjadi salah satu dari dua orang siswa yang diterima tanpa testing (tanpa mengikuti UMPTN) di Jurusan Hubungan Internasioanl Universitas Indonesia, perguruan tinggi negeri yang cukup bergengsi dan disegani. Hanya siswa yang memiliki nilai akademik bagus dan stabil selama 3 tahun belajar yang bisa diterima di UI melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan).

Ocha yang tampil dengan setelan kebaya warna biru dan rambut yang ditata tanpa sanggul, naik ke panggung dengan anggun. Tepuk tangan hadirin mengirinya dan dibalas dengan senyuman manisnya. Ia menerima dengan ramah ucapan selamat dari guru-guru dan teman-teman sekelasnya. Pada hari itu, dia telah menampakkan pesona yang dimilikinya, benar-benar tulus dari kerendahan hatinya, tanpa sedikit pun ekspresi dan tingkah bahwa sehari sebelumnya dia telah me-launching Album yang akan mempopulerkannya secara nasional. Ia melepas atribut keartisannya, dan bersikap wajar, sehingga saya berani untuk menghampirinya menyalaminya, lalu duduk di sampingnya. Kemudian tanpa ragu dan takut merasa tidak selevel, saya memintanya untuk berfoto bareng. Saya berujar padanya, “Cha… foto yuk, nanti mah mungkin kamu akan terkenal, hese (sulit) difoto bareng jeung (dengan) ente (kamu) teh..!!” Ocha tersenyum dan memiringkan badannya ke arahku, lalu Cecep Risnandar temanku (yang kini jadi Wartawan) memfotoku. Sayang sekali, film di kameranya tinggal satu. Dulu belum ada kamera digital yang seenaknya bisa jepret memfoto. Jadi, setelah di cuci di studio, hanya itulah satu-satunya foto saya berdua bareng teman saya yang hari ini telah menjadi Diva Musik Indonesia.

Kerendahhatian Ocha pun saya dengar dan saya sendiri merasakannya. Teman-teman yang pernah berpapasan di mall dengannya bercerita bagaimana Ocha tidak lupa pada teman dan menyapa duluan. Pernah pula suatu saat saya sedang bersepeda sore itu di jalanan kota Sumedang. Tiba-tiba di depan saya, Rossa di dampingi Yoyok “mantan kekasihnya” (karena kini jadi Suaminya) hendak menyebrang jalan. Saya coba pura-pura tidak tahu, tapi ternyata Ocha yang menyapaku duluan.

Ocha pun memilih Sumedang sebagai kota tempat pernikahannya dengan Yoyok. Pesta pernikahannya pada pertengahan bulan April 2004, menjadi pesta pernikahan yang paling meriah yang pernah ada di Sumedang. Masyarakat kota Sumedang berbondong-bondong menyaksikannya di Alun-Alun Kota Sumedang. Ocha dan Yoyok setelah akad nikah di Mesjid Agung Sumedang, kemudian menaiki kereta kuda, layaknya sepasang Putri dan Pangeran Kerajaan Sumedang Larang. Rakyat mengelu-elukannya, dan keluarga Ocha melakukan saweran. Saya dengar sawerannya pun tidak main-main; berupa kupon yang bisa ditukarkan dengan beragam hadiah menarik seperti handphone dan lain-lain.

Saya larut dengan masyarakat yang tengah bergembira mengantar pernikahan Ocha dengan Yoyok. Saya berdiri depan gedung DPRD Sumedang dan diam-diam merasakan kebanggaan yang sama dengan antusiasme masyarakat di belakang kereta kuda yang mengantar Ocha. Saya sendiri secara pribadi tidak termasuk dalam daftar undangan Ocha, baik untuk acara akad nikah itu, maupun dalam acara resepsi pernikahan di salah satu tempat di Kota Bandung. Meski saya telah diminta oleh Pak Yana Ahmad Suryana, pimpinan saya waktu itu, untuk mewakili beliau memenuhi undangan Pak Ukas, ayahanda Ocha, dengan alasan tertentu saya tidak memenuhinya.

Nah teman-teman…!! Apa yang saya tulis ini mungkin terlalu singkat untuk menggambarkan banyak hal selama 6 tahun bersama Ocha sebagai teman satu sekolah. Banyak yang tidak bisa saya ungkapkan menyangkut privacy Ocha, atau mungkin karena ketidakmampuan saya untuk menuturkan kembali secara tertulis kenangan masa lalu kami yang bagi saya tak mudah dilupakan.

Ada beberapa hal yang yang bisa saya petik dari Ocha adalah, sikap totalitas dan dukungan keluarga yang menjadikan bakat emasnya terolah dengan baik dan mengkilau menghiasai, bukan saja di tingkat lokal, tetapi mungkin jauh melampaui apa yang dibayangkan sebelumnya oleh Ocha di masa SMA. Dia telah menjadi sosok Diva Musik Indonesia yang juga dikenal dibeberapa negara tetangga, yang tanpa malu-malu menyebut Sumedang, kota kecil sebelah timur Kota Bandung, sebagai kota kelahirannya. Ini berbeda dengan anak remaja tanggung saat ini atau beberapa kalangan yang lebih suka disebut berasal dari Bandung daripada menyebut Sumedang, agar lebih bergengsi.

Dalam pandangan saya, Ocha pun termasuk sedikit artis yang cerdas, bersikap, bertutur kata, dan berperilaku relatif santun dan intelek. Kesarjanaannya mengawal dan menjaga dia untuk dapat menjadi panutan yang baik bagi para penggemarnya. Apa yang diperoleh Ocha saat ini pun bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan dan mudah. Tapi merupakan hasil dedikasi dan kerja kerasnya menggapai cita-citanya sejak kecil, serta tentu saja dukungan orang tua dan orang-orang terdekat yang menyayanginya. Ia artis yang cukup teguh menjaga integritas dengan prinsip-prinsip yang diyakininya. Simaklah acara-acara gosip di televisi. Hampir tidak ada gosip miring dan kontroversial tentang Ocha. Kalaupun ada, (sory ya cha…!) muncul karena faktor Yoyok sebagai suaminya. Selain itu, saya kira tidak ada.

Coba simak juga bagaimana cara dia berhadapan dengan wartawan, dan bagaimana dia menjelaskan sesuatu kepada publik. Tutur katanya runut dan logis, sikapnya tenang dan intelek. Saya percaya itu bukan dibuat-buat. Tapi sungguh hadir dari sosok seorang Ocha, karena saya cukup tahu dia mampu untuk itu.

Ketulusannya pun terlihat ketika tanpa publikasi media dan gembar gembor sana sini, Ocha membantu biaya pembangunan fisik ruang kelas di SMAN 1 Sumedang, sekolah kami. Yang saya dengar hampir ratusan juta Ocha keluarkan untuk membantu pembangunan fisik itu. Sehingga sampai kini Ocha menjadi “kesayangan” sekolah kami. Suatu hari di bulan Agustus 2008, saya menghadiri HUT SMANSA Sumedang. Salah satu nama yang kembali disebut memberi kontribusi atas pembangunan fisik sekolah kami adalah Rossa. Dan penghargaan khusus saya rasakan ketika adik-adik kami di SMANSA menggelar Lomba Menyanyikan Lagu Rossa pada acara itu.

Itulah Ocha. Diva Musik Indonesia, yang cerdas dan terlahir untuk menghibur seluruh khalayak musik tanah air. Konser tunggalnya adalah akumulasi kerja keras dan prestasi yang bukan berarti tanpa pengorbanan. Tapi Ocha telah menempuh jalannya dan berkarya terbaik yang ia berikan. Kami, teman-teman yang mungkin agak sedikit terlupakan, juga sebagai yang terlahir dan menjadi bagian dari masyarakat Kabupaten Sumedang, salut dan bangga padamu. ***