Showing posts with label kenangan. Show all posts
Showing posts with label kenangan. Show all posts

Monday, July 3, 2023

Legenda tentang Tiga Anak Laki-laki dan Kodok Sialan di Gunung Tampomas


HARI Sabtu, 13 Pebruari 1999 hatiku sedang berbunga-bunga. Bukan karena besoknya tanggal 14 Pebruari dikenal sebagai Hari Valentine. Ah.. dari dulu saya menganggap Valentine Day's sebagai hal yang tak penting, dan tak pernah sekalipun saya di masa remaja, ikut-ikutan merayakan hari tersebut.

Lantas apa yang membuat hati saya berbunga-bunga saat itu ? Hmmm...apa ya?! Sudahlah, biar orang-orang tertentu saja yang tahu. Yang pasti, di hari itu, selepas Isya saya berada di rumah Sastra, salah seorang sahabat terbaik saya. Henra Sastrawan, nama lengkapnya. Dia saat itu tercatat sebagai mahasiswa semester 4 Jurusan Geodesi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

KUBACALA di Tahun 1998

Sejak Juni 1997, Sastra meninggalkan Sumedang. Dia jadi Mahasiswa Baru UGM dan tinggal di Yogja. Bila libur kuliah saja dia pulang, dan menemui saya di "Geusan Ulun 136". Atau bila bertepatan waktunya saat Arif "pesiar" dari Ksatrian Jatinangor, kami bertiga biasa bertemu di "Arif Rahman Hakim 151".

Tapi saat itu, selama satu pekan itu, bukanlah waktu libur kuliah bagi Sastra. Dia pulang ke Sumedang, karena di akhir Januari 1999, saya meneleponnya tentang satu rencana besar dan indah. Saya hanya mengabarinya, seperti halnya saya memberi kabar soal rencana besar dan indah itu kepada Arif.

Namun, yang membuat saya terharu, dia sengaja pulang hanya untuk menemani saya, mendukung saya habis-habisan, memastikan, dan menjadi saksi ketika saya dapat mewujudkan rencana besar dan indah itu.

"Urang balik gara-gara maneh nelepon, Cus..hahahah...!" ujar dia, sambil tertawa dan memeluk saya, saat tiba di stasiun kereta api Bandung, akhir Januari 1999, lalu semalam tinggal di kosan saya saat itu, di kawasan Sadangserang Kota Bandung.

Ah...Sas...Rif. ! No one could ever know me..No one could ever see me..seems like you are the only one who know......dan seterusnya...hehehehe

Baiklah teman-teman, kita lanjut.

Di dalam kamarnya yang cukup luas, saya dan dia asyik ngobrol banyak hal, terutama tentang apa yang kami alami sejak sabtu siang. Tentu saja, ada kopi, dan rokok. Saya ingat, sejak masuk ke kamarnya, sudah ada dua bungkus rokok tergeletak di lantai kamarnya. Yang satu, rokok merek "KING" (sekarang kayaknya sudah tidak diproduksi lagi rokok ini), dan satu lagi "Garfit".

Saya berterima kasih kepadanya, karena dukungan, fasilitas, dan beragam tutorial yang dia ajarkan kepada saya, berhasil membuat saya sampai pada salah satu momen indah dan bahagia di masa itu. Jadi saya tak perlu repot-repot membaca buku berjudul "How To....." hahaha....cukup mendengarkan nasihatmu saja soal itu, Kawan ! hahaha...

"Yah...takdir maneh Cus... Urang senang kamu bisa bahagia...!" ujarnya

"Nuhun Sas...!," jawabku.

"Maneh beruntung... sok ayeuna mah, tinggal menjalani... kalem..., aya urang jeung si pendul (Aip)," kata Sastra lagi, sambil tersenyum. Tapi matanya, nampak menerawang ke langit-langit kamar. Entah apa yang dia pikirkan.

"Yah..ngan maneh jeung si pendul nu nyaho uing," ujarku, menanggapi.

Selanjutnya kami berdua terlibat obrolan penuh canda dan tawa. Sekadar mengenang apa yang telah kami lalui sejak berkawan akrab di Smansa, hingga malam itu, setelah baru tiga tahun kami lulus Smansa. Tentu saja cuma sedikit yang bisa dikenang. Apalagi kalau bukan Kisah Cinta, Paskibra, atau Pramuka.

Ya....memang baru sebatas itu. Tapi ada nilai yang layak dihormati, jauh lebih bernilai dari kisah-kisah masa remaja kami.

Sementara, di luar hujan gerimis bulan Pebruari itu turun. Rintikannya, membasahi kaca jendela kamar Sastra.

"Urang rek cerita ke kamu...tapi ulah ngambek nya...," kata Sastra.

"Cerita naon? Serius? atau heureuy?," tanyaku.

"Terserah kamu rek memandang na serius, atau heureuy, tapi ieu cerita mungkin tentang maneh..,..." jawab Sastra.

"Tentang naon sih? penasaran...!?," ujarku, kembali bertanya.

"Naon nu terjadi poe ieu, nu di alami ku maneh poe ieu, sepertinya pernah terjadi dina mimpi urang, Cus...," lanjut Sastra.

Jidatku sedikit mengerut, dan merasa heran. Tapi saat itu aku merasa perlu mendengarkan Sastra bercerita.. Tak adil rasanya, bila aku yang sedang berbahagia, tak mau mendengar curhatan Sastra, sahabat baikku.

Tapi saya kemudian memasang wajah serius dan mulai mendengarkan cerita sastra itu.

Apa yang Sastra ceritakan itu hingga saat ini tetap terngiang dalam benak saya, dan rasanya sulit saya lupakan. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi tentang cerita sastra itu. Mudah-mudahan ada hikmah dan manfaat untuk kita semuanya.

Karena Sastra bercerita dengan kalimat-kalimat lisan (percakapan), campur aduk antara Bahasa Sunda dan Indonesia, tentu saja, kali ini saya sesuaikan dengan bahasa tulis, supaya narasinya bisa lebih runut. Mungkin boleh dibilang jadi sebuah cerita pendek yang saya tulis buat kalian, teman-teman, para pembaca blog ini.

***

"Cus...suatu saat urang pernah ngimpi........Dina mimpi eta, urang, aif, jeung maneh naik Gunung Tampomas....,," begitu ujar Sastra, memulai ceritanya...

Dalam mimpiku itu, ada tiga orang anak laki-laki yang baru lulus SMA, naik ke Gunung Tampomas. Supaya gampang, sebut saja namanya Kurniawan, Sastra, dan Arief.

Seperti layaknya anak-anak pencinta alam, ketiga anak laki-laki itu menggunakan baju planel, celana lapangan, sepatu, dan di punggungnya menggantung ransel besar, penuh dengan perbekalan. Mereka tiba di jalur Cibeureum beberapa saat setelah adzan Maghrib.

Saat itu musim kemarau. Cuaca langit sangat cerah. Selepas magrib, bintang-bintang nampak menghias langit.

Setelah menumpang truk pengangkut pasir, ketiganya menapaki jalan tanah berbatu di kaki gunung, yang mulai menanjak. Mereka berjalan dengan riang gembira dan penuh obrolan canda sehingga tidak terasa ketiganya, segera tiba di "Gerbang Pohon Pinus", yang menjadi awal jalur pendakian menuju puncak Tampomas.

Beberapa langkah sebelum melewati gerbang tersebut, dari balik salah satu pohon besar yang ada di situ, tiba-tiba muncul seorang kakek-kakek berjubah putih. Rambutnya yang panjang kira-kira sebahu, juga berwarna putih, berpadu dengan sebuah iket batik di kepalanya.

Sontak saja, ketiga anak laki-laki itu kaget bercampur rasa takut.

"Jangan takut nak!, Saya yang menjaga gerbang ini," ujar si Kakek. Dari wajahnya tersorot wibawa yang besar. Matanya tajam menatap, tapi menunjukkan sikap ramah.

"Punten Aki..punten pisan..," ujar Arief, yang memang paling berani di antara ketiga anak tersebut. Sementara Kurniawan dan Sastra terdiam, tegang.

"Hehehe... jangan takut cucu-cucuku. Kalem..kalem...selow...!," kata si Kakek.

Ketiganya saling pandang, sambil tetap bersiap mengambil langkah seribu jika terjadi sesuatu yang berbahaya.

'Hmmm..kalian mau naik ke puncak ya?," tanya Si Kakek.

"Iya Ki.. mohon ijin.. kami bertiga mau naik ke puncak," jawab Arip dengan sikap penuh sopan.

"Hmmm...cucu-cucuku, sebaiknya kalian pulang. Jangan naik ke puncak malam ini. Sudah gelap, dan sebentar lagi akan turun hujan lebat," jawab si Kakek, dengan suara yang tenang.

"Oh iya Ki...kenapa tidak boleh Ki ? Terus...cuaca menurut kami cerah Ki..tidak ada tanda-tanda akan turun hujan lebat," kata Arip. Dia mulai menunjukkan keberanian, karena si Kakek nampak ramah.

"Hehehe....sudah berapa kali kalian naik ke gunung, cucuku? Di gunung itu cuaca tidak bisa diprediksi. Sudahlah..! Aki peringatkan kalian, pulanglah! Jangan naik! Sebentar lagi hujan lebat!," kata Si Kakek, tegas.

Ketiga anak itu nampak saling pandang, dan merasa heran. Ketiganya merasa yakin, hujan lebat tidak akan turun, karena langit malam itu begitu cerah, dan bintang-bintang nampak indah.

"Iya Aki...tapi kami yakin, tidak akan hujan lebat. Kalaupun hujan lebat terjadi, kami bertiga sudah siap bawa ponco dan tenda," jawab Arip.

"Iya Aki..kami siap dan bawa perbekalan," timpal Kurniawan. Sementara Sastra tetap diam mengamati.

"Hmmm...baiklah kalau begitu. Kalian sudah Aki peringatkan, tapi memaksa, silahkan saja. Tapi aki mau berpesan, supaya kalian selamat sampai puncak dan kembali ke rumah," kata si Aki.

Ketiganya nampak senang dengan ijin si Kakek, tapi kemudian segera memasang wajah serius mendengarkan pesan si Kakek.

"Kalau ternyata nanti hujan lebat turun, berhati-hatilah! Sebab nanti tiba-tiba akan muncul kodok atau bangkong di sepanjang jalan menuju puncak. Kalau kalain sampai menginjak kodok tersebut, maka kalian akan memiliki pacar atau kekasih yang paling buruk se-dunia," kata si Kakek sambil terkekeh-kekeh.

Mendengar nasihat itu, ketiga anak laki-laki itu kemudian saling pandang.

"Memangnya kenapa sih Ki...kalau.....," kata Arip.

Tapi pertanyaan Arip tidak selesai, karena si Kakek keburu menghilang dengan ajaib.

Setelah si Kakek menghilang, Arip, Sastra, dan Kurniawan kemudian duduk sejenak menenangkan suasana dan mencoba keluar dari rasa takut dengan kejadian itu.

"Kalau aku sih mendingan balik aja, kita pilih selamat," kata Sastra.

"Kagok Sas...! Tanggung ! Jauh-jauh ke sini, Insya Allah gak akan terjadi apa-apa," ujar Kurniawan.

"Kalau ternyata benar hujan lebat seperti yang dikatakan si Aki? Gimana?," tanya Sastra.

"Terus kalau tidak terjadi, gimana?," jawab Kurniawan dengan sengit. Dia paling yakin prediksi si kakek gak akan terjadi.

Arip yang memang jadi leader dalam pendakian itu, masih diam. Belum mengambil keputusan. Dia nampak merenung. Wajahnya seserius ketika menghadapi pelajaran fisika Pak Yayat Atang di Smansa.

Sejenak ketiganya saling diam.

"Hmm...bagaimana kalau kita terus saja, tapi tetap hati-hati?," kata Arip

"Alasannya apa Rif? Bukan saya takut, tapi kehadiran si Aki itu aneh, dan omongannya juga aneh, " tanya Sastra.

"Hmm...Si Aki itu mengingatkan ada hujan lebat, dan kodok. Kalau hujan lebat, kita bawa ponco kan? Bukan sekali kita naik gunung di tengah hujan lebat, kan?," jawab Arip.

"Terus itu soal kodok, ya cuma kodok kok...hehe...kalau buaya sih, baru aku takut," kata Kurniawan sambil tertawa kecil.

"Yang penting kita hati-hati! Jangan sampai menginjaknya! Kalau si kodok yang injak kita, barangkali itu malah jadi beruntung, Sas..hehehe..," lanjut Kurniawan.

Akhirnya, Sastra setuju. Dan ketiganya melanjutkan perjalanan.

Sampai tiba di Pos 2 pendakian, situasi normal dan biasa saja.

"Alhamdulillaah, tidak terjadi apa-apa kan..!?," ujar Kurniawan saat ketiganya beristirahat di pos 2.

"Iya..Alhamdulillaah..Tapi kita harus tetap hati-hati sepanjang jalan," jawab Sastra. Keberaniannya mulai kembali.

Singkat cerita, ketiga anak lelaki itu melanjutkan perjalanannya.

Namun, baru setengah perjalanan meninggalkan pos 2, tiba-tiba terdengar suara halilintar dan angin dingin yang berhembus agak kencang. Langit nampak tiba-tiba gelap. Dan tak lama kemudian, hujan mulai turun.

"Wah...nampaknya benar kata si Aki...," kata Sastra.

Ketiganya sejenak berhenti dan segera memasang ponco atau jas hujan masing-masing. Suasana mulai tegang.

"Waspada dan hati-hati Kawan ! Kita terus berjalan, nanti di Pos 3 kita berhenti, tanggung kalau berhenti di sini," seru Arip.

Ketiganya terus melangkah dengan hati-hati. Masing-masing membawa lampu senter yang cukup terang. Oiya dulu belum musim "Headlamp". Yang ada itu lampu senter merek "Butterfly".

Sastra berjalan paling depan. Arif di tengah, dan Kurniawan berada paling belakang.

"Aaahh...aduuuuh...," tiba-tiba Sastra berteriak, dan nampak langsung jongkok.

"Kenapa Sas?," kata Arip.

"Duuh... kaget, tiba-tiba saja ada kodok melompat di depanku. Dan terinjak!," kata Sastra. Dia nampak pucat.

Ketiga anak itu tertegun. Apa yang dikatakan si Kakek Misterius terngiang lagi. Dan satu satu mulai terbukti.

"Sudah..! Jangan percaya apapun ! Jangan tersugesti omongan si Kakek! Ayo kita teruskan saja perjalanan. Yakin, kita sampai dengan selamat !," tegas Kurniawan.

"Ya..kita terus Sas!" kata Arip, memberi komando.

Sampai kemudian ketiganya tiba di Pos 3 sekitar "Kai Malang", dengan selamat. Tapi saat tiba di Pos "Kai Malang" itu, mereka kaget, karena di situ sudah ada seorang pendaki perempuan, sedang istirahat.

"Punten...boleh aku duduk di sampingmu?" kata Sastra, yang tiba-tiba saja mengambil inisiatif menghampiri perempuan itu.

"Hey...mangga..silahkan duduk, sudah dari tadi saya menunggu,"ujar perempuan itu.

Arip dan Kurniawan nampak saling pandang. Heran, kaget, dan takut, bercampur aduk. Sastra yang biasanya pendiam dan jaim jika berkenalan dengan anak perempuan, tiba-tiba bersikap seperti itu.

Arip dan Kurniawan lebih kaget dan bulu kuduknya mulai merinding ketika mulai jelas melihat wajah perempuan itu. Gimana ya..Sulit menggambarkan. Kalau ada perempuan yang paling buruk rupa di dunia ini, mungkin seperti itulah. Tapi heran, Sastra begitu terpesona. Dia nampak centil, dan asoy, bercerngkrama dengan perempuan itu.

Melihat Arif dan Kurniawan heran, Sastra kemudian melangkah menghampiri keduanya yang duduk agak jauh dari perempuan itu.

"Rif..Kur... tiba-tiba saya merasa jatuh cinta. Duh..geulis pisan ih si teteh teh...ah....," ujar Sastra sambil cengar-cengir, ganjen alias centil.

Arip dan Kurniawan saling pandang. Mulai merasa syok dengan hal itu.

"Kalau kalian mau lanjut ke puncak, sok aja ya..saya mah takut..kan si Aki sudah bilang, akan banyak kodok. Saya takut nginjak kodok lagi. Mendingan di sini aja saya mah, asoy sama si teteh..euu..siapa ya namanya...lupa..," kata Sastra, sambil terus kembali ke arah perempuan itu.

"Hey..iya...kalau kalian mau terus jalan..ya terus aja. Gak apa-apa kok aman. Saya sama teman kamu saja. Jangan takut. Teman kamu aman kok. Dia jodohku," kata perempuan itu seperti bisa membaca pikiran Arip dan Kurniawna.

Merasa kalau Sastra sudah tidak bisa di ajak lagi, dan yakin dengan jaminan si perempuan bahwa Sastra akan baik-baik saja, akhirnya Arip dan Kurniawan memutuskan terus berjalan.

Sepanjang jalan, keduanya terlibat percakapan.

"Rif..Si Sastra teu salah?" bisik Kurniawan kepada Arip.

"Duh...asa jadi inget omongan si Aki... Jangan-jangan yang dimaksud celaka atau nasib buruk itu seperti si Sastra, " kata Arip.

"Ah jangan percaya ! Itu bukan nasib buruk. Mungkin itu memang jodoh si Ssstra hahaha...," ujar Kurniawan.

"Bukan begitu. Waktu jalan dari Pos 2, dia kan menginjak kodok! Dan di pos tiga, dia ketemua perempuan itu..dan aneh sekali sikap dia..Ah..jadi takut," kata Arif.

"Hmmm..ya sudah..yang penting kita hati-hati. Jangan sampai menginjak kodok," timpal Kurniawan.

"Iya...Tapi kamu sekarang yang berjalan di depan ya..hehehe," jawab Arip.

"Oke Bos!," jawab Kurniawan.

Dengan lampu senter Kurniawan menerangi jalan. Hujan lebat terus turun tak berhenti, sehingga keduanya berhati-hati sekali melewati jalan setapak menuju Pos 4, pos terakhir sebelum puncak Tampomas.

"Aduh...Cuusss....Celaka..celaka ini mah.....!," tiba-tiba Arip yang berjalan di belakang Kurniawan berteriak. Sontak membuat Kurniawan kaget, dan segera berbalik badan.

"Kunaon rif?" tanyanya.

"Duh...saya sudah hati-hati sekali berjalan. Tapi tiba-tiba dari samping ada kodok loncat, tak terlihat. Saya kaget, dan langsung menginjak kodok itu hingga mati..Tuh ..lihat!" kata Arip dengan nada bergetar, sambil menunjukkan bangkai kodok yang dia injak.

Kurniawan yang tadi yakin dan tidak mau tersugesti dengan omoman si Kakek Misterius, kini mulai merasa ngeri. Dia kemudian berjalan di belakang, dan membiarkan Arip berjalan di depan. Dengan sisa tenaga dan mulai dihantui rasa takut, akhirnya keduanya tiba di pos 4.

Dan herannya, seperti yang pernah terjadi di Pos 3, Arip pun tiba-tiba terlihat bergairah, centil dan cengengesan, ketika di Pos 4 ternyata sudah menunggu seorang perempuan muda dengan tubuh yang terlihat sangat sexy. Saat itu ada Film Televisi berjudul "Baywacth", bintangnya adalah Pamela Anderson. Nah ..seksinya tubuh perempuan itu, mirip Pamela Anderson.

Tapi yang membuat Kurniawan bergidik saat melihat wajahnya. Seperti Nenek Lampir. Anehnya Arip tidak peduli, dan nampak tergila-gila.

"Cus...ini nampaknya takdirku malam ini cuma bisa berjalan sampai Pos 4. Saya jatuh cinta sama si Teteh yang bohay itu," kata Arip dengan wajah centil dan cengengesan.

"Ah..Dasar Cengos...," kata Kurniawan, nampak kesal, tapi bingung.

"Sudahlah..Lanjut saja. Kalau pun ini dianggap nasib buruk. Biar saja lah..Yang penting saya asyik dan asoy saja sama si Teteh Canti bagai bidadari ini. Saya dan Sastra berharap kamu berhasil mewujudkan rencana kita!," kata Arip, setengah berpidato. Dia nampak tidak acuh, dan terus aja mengaleng pinggang perempuan itu.

"Hey...iya..A Arif kasep mah jodoh aku. Jangan takut Aa Arif akan aman, dan saya akan berikan apa yang Aa Arip mau..," kata perempuan itu.

Dengan sisa semangat yang ada, Kurniawan mencoba membuang rasa ngeri dan heran yang luar biasa. Dengna tenaga yang ada, dia akhirnya terus berjalan sendiri menuju puncak. Meski jarak puncak dan pos 4 itu relatif dekat, namun karena tidak mau terulang seperti Sastra dan Arip, dia berjalan pelan, sangat hati-hati, dan waspada, sehingga cukup lama tiba, dibanding biasanya.

Karena keyakinan yang kuat, tidak mau tersugesti oleh omongan si kakek, dan langkah yang hati-hati meskipun harus lebih lambat serta dengna susah payah, akhirnya Kurniawan tiba di puncak dengna selamat. Selamat dalam arti tidak menginjak satu kodok pun yang ada di jalan.

Hujan lebat pun tiba-tiba berhenti dan langit kembali cerah saat Kurniawan melewati Sanghyang Tikoro, sebuah lahan bekas kawah yang menjadi tanda tiba di puncak Tampomas.

"Alhamdulillah....," ujar Kurniawan.

Dia tidak melihat satu pendaki pun di kawasan puncak. Suasana hening. Angin sepoi-sepoi membuatnya terasa segar. Dia kemudian berjalan menuju batu besar yang ada tepat di tengah-tengah kawasan puncak Tampomas.

Namun beberapa langkah menjelang tiba, Kurniawan heran karena di batu tersebut nampak seorang pendaki perempuan tengah duduk membelakanginya. Sesaat kemudian dia teringat apa yang terjadi dengan Sastra dan Arip. Maka dia pun berhenti melangkah dan mencoba berbalik arah.

Tapi saat hendak berbalik badan, si perempuan yang duduk di batu itu mendahuluinya berbalik badan, menghadap ke arahnya.

Dan.....Kurniawan terpana!. Perempuan yang mengenakan kemeja lapangan warna krem, dengan syal oranye melingkar di leher itu tersenyum, kepadanya. Rambutnya panjang melampaui bahu, dibiarkan tergerai.

"Cantik sekali....," ujar Kurniawan, membatin.

Tapi, dia tidak mau gegabah. Dia tetap curiga. Bagaimanapun, keanehan yang terjadi pada Sastra dan Arip telah menghantuinya. Makanya, dia tetap waspada.

"Sendirian A !," tanya perempuan itu, tanpa sedikit pun melepas senyum.

"Iya..saya sendirian ! Kamu siapa?," jawab Kurniawan, dengan nada datar, dan dingin.

"Ih..Aa meni curiga kitu. Sini..kenalan dulu atuh baik-baik. Bilang Assalamu'alaikum kituh...," kata perempuan itu, dengan mengedipkan mata penuh arti.

Anak-anak remaja gaul tahun 90-an pasti mengenal Jihan Fahira, Model Top Indonesia di era itu. Nah, kira-kira seperti itulah wajah perempuan di hadapan Kurniawan, di puncak gunung itu.Atau mungkin tidak jauhlah dengan Cindy Crawford, super model Hollywod yang terkenal di era 90-an.

Melihat langit yang cerah, suasana yang ramah, serta perempuan yang memang asli cantik itu, Kurniawan akhirnya luluh juga. Dia membuang jauh-jauh rasa curiganya. Dia mendekat, berkenalan dan kemudian nampak terlibat perbincangan yang hangat dengan perempuan cantik tersebut. Agar gampang, kita sebut saja si perempuan itu dengan Cindy.

Bahkan setelah beberapa lama, Kurniawan dan perempuan itu nampak saling menggenggam tangan dengan mesra.

"Kamu bener-bener cinta sama aku?," tanya Kurniawan. Dia masih merasa ragu dan tak percaya dengan suasana itu.

"Iya...," ujar Cindy

"Kamu mau menerimaku apa adanya?," tanyanya lagi.

"Iya sayang...aku menerimamu apa adanya," kata si Cindy

"Duh....," kata Kurniawan. Dia tersenyum, terus menunjuk malu-malu.

"Kenapa? Ada apa sayang? Kok jadi nunduk-nunduk gitu?," tanya Cindy penuh mesra.

"Nggak..aku sangat bahagia beduaan sama kamu di sini. Tapi aku sedih dengan nasib dua sahabatku," jawab Kurniawan.

"Hmm...siapa? dan kenapa mereka?" tanya Cindy. Wajahnya serius.

"Hmm..panjang ceritanya..," kata Kurniawna, sambil terus menceritakan lagi apa yang telah dia alami dan saksikan sendiri tentang Arip dan Sastra.

"Apa yang dikatakan Si Aki itu benar. Sastra dan Arip menginjak kodok, dan dia bertemu dengan perempuan yang buruk, tapi jatuh cinta dan ah...begitulah..," kata Kurniawan.

"Jadi cuma kamu yang selamat?," kata si Cindy.

"Iya..,dan merasa bernuntung bertemu kamu di sini, di puncak gunung ..di malam yang indah ini, " kata Kurniawan. Sambil terus menatap Cindy.

"Hmmm....," kata Cindy. Tiba-tiba wajah Cindy nampak sedih. Dia nampak galau.

"Kenapa sayang? Ada apa? Kok tiba-tiba kamu jadi galau?" tanya Kurniawan.

"Hmmm..enggak..euu...duh....," kata Cindy. Dia nampak makin galau.

"Kenapa sih? Apa ada yang salah?," tanya Kurniawan.

"Enggak...Tapi... memang..eeuu, pas tadi di Gerbang Pinus, aku pun bertemu Aki-aki Berbaju Putih...," kata Cindy.

"Oh ya? Lantas?," tanya Kurniawan, dia mulai nampak terkejut dan heran.

"Iya..sama.. Si Aki juga berpesan kalau akan terjadi hujan lebat dan banyak kodok di jalan..," kta Cindy.

"Hah...terus?," kta Kurniawna, makin penasaran.

"Dan tadi kira-kira beberapa langkah lagi menuju puncak, aku menginjak kodok ...," kata Cindy, dengan wajah memelas.

"Haaaaaah..Ammpuuuuun.........Jadiii....?!!!" kata Kurniawan. Wajahnya menganga, kaget bukan kepalang.

***

Demikianlah teman-teman. Saya yang tadinya merasa semakin berbunga-bunga dengan cerita Sastra itu, tiba-tiba berteriak. "Geloooooo.....sugan teh naon ..hahahahahhaha...,"

Saya dan Sastra pun tertawa habis-habisan. Ya...Sastra nampak bahagia berhasil mengerjaiku dengan cerita dan guyonan kodok sialan itu. Kami sepertinya jadi dua anak laki-laki yang berbahagia di Sabtu, Malam Minggu 13 Pebruari 1999 itu.

Sekitar jam 22.00 saya pamit pulang dari rumah Sastra dengan hati yang begitu bahagia dan sekali lagi, berbunga-bunga.

"Cus...kade nincak kodok...hahahaha...!" ujar Sastra, sesaat setelah saya keluar dari pintu rumahnya.

Setiba di rumah, di dalam kamar saya merenung. Mungkin benar apa yang dikatakan Sastra. Saya boleh jadi bukan orang yang berhasil dalam kisah-kisah cinta masa remaja. Tetapi selalu beruntung..hehehe..

Sas...Rif..ieu tulisan jang maneh ! No one could ever know me...No one could ever see me...Seems like you're the only one who know..... hehehe... ***




Sunday, June 11, 2023

Taman Balaikota Bandung 1994, Keakraban dan Persahabatan Jauh Lebih Berarti dari Piala LBB itu

SIANG itu, bulan Juli 1994, usai pulang sekolah, Kang Ridwan Mustofa, dan beberapa senior kelas 3, mengumpulkan kami, angkatan "Taruna Bangsa 93" Paskibra Smansa Sumedang, di Aula sekolah. Saat itu, disampaikanlah bahwa kami harus mengikuti lomba baris berbaris (LBB) yang digelar oleh Paskibra Kota Bandung. 

Satu peleton disiapkan untuk itu. Dan aku sendiri, hanya menjadi personel cadangan. Aku senang saja sebagai cadangan. Setidaknya aku bisa turut bersama teman-teman, menemani perjuangan mereka. 

Paskibra Smansa "Taruna Bangsa" saat ikut LBB
di Taman Balaikota Bandung, 5 Agustus 1994. 

Demi menghemat tenaga dan konsentrasi, maka kami memutuskan untuk menginap satu hari di Bandung. Untuk itu, Asep Indra Gumilar (Ige), sahabat baikku sejak SMP, kembali berperan besar. Dia mempersilahkan rumah orangtuanya di Komplek Arcamanik Kota Bandung, untuk dijadikan tempat menginap seluruh tim. Maka kami pun berangkat Sabtu sore 4 Agustus 1994 menuju rumah Ige, di Bandung.

Sekedar catatan saja, pasukan yang ikut ke Bandung saat itu adalah; Windhu Tresna, Roni Tonius, Rika Romayanti, Yunyun Yuniar, Nia Dwi, Tita Roosdiana (botit), Dianty Soberlin (Berlin), Taufik Priatna, Gumelar, Dendi, Alya Fadhila, Ige, Erna, Aten Satiana, dan Meti.

Mereka adalah anggota inti. Sementara Mahmud Fasya, Rudi Pebriana, Nova Rukhaida, Heni Rohani, Deci Kuswardhani, dan saya sendiri sebagai anggota cadangan sekaligus penggembira.

Kami sudah menginjak di kelas 2 saat itu. Hanya Kang Yayan Yunari, senior kelas 3 ditunjuk sebagai danton. Entah alasannya apa. Mungkin karena dari seluruh anggota pasukan Taruna Bangsa, suaranya cempreng semua. Kurang nge-bass. Hehehe..
  
Selain Kang Yayan, senior kelas 3 yang membimbing kami antara lain Kang Ridwan Mustofa, Kang Ade, Kang Cecep Ridwan serta Teh Wiwin.

Guru Pembina eskul Paskibra yang turut hadir dan menginap di rumah Ige itu adalah Pak Timbul Kusdiantoro, dan Pak Ujang Sudrajat (Allahuyarham). Adapun Bu Tuti Supriati (sebagai salah seorang pembina OSIS) bergabung di lokasi kegiatan. Bahkan aku ingat, saat sudah di lokasi lomba, datang pula Kang Kurniawan Hidayat, senior yang sudah menjadi alumni, datang menyemangati kami. Dia anggota Purna Paskibraka Indonesia 1992.

Satu yang cukup berkesan saat itu adalah bergabungnya seorang siswi pindahan asal Jakarta. Namanya Nia Dwi Jualianti. Pengalaman Nia saat menjadi anggota Paskibra di sekolah lamanya di Jakarta, membuat dia cepat bahkan langsung bisa beradaptasi dengan kami sebagai satu pasukan. Bahkan, Nia DJ terpilih dalam seleksi calon anggota Paskibraka DKI Jakarta dan siap mengibarkan bendera tanggal 17 Agustus 1994. Tapi kepindahannya ke Sumedang, membuat hal itu tak terjadi. 

Nia yang cantik, tubuhnya semampai ideal, pandai bergaul, khas anak kota, namun tidak sombong, tentu membuat kami senang. Beberapa di antara kami bahkan para senior kelas 3, nampak berupaya tebar pesona di depan dia. Hahahaha... tapi yang kutahu semua gagal. Nia hanya senyum-senyum, manis dan ramah menanggapi mereka semua.

Oiya, saat itu pun mulai bergabung Rudi Pebriana, sahabat sepermainan sejak SMP. Dia pindahan dari SMA Tanjungsari, dan turut bergabung di Paskibra.

Selepas maghrib, kami tiba di Arcamanik. Pak Dodi Kusumaningrat (allahuryarham) ayah Ige, dan Mamah (saya memanggil ibunya Ige), serta si Ade bayi (adik bungsu Ige) yang saat itu sudah bisa berjalan, menyambut kami.

Karena mungkin hanya Aku dan Rudi yang dikenal baik oleh orang tua Ige, maka merekalah yang memintaku dan Rudi untuk turut mempersiapkan segala sesuatunya di rumah itu. Aku pun tentu saja tak sungkan. Tak merasa menjadi tamu.

Waktu senggang selepas Isya dan sudah pada mandi, senang rasanya kami berkumpul bersama, ngobrol, becanda, bernyanyi bersama, dalam suasana yang berbeda dari hari-hari biasa.

Kami saat itu tanpa Arif, Rizti, dan Dwi Kiki. Arif masuk barak calon anggota Paskibraka Jawa Barat. Sementara Rizti dan Dwi Kiki masuk barak capaska Sumedang. Hanya tiga teman itulah yang terpilih dalam seleksi.

Di antara teman-teman Paskibra, aku terbilang yang paling lancar bermain gitar. Beberapa lagu yang sedang Hits saat itu pun dinyanyikanku bersama beberapa orang teman.

Tentu saja petikan gitarku, jangan dibandingkan dengan Kang Cecep Ganda, atau anak-anak band. Yang penting asal Chord-nya masuk, dan genjrengnya tepat saja. Tapi karena ada Nia DJ, si anggota baru itu, aku berusaha memetik gitar sehebat mungkin, sebagus mungkin, sebisaku. Dan akhirnya berhasil juga membuat dia menyapaku dengan senyum. Hahahah...

“Eh nyanyiin lagu Fixing a Broken Heart, dong” kata Nia DJ nyeletuk.

"Oh..euu..iya...eh yang mana ya?" tanyaku. Wajahku mulai terasa blo'on.

Seperti pernah dibilang oleh Nova Rukhaida (anak Fisika 1), aku merasa PLUTO...Polos, Lugu, dan Tolol.

"Ah masa sih gak tau, itu tuh lagunya Indecent Obsession, bisa kan?," kata Nia, dengan wajah yang tetap ramah, dan tersenyum padaku.

Sejujurnya aku tak tahu. Maklum, tak seperti kebanyakan teman-teman yang selalu up to date dengan trend remaja saat itu, sejak SMP aku memang lebih suka lagu dari artis Indonesia, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Chrisye, dan lagu-lagu jadul dari Koes Plus, Panbers, Madesya Grup. Dan..hmm...sedikit ku suka dangdutnya Bang Haji Oma Irama. Kalau lagu sunda, ya Kang Doel Sumbang, dan Darso.

Maka, saat Nia DJ request lagu itu, meskipun memang sedang hits, aku celingak-celinguk tak karuan.

"Hmm..gini nih...," kata Nia, sambil mendekat, duduk di sampingku, di teras rumah Ige, sambil terus bersenandung, mengajariku nada dan liriknya.

Akhirnya aku coba-coba saja. Dengan sedikit memejamkan mata, bergaya seperti seorang musisi hebat menyusun chord lagu, saya berusaha kuat supaya Nia DJ tak kecewa. Hasilnya lumayan. Setidaknya tak membuat Nia serta temen-temen yang denger mengerutkan kening karena sumbang.

"Lagu lain, bisa gak, Lagunya Whitney Houston ?" kata Nia. Suaranya begitu terdengar syahdu.

"Iya Cus, lagunya Saigon Kick bisa gak?" kata Deci Kuswardhani, ikutan nibrung.

Tentu kedua request ttu kujawab dengan geleng-geleng kepala. Ampuuun dah...lagu barat, aku tak bisa. Hahaha..  

Begitulah yang kuingat. Selanjutnya, aku, Dendi, Nia, Deci, Yuyun, Henti, dan Alya, asyik bercengkrama dan nyanyi-nyanyi bersama mengisi waktu malam itu.

Di rumah Ige itu, semua terlihat enjoy. Senioritas dan suasana formal yang biasa terjadi dalam barisan Paskibra sepertinya tidak berlaku. Pak Timbul, Kang Ridwan Mustafa dan lain-lain, malah ikut bercanda, bercengkrama.

Dari ruang tengah, kudengar Taufiq Priatna tawa terbahak-bahak, nampak senang ketika kartu dominonya berhasil poldan. Ada pula Mahmud yang nampak serius ngobrol sama Aten dan Gumelar. Lalu Ige, kawan karibku itu nampak ngobrol becanda dengan Berlin, Botit, Meti, dan lain-lain.

Setelah asyik nyanyi bersama, Nia Dj, dan Alya, memilih masuk bergabung ke ruang tengah. Tinggal saya dan Yunyun di teras rumah.

Saat itulah aku mulai berterus terang kepada Yunyun tentang si Bidadari yang nyuci kaki depan kelas. (Kisah si Bidadari itu jadi inspirasi novel pertama yang saya tulis). Aku merasa perlu curhat kepada dia, karena Yunyun adalah teman sebangku si bidadari saat di kelas. Tentu ada kedekatan yang lebih dibanding yang lain.

“Adeuuh…nyaan yeuh? Ke ku Yunyun disaurkeun,” kata dia sambil senyum.

“Eh..tapi kumaha ceritana bisa naksir?” lanjut Yuyun, bertanya.

“Panjanglah cerita na mah. Tapi..euu dia ayeuna tos gaduh kabogoh teu acan nya Yun?” kataku balik bertanya.

“Duka tah perkawis eta mah. Tapi perasaan Yun mah, jigana belum tah. Sok atuh deketin, didukunglah,” kata Yunyun sambil senyum-senyum gitu.

“Mungkin teu nya?,” tanyaku, seperti bicara pada diri sendiri.

“Mungkin Naon?,” jawab Yunyun

“Ah henteu…hahah…salam we heula nya..,” kataku.

“Ah teu puguh,” kata Yunyun.

Aku tertawa. Sesaat kemudian, datanglah teman-teman yang lain bergabung, dan kami pun melanjutkan dengan obrolan yang lain.

Baru sekitar puku 23.00, Kang Ridwan Mustafa meminta kami semua untuk segera tidur, karena keesokan harinya kami akan mengikuti lomba yang bertempat di Balai Kota Bandung.

Aku sendiri bukan pasukan inti. Karenanya, senior memaklumiku bila tak taat instruksi untuk segera tidur. Apalagi, di rumah itu, orang tua Ige mengandalkanku untuk membantu melayani teman-teman.

Ketika teman-teman tidur atau setidaknya berusaha untuk tidur, saya tetap saja duduk di teras rumah. Seperti kebiasaanku, merenung sendiri. Namun tentu tak berani merokok. Hehehe...

Aku memeluk kedua lututku. Suasana sekitar mulai hening. Obrolan dengan Yunyun sesaat sebelumnya, membuatku senyum-senyum sendiri. Ada sesuatu di rongga dadaku yang ingin kuungkapkan. Tapi kepada siapa?

Aku menoleh ke ruang tamu, tempat di mana teman-temanku tidur seperti di barak saat pelantikan dulu. Terbayang beberapa kisah selama kami semua senasib dan seperjuangan saat kelas 1. Aku bangga pada teman-temanku. Aku senang telah kenal, dan bersama mereka di Paskibra.

“Can tunduh Sas?” kataku pada Sastra yang nampak belum ngantuk, dan sedang menonton siaran televisi, bersama beberapa kawan dan senior.

“Acan euy. Maneh keur naon? Geura sare, ” ujarnya sambil senyum. Aku menjawabnya dengan tersenyum. Saat itu dia belum sangat akrab denganku.

Aku terus saja melamun di luar. Jujur, ingin sekali aku merokok saat itu. Tapi tak mungkin tega, aku merokok di depan teman-temanku. Bukannya takut. Tapi aku menghargai korps, guru-guru kami, dan tentu saja kedua orang tua Ige.

Saat itulah Deci menghampiriku. Dia sama denganku, bukan anggota pasukan inti yang akan berlomba.

“Dieu Ci,” kataku mempersilahkannya duduk di sampingku. Kami kemudian ngobrol.

“Hayoh keur ngalamun tentang saha?," tanya Deci sambil nyengir.

Deci memang salah satu sahabat perempuan yang akrab denganku. Dia teman curhat dan ngobrol yang asyik dan hangat. Aku bisa bicara apa saja pada dia tentang apapun, termasuk urusan cinta. Hahaha.. Selain Arif dan Sastra, dia selalu ada menampung gelisahku untuk urusan itu.

Maka tak heran bila malam itu, aku terus terang tentang si Bidadari kepadanya. Aku belajar memahami seperti apa dan bagaimana cara pendekatan yang baik untuk mendapat perhatian seorang perempuan yang kutaksir. Ah..aku memang Pluto untuk urusan ini. Istilah saat itu, "kurang kawani". Jauh bila dibanding Arif dan Sastra. hahaha..

Beberapa saat kemudian Deci pamit masuk ke dalam rumah, dan aku tetap di teras. Obrolan dengan Deci tentang dia. tertancap di benak, dan pelan-pelan merasuki hati, menghidupkan kembali sesuatu yang kusimpan di dalamnya, sejak pertemuan di Gunung Palasari.

“*..! Mungkinkah?!,” gumamku, sambil menghela nafas, mengakhiri lamunan.

Aku langsung masuk rumah, dan bergabung dengan Sastra, nonton tv hingga tertidur.

**

Esok harinya, 5 Agustus 1994. setelah bersiap, pamit dan berterima kasih kepada kedua orang tua Ige, kami semua meluncur ke tempat lomba. Kami bertemu dengan sesama anggota Paskibra dari sekolah lain se-Jawa Barat. Lomba pun berlangsung, dan kami tak masuk kategori juara.

Bagaimana bisa juara. Dari seluruh pasukan se Jawa Barat, hanya Paskibra Smansa Sumedang yang memakai seragam putih-abu. Sangat sederhana sekali. Para peserta lain menggnakan baju seragam lapangan khas mereka, lengkap dengna atribut kebesaran satuan mereka.

Bukan juara yang kami kejar. Tapi pengalaman, keakraban, kebersamaan, dan suasana yang hangat saat kami datang ke Bandung itulah yang bagiku jauh lebih berarti daripada piala lomba atau gelar juara.

Dan bagiku sendiri, momen itu menjadi momen di mana untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Taman Balaikota Bandung. Aku tak pernah menyangka, jika taman dengan pepohonan yang teduh serta patung Badak Putih di tengahnya itu, menjadi tempat yang akrab denganku beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah di Bandung, dengan kisah yang lain, yang berbeda, tapi tak kalah indah. (*)



Saturday, June 10, 2023

PELANTIKAN ASDS: Ditampar, Dibentak, dan Senior Tidak Pernah Salah



Sore itu, Sabtu 18 September 1993, sekitar pukul 15.30 saya dan teman-teman calon anggota Ambalan Soeria Atmadja Dewi Sartika (ASDS) tiba di Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua. Kami semua akan mengakhiri "masa tamu" dan dilantik menjadi anggota. Seingat saya, pelantikan angkatan kami adalah yang terakhir dilakukan di Kawasan Mata Air Ciembutan. Setelah kami, tak pernah ada lagi pelantikan ASDS di situ, hingga kini.

***

Pelantikan ASDS 1993 di Mata Air Ciembutan
Kak Budi Raharja (paling ddepan mengangkat tangan)
Kak Cuanda Almarhum (kaos biru dongker, di kanan)

Sebuah truk dolak mengangkut kami berangkat dari sekolah, seperti sepasukan relawan tempur yang siap di medan perang. Atau mungkin sama seperti rombongan sapi-sapi kurban idul adha...haha.

Di dalam truk kami berjejalan. Yang saya ingat ada 76 orang calon anggota ASDS angkatan kami yang hendak di lantik. Kami diangkut bersama sejumlah barang-barang seperti tenda, tongkat pramuka, dan peralatan kemah lainnya. Tapi kami semua bergembira.

Dari pemberhtentian truk , kami terus berjalan menuju lapang desa. Di sana kami kemudian berbaris, lalu kakak-kakak senior yang mulai memasang wajah garang, membagi kami dalam beberapa kelompok. Lalu setelah sedikit diberi "olahraga" kecil, kami kemudian dibubarkan dengan satu perintah, membuat tenda regu.

Tentu saja, tenda "Soeria" (sebutan untuk anggota laki-laki) terpisah dengan tenda "Radesa" (sebutan untuk anggota perempuan). Tapi jika disuruh berkumpul di lapangan, kami berbaris berdasarkan regu yang terdiri dari "Soeria-Radesa".

Di tengah kesibukan membuat tenda, beberapa senior Soeria nampak mengawasi kami. Mata mereka tajam. Tidak ada wajah ramah. Sesekali mereka membentak. Ada yang mengejek, ada pula yang meledek. Cuma beberapa yang kuketahui sebagai Dewan Ambalan saat itu yang nampak tenang dan masih sedikit berwajah ramah, seperti Kak Kosasih, Teh Gilang, Teh Santi, Kak Cuanda (almarhum), Kak Ujang, dan beberapa lainnya. Kalau Kak Budi Raharja, Hmmmm..ya dia mah memang gitu. Galak tapi cempreng..hahaha.

Sekitar pukul 19.30 selepas isya, Upacara Pembukaan acara dilakukan di tengah-tengah api unggun yang berkobar. Pak Wahyu Budiman, sebagai Pembina ASDS menjadi inspektur upacara. Suasana mulai terasa khidmat. Jujur saya merinding melihat kobaran api unggun itu. Entahlah.

Suasana agak mencair saat kami semua wajib menampilkan atraksi menyanyi, menari, atau apapun untuk mengisi acara hiburan api unggun. Beberapa teman nampak menikmati, sementara saya sendiri merasa "garing". Saya lebih sibuk dengan pertanyaan di dalam benak saya, apa selanjutnya setelah keakraban ini? Apa rencana kakak-kakak terhadap kami? Seperti apa pelantikan semalam suntuk ini harus kami lalui? Begitulah kira-kira.

Acara api unggun selesai sekitar pukul 21.30, dan kami semua diperintah untuk memasuki tenda regu masing-masing dan tidur.

Kami semua sudah tahu, bahwa tidak mungkin kami tidur. Kami harus bersiap bahwa kami akan dibangunkan lagi. Itu karena Api Unggun itu baru pembukaan. Acara inti pelantikan belum dimulai sama sekali. Maka meski mulai terasa ada kantuk, saya tetap berjaga. Tapi ada juga teman yang tertidur.

Benar saja. Baru sekitar setengah jam kami masuk tenda, suara bentakan, teriakan, caci maki, sumpah serapah, seperti berondongan senjata otomatis AK-47. Saya yang sejak tadi tidak membuka sepatu dan tetap bersiaga dengan segala atribut dan peralatan yang wajib kami pakai selama pelantikan, segera membangunkan teman-teman dan segera membentuk barisan. Maklum, saya Ketua Regu saat itu.

Mata saya sempat melirik ke arah tenda di kanan saya. Saya melihat seorang senior menarik kerah baju salah seorang teman dari regu lain, dan menyeretnya keluar tenda. Namun sebuah dorongan pun membuat saya hampir jatuh ke tanah, dan segera berlari berasama regu saya ke titik kumpul.

Dalam suasana gelap, dibangunkan mendadak lenkap dengan segala macam bentakan, kami dikumpulkan di tengah lapang.

Dengan wajah garang dan bentakan yang nyaris tak pernah berhenti, para senior itu memeriksa kami. Tak pelak kami mendapat tamparan hingga push up. Entah sudah berapa kali. Tak terhitung. Setiap seorang melakukan kesalahan atau tidak lengkap memakai atribut, satu regu harus kena getanya. Dan itu konon dilakukan atas nama KORSA. Ah..saat itu saya tak faham, apa itu Korsa.

Setelah puas membentak dan menghukum kami, para senior itu kemudian berkumpul di tempat tersendiri, dan membiarkan Kak Budi Raharja yang berbicara di depan kami. Saya lupa apa yang disampaikannya.

Saat itu, di tengah keremangan lampu petromak yang dipasang di depan tenda panitia saya melihat banyak orang-orang yang tidak kukenal. Mereka tidak berpakaian atau menggunakan atribut pramuka., Bahkan beberapa di antaranya asyik merokok. Ada yang sudah berkumis. Ada yang berambut gondrong, dan sebagainya. Tak cuma pria. Saat mereka bercengkrama, kudengar suara khas perempuan.

Sampai detik itu saya tidak tahu siapa mereka. Tapi kulihat senior-senior kelas 2 dan kelas 3 begitu hormat kepada mereka. Barulah saat memasuki setiap pos dalam acara Jurit Malam di pelantikan itu kutahu mereka adalah Anggota Kehormatan ASDS atau alumni SMAN 1 Sumedang yang semasa sekolah menjadi anggota ASDS.

Acara Jurit Malam menurutku, tegang tapi mengasyikan juga. Ada senior yang menakut-nakuti kami dengan barang-barang seperti labu hallowen, atau suara-suara aneh menyerupai sesuatu, tapi di telingaku malah terdengar lucu.

Saat melintasi pematang-pematang sawah, tidak cuma ular yang melintas (seperti yang pernah kuceritakan), tapi juga boneka-boneka sawah atau kami menyebutnya "bebegig sawah" nampak bergerak-gerak, sengaja digerakan menakut-nakuti kami. Saat berjumpa dengan senior pun, mereka seperti menyugesti kami dengan kalimat; "Tetap hati-hati, jangan melamun, baca ayat quran, dan sebagainya"

Bagi saya biasa saja. Barangkali, satu-satunya yang membuat saya kaget justru si Ular Sialan itu. Tapi memang kudengar pula bahwa ada teman kami yang kesurupan di salah satu pos. Saya lupa siapa. Tapi memang saat itu cukup heboh.

Selanjutnya, setelah melewati pos terakhir, regu yang saya pimpin tiba kembali di lapangan. Perasaan lelah mulai menerpa. Tapi kami harus bertahan, karena kami kini berhadapan dengan para Anggota Kehormatan.

Tak ayal, bentakan dan tamparan kami dapatkan. Kami lebih banyak diam. Kalau pun menjawab atau berargumen selau saja salah. Karena merasa serba salah, saya memilih tidak banyak menjawab. Dan karena itu, saya memilih menerima tamparan, makian, atau push up. Yah...memang dalam hal seperti itu, "Senior Tidak Pernah Salah".

"Kamu mau melawan saya ya? Catat ya! Nama saya Iin Ruslan!" begitu bentak seorang anggota kehormatan. Wajahnya tepat sekitar dua jengkal dari muka saya.

Saya diam saja. Saya pastikan, menjawab pun pasti salah.

Beberapa saat kemudian, seorang anggota kehormatna lain datang mendekat. Seperti hendak melerai Kang Iin Ruslan itu.

"Sudah... ! Sekarang juga kamu cari yang namanya Taufik Gunawansyah. Suruh dia ke sini!" kata orang itu. Suaranya tenang meski terdengar membentak.

"Siap ! Saya tidak tahu siapa dan yang mana Taufiq Gunawansyah, Kak!" jawabku.

Yang menjawab malah Kang Iin Ruslan.

"Ya kalau kamu tidak tahu, cari tahu dong, gimana caranya. Tanya tuh senior kamu yang lain," ujar Kang Iin, dan,

"Plak..plak..", sepasang tamparan gulungan koran yang dia pegang, mendarat di kedua belah pipi saya.

"Siap Kak !" jawab saya, lalu balik kanan.

Karena bingung harus bertanya ke siapa, maka saya saat itu juga langsung teriak-teriak.

"Yang namanya Taufiq Gunawansyah segera menghadap Kang Iin Ruslan..!" teriak saya, berkali-kali.

Saat berteriak seperti itu, saya mendengar Kang Iin dan para anggota kehormatan itu ramai tertawa terbahak-bahak. Saya tidak tahu apa yang mereka tertawakan.

"Hey kamu! Ke sini!" ujar seorang anggota kehormatan yang tadi menyuruh saya mencari

Saya berhenti teriak, lalu menghadap kepadanya.

"Kamu tahu tidak Taufiq Gunawansyah yang mana, hah?! Siapa yang menyuruh Taufiq Gunawansyah menghadap Kak Iin Ruslan, hah!? Saya tidak menyuruh begitu!" ujarnya, membentak saya. Tapi tidak seperti senior lain, dia tidak menampar atau menyuruh saya push up.

"Kenapa kamu tambah-tambah seperti itu?" tanya dia.

"Biar cepat Kak !" jawab saya.

"Biar cepat? Bagaimana, hah?" tanya dia. Sementara senior yang lain mulai kembali terbahak-bahak.

"Saya tidak tahu Taufik GUnawansyah. Dia juga tidak tahu kepada saya. Tapi saya yakin dia teman Kak Iin. Maka supaya cepat, saya bilang disuruh menghadap Kak Iin," jawab saya. Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan.

"Eeh...apa kamu? Mau jual-jual nama saya, goblok kamu, berani sama saya ya?!" bentak Kak Iin Ruslan. Dan lagi-lagi pipi saya mendapat tamparan gulungan koran.

Saya diam dan mulai merasa lelah. Saya membayangkan betapa enaknya tidur dalam tenda. Sementara para senior anggota kehormatan itu terus saja membentak, menampar, menyuruh push up, menyuruh kami semua mengerjakan hal-hal aneh yang barangkali gak mungkin kami lakukan.

Setelah puas mengerjai saya dan teman-teman regu saya, Kak Iin Ruslan suaranya mulai datar. Tak lagi membentak.

"Coba kamu menghadap ke yang nyuruh kamu tadi, kenalan sama dia. Bilang kata Kak Iin disuruh kenalan gitu!," perintahnya.

Setelah menjawab "Siap!" saya melangkah menghadap seorang senior anggota kehormatan yang tadi menyuruh saya mencari Taufik Gunawansyah. Dia nampak merokok. Tangannya sedang memegang cangkir minum. Mungkin berisi seduhan kopi. Saat itu dia sedang ngobrol dengan seorang senior perempuan, berkerudung. Entah siapa.

"Siap Kak, nama saya Kurniawan. Maaf, saya mau kenalan sama kakak. Disuruh sama Kak Iin," ujar dia.

"Hehehe.... kamu yang tadi saya suruh nyari Taufiq Gunawansyah ya?," tanya dia.

"Siap kak!," jawab saya.

"Saya Taufik Gunawansyah! Sudah sana kembali ke Si Iin. Bilang sudah kenalan," jawabnya santai, lalu kembali ngobrol berdua dengan teteh anggota kehormatan di depannya.

Setelah balik kanan, sambil melangkah kembali ke Kak Iin, hati saya berkata;

"Sialan !!!"

Hahahahhahahaha,.....

Bertahun-tahun setelah pelantikan itu, saya kemudian mengenal Kak Taufiq GUnawansyah itu sebagai sosok yang lain. Saya tidak perlu menjelaskan siapa dan bagaimana dia di Sumedang ini. Bagi saya, Taufiq Gunawansyah ya Taufiq Gunawansyah saja, senior ASDS yang saya hormati, dan mengerjai saya dalam pelantikan yang berkesan dalam. Itu saja.

Esok harinya, sekitar pukul 06.30 Kak Budi Raharja kemudian membawa kami menyusuri jalan setapak menuju Mata Air Ciembutan. Anak-anak Soeria disuruh berendam di sekitar mata air, sebelum kami membacakan Sandi Ambalan Soeria Atmadja. 

Lega rasanya. Karena dengan menyebut Sandi Ambalan itu, secara de facto, kami telah diterima  sebagai anggota. Sisanya tinggal hura-hura pelantikan dengan tingkah senior yang mempermainkan kami saja, tapi penuh dengan kehangatan dan keakraban. 

Demikianlah.
  















Sunday, June 4, 2023

KISAH LUGU PUTIH ABU: Pengalaman Pertama Ikut Survei LLA Pramuka ASDS, Bertemu Teman Cantik

LOMBA Lintas Alam (LLA) adalah kegiatan populer saat itu yang dilaksanakan oleh Ambalan Pramuka Soeriaatmadja-Dewi Sartika (ASDS) Gugus Depan SMAN 1 Sumedang.

Pada tahun 1993, ASDS kembali menggelar acara itu. Kalau tidak salah ingat, digelar awal bulan September. Aku lupa ini LLA edisi yang ke berapa.

Layaknya anggota baru, aku dan anak-anak kelas 1 lainnya dilibatkan dijajaran paling depan kepanitiaan. Aku bertugas di Seksi Lapangan, yang bertanggungjawab atas rute, serta medan lomba lintas alam.

Seksi itu diketuai oleh Kak Budi Raharja, kakak kelas 3 Biologi. Orangnya tenang, tapi kalau sudah teriak-teriak, suaranya khas, cempreng. Kak Budi ini selalu meyakinkan bahwa yang bergabung di seksi lapangan haruslah orang-orang yang tangguh dan siap menempuh perjalanan jauh, melintasi jalan setapak, menerabas semak-semak, mendaki atau menyusuri sungai. Hujan atau panas.

“Kalian seksi lapangan, itu bukan anak-anak cengeng dan loyo. Kalau kalian merasa loyo dan tidak mampu, gabung aja sama seksi yang lain,” kata Kang Budi saat brifing.

Dia coba tampil berwibawa. Dan berhasil. Namun itu suaranya, tetap saja cempreng.

***

Start Keberangkatan Peserta LLA ASDS di Tahun 1990-an
Foto Koleksi Pribadi "Sang Kelana"

Minggu pagi, bulan Agustus 1993, untuk pertamakalinya digelar Survei gabungan panitia lomba lintas alam di bawah koordinasi Seksi Lapangan Panitia LLA. Karena ini gabungan, maka yang ikut Survei bukan saja anak-anak pramuka, tetapi juga anak eskul lain, seperti Paskibra, Pecinta Alam (Repala Adinira), dan Palang Merah Remaja (PMR).

Cerah sekali pagi itu. Pukul 8 matahari sudah mulai terasa menyengat. Warna langit biru cerah, nyaris tak ada awan, kecuali tipis-tipis saja.

Setelah brifing, pukul 9 kami semua mulai berangkat Survei. Berangkat per kelompok eskul. Aku berangkat paling akhir. Kak Budi menugaskanku masuk ke kelompok terakhir sebagai tim penyapu rombongan.

Kawasan alam yang pertama kami masuki adalah Gunung Palasari. Jaraknya memang paling dekat dari sekolah. Tinggi gunung itu cuma ratusan meter saja di atas permukaan laut. Tidak terlalu terjal, bahkan kendaraan pun bisa sampai di puncaknya. Namun saat itu memang cukup merepotkan dilalui, terutama bagi mereka yang kurang suka kegiatan alam.

Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan setapak yang mulai menanjak. Kiri dan kanan adalah belukar, rumpun bambu, dan pohon-pohon pinus. Yang terasa sial saat itu adalah sepatu boot ku agak kekecilan. Sehingga baru saja mulai menanjak, tumit rasanya mulai panas bergesekan dengan bagian dalam sepatuku.

Tepat menjelang puncak, aku melihat seorang kawan perempuan duduk beristrirahat di tepi jalan. Aku tak tahu dia anak eskul mana. Anak pramuka tentu kukenal. Anas Paskibra juga pasti kukenal. Jadi kemungkinannya, dia itu anak Repala atau anak PMR. Ah...mana kutahu saat itu.

Sekitar beberapa langkah aku akan melewatinya, mataku meliriknya. Dia tak acuh. Mungkin memang kecapaian. Wajahnya nampak memerah kepanasan. Nafasnya naik turun. Keringat nampak membasahi raut wajah yang kelelahan.

Aku pun tak acuh. Cuma tentu saja aku merasa perlu untuk berbasa-basi ketika hendak melewatinya.

“Hayu,” kataku. Mataku melihat ke arah jalan setapak.

“Mangga ti payun,” jawabnya. Saat itu aku tak tau seperti apa ekspresi wajahnya saat menjawab sapaanku. Tapi mungkin dia memang sedang lelah.

Aku pun terus berlalu hingga mencapai puncak Palasari. Di situ aku duduk bersandar pada sebuah pohon pinus. Aku pun bertemu dengan teman-teman lain yang juga sedang beristirahat. Sementara dari kejauhan kulihat rombongan yang pertama berangkat sudah mulai menuruni puncak, meneruskan perjalanan menyusuri rute yang akan dilombakan.

“Kumaha Kur? Capek?” sapa Kak Budi sambil menghampiriku.

“Ah deet keneh sakieu mah, Kang,” jawabku.

Tentu saja jawabanku tak jujur. Sesungguhnya tumitku terasa semakin panas saat itu.

“Sayah terus nya, Kamu coba catet titik-titik nu matak bingung, engke dipasang pos bayangan,” perintah Kak Budi.

Dia pun memintaku untuk menunggu rombongan terakhir yang masih tertinggal, di belakang kami, baru kemudian boleh meneruskan perjalanan.

"Tungguan heula rombongan terakhir. Engke kakara bergerak deui nya. Sayah duluan," kata Kak Budi dengan suara cemprengnya yang khas.

“Siap Kak,” jawabku sambil terus membuka sepatuku.

Dan benar saja, kulit sekitar tumitku menggelembung putih. Di dalamnya ada cairan. Pertanda lecet mendera.. Wajahku sedikit meringis. Sementara keringat sudah sejak tadi membasahi baju lapanganku.

Tak beberapa lama, rombongan terakhir tim survei pun tiba di puncak Palasari. Kulihat "Si Kerudung Putih" pun ada dalam rombongan itu. Hebatnya, mereka memilih tidak beristirihat di puncak, tapi memilih meneruskan perjalanan.

“Punten,” kata salah seorang dari mereka. Sementara si kerudung putih tak acuh, lewat di depanku..

“Mangga,” kataku pelan. Lalu meringis, menempelkan handyplast di kedua tumitku yang lecet.

Aku mulai bimbang, apakah meneruskan perjalanan atau pulang. Lecet di kakiku, mulai tak mau kompromi.

Namun memilih pulang atau terus ikut survei, sama saja. Aku tetap harus menuruni dulu Palasari sampai tiba di jalan desa. Maka setelah beberapa jarak rombongan terakhir lewat, seperti perintah Kak Budi, aku bersiap meneruskan langkahku.

Aku berdiri. Handyplast cukup membantu mengurangi sakit, ketika harus bergesekan lagi dengan sepatu boot sialan itu. Tapi tetap saja kakiku sedikit terpincang saat melangkah berjalan.

Beberapa saat berlalu. Karena rombongan terakhir ini berjalan cukup pelan, apalagi menuruni jalan yang penuh semak belukar, maka tak butuh waktu lama, aku sudah berada sekitar beberapa meter saja di belakang mereka. Dan si Kerudung putih itu kulihat berjalan paling belakang.

Dalam benakku saat itu, hanya ada satu hal: ingin cepat sampai di jalan desa. Di situ baru akan kuputuskan, jika kakiku tidak lagi terasa sakit, aku akan terus ikut survei. Tapi jiga ternyata lecet di kakiku makin parah, aku pulang.

Rombongan tim survei di depanku menuruni jalan setapak yang memang licin. Si kerudung putih kulihat susah payah memegang akar semak-semak agar tak jatuh. Lalu kulihat dia duduk dulu di atas tanah dan menghela nafas. Maka aku pun jadi melewatinya.

“Punten,” kataku.

“Mangga,” katanya, dia menoleh ke aku, dan dengan demikian untuk pertama kalinya aku dapat dengan jelas memandang wajahnya. Mata kami beradu pandang.

Dia tersenyum lalu menunduk. Tangannya memegang tali tas punggungnya. Aku tidak tahu dia senyum ke siapa atau kenapa. Mungkin kaget.

Aku sendiri, merasa terpana. Sesunggungnya, sejak dua bulan pertama jadi siswa SMA, aku baru melihatnya. Berkerudung putih, wajah yang anggun dan bersih, alis matanya yang tebal meneduhi sorot matanya yang bening. Pipinya memerah, dibasahi cucuran keringat. Dia lelah, tapi berusaha tersenyum. Akhirnya, jadi terlihat setengah meringis.

Itu kesan pertamaku saat beradu pandang dengannya, untuk pertama kalinya;. Tapi harus segera kulupakan. Karena ternyata lecet di kedua tumit kakiku makin terasa panas dan perih.

“Ti payun,” kataku ke dia, berbasa-basi.

Tibalah aku di jalan desa. Dan aku pun akhirnya memutuskan pulang. Padahal survei rute itu sendiri baru satu pos saja, belum apa-apa. Aku tak sempat melapor lagi sama Kak Budi. Di zaman itu belum ada handphone untuk SMS atau WA. Radio HT pun masih ekslusif dan mahal, bukan mainan anak SMA.

Maka, baru pada saat pertemuan latihan hari Jumat, aku didamprat Kak Budi. Suaranya yang cempreng terdengar seperti suara Gatotkaca anak Bima, saat marah kepadaku. Dia lalu menghukumku karena aku satu-satunya anggota Seksi Lapangan yang kabur saat survei itu. 

Dan aku menerimanya, lalu menjalani hukuman dengan senang hati. Aku sadar, lecet bukan alasan bagi sebuah pelarian atas tugas dan tanggungjawab. Apalagi LLA adalah agenda besar. Itu pelajaran berharga bagi anggota ASDS, dulu. Kalau sekarang? Ah...entahlah.

Lantas, siapakah si Kerudung Putih?

Sejujurnya, sejak saat itu aku lupa. Bahkan hingga beberapa waktu di sekolah, tak kuketahui siapa namanya dan anak kelas mana. Aku pun tak berusaha untuk tahu.

Sampai tiba pada suatu ketika yang membuatku kembali bertemu dengaannya. Lalu bergulir menjadi salah satu kisah terindah di masa SMA yang tak banyak orang tahu.

Siapakah dia? Ssst...Kalian jangan Kepo. Hahahhahaha... (*)
 


Wednesday, May 24, 2023

KISAH LUGU PUTIH ABU: "Mau Aksi, tapi Bau Terasi. Malah jadi Puisi untuk Si Gadis yang Jago Voli"

DESEMBER 1993, hujan hampir turun tiap hari. Seperti hari itu, hujan pun turun sejak pagi. Namun aku tetap semangat berangkat ke sekolah. Bukan karena ingin belajar di kelas, tetapi ingin segera bergabung dengan teman-teman sekelas. Karena, hari itu jadwal pertandingan voli antar kelas dalam pekan olahrada dan seni, yang lazim digelar OSIS, mengisi waktu sehabis ulangan umum.

Yang kuingat, hari itu hari rabu. Dan tim voli kelas 1-2 SMAN 1 Sumedang saat itu terdiri dari Edi Riswandi, Dadi Setiadi, Icang, Hakun, Anang, dan saya. Namun jujur saja, yang boleh dibilang bisa main voli di antara kami hanya Edi, Dadi, Anang, dan Icang. Saya dan Hakun, ya barangkali biasa-biasa saja. Sebatas bisa servis dan menerima bola. Soal taktik, blok, smash, dan sebagainya, empat kawanku itu lebih jago.

Lapang voli sendiri adalah lapang uparaca yang dipasangi net dan tali rafia sebagai garis batas arena. Saat itu lapang masih tanah, dengan rumput yang gundul. Tentu saja saja becek bila hujan.
Lapang Upacara SMAN 1 Sumedang Zaman Dulu
Sumber: Koleksi Pribadi


Pada hari itu, kami akan melawan tim voli kelas 1-6, tim yang cukup kuat. Sehari sebelumnya anak-anak 1-6 ini bermain hebat saat mengalahkan kelas tim 1-8. Kukatakan hebat, karena aku lihat sendiri bagaimana Ali Rahman melompat tinggi dan menyemes bola. Keras dan menghujam. Aku terpukau melihat Minggus Dwinanto yang dengan cekatan berjibaku menahan bola serangan lawan, atau memberi umpan matang kepada teman untuk melakukan spike. Hebat mereka.

Aku dan kawan-kawan tengah bersiap di pinggir lapang, bergabung bersama anak-anak dari kelas lain yang tengah menyaksikan pertandingan antara tim voli putri kelas 1-4 lawan kelas 1-3.

“Geus maen euy,” kata Nursito, teman sekelasku yang tiba-tiba ada di belakangku lalu menepuk pundak. Suaranya agak berat dan keras.

“Acan,” kataku singkat. Mataku terus melihat ke arah lapangan nonton pertandingan.

Bukan pertandingan itu yang menarik perhatian. Tapi sosok seseorang yang nampak begitu tenang, dan hampir selalu tersenyum setiap kali tim volinya meraih point. Rambutnya diikat serupa ekor kuda. Matanya berbinar dan kadang tajam ke arah bola yang hendak dipukulnya.

Dapat kubilang, dialah yang paling jago bermain voli di antara teman-teman sekelasnya. Ya..dia nampak yang mengatur posisi teman-temannya. Dan seringkali posisi bola yang menurutku sulit untuk diterima oleh seorang pemain voli putri amatiran, namun bagi dia nampak mudah. Dia selalu berhasil menerima dan mengembalikan melewati net, ke arah lawan. Bahkan sesekali dia melakukan smash.

“Manis oge,” kataku, bergumam pelan.

Namun tanpa kusadari, ternyata Icang mengamati gerak-gerik dan sorot mataku kepadanya. Bahkan sepertinya dia pun mendengar gumamanku.

“Saha?” kata dia, sambil nyengir.
“Tuh itu nu di tengah,” kataku dengan isyarat mata kepada Icang.
“Oh...euu.....,” kata Icang, sambil membisikan kepadaku nama anak gadis yang kumaksud.
“Gening apal?” tanyaku, heran.
“Apal ka si eta mah. Teuing geus boga kabogoh teuing acan, eta mah teu apal,” kata Icang, sambil nyengir, dan terus menggerak-gerakan bahunya, melakukan pemanasan.

Sejak obrolan singkat dengan Icang itu, mataku tak lepas memandang dia. Kulihat dia selalu tersenyum. Sesekali raut wajahnya kecewa karena temannya tak mampu menerima bola dengan baik, namun dia tersenyum lagi.

Dan jika berhasil mendapat poin karena tim lawan gagal, dia nampak senang, bertepuk tangan, saling rangkul dengan teman-temannya.

Pertandingan pun usai. Tim voli putri anak kelas 1-4 berhasil menang. Si dia yang jago voli itu nampak beristirahat di sekitar pinggir lapang, bersama teman-temannya.

Selanjutnya, giliran kelas kami bertanding melawan tim kelas 1-6. Kami masuk lapang dengan culun. Aku dan Icang bahkan tak memakai sepatu. Sementara tim lawan nampak gagah. Kami tahu, Ali, Minggus dan Ramdan, begitu hebat. Tapi sebelum pertandingan selesai, tentu kami tak boleh pesimis.

Dan anehnya, aku merasa energiku terasa besar. Semangatku berlipat. Sesekali aku melirik ke arah dia yang masih nampak duduk melunjurkan kakinya. Maka saat pemanasan sebelum wasit memulai pertandingan, aku caper, dan beraksi layaknya Farhan Alim, bintang Voli Indonesia masa kini.

Tapi sayang, aksiku, malah "bau terasi"

Saat pemanasan, Aku dan Edi berhadap-hadapan saling memainkan bola. Icang, Dadi, Anang dan Hakun nampak melakukan senam kecil, bersama Nursito dan teman-teman lainnya. Nah, ketika itu Edi memukul bola agak keras ke arahku. Sialnya, mataku sedang jelalatan ke arah Si gadis, hingga tak sadar saat bola yang dipukul Edi tepat di depan wajahku.

“Buk..!” Bola yang kotor dan basah oleh tanah becek itu tak pelak bersarang di mukaku. Aku kaget dan sempat terpeleset jatuh.

Semua teman-teman yang ada di tengah lapang tertawa terpingkal-pingkal. Nursito yang suaranya paling besar, bahkan terbahak-bahak. Malu rasanya. Kupingku terasa panas.

Kehebohan itu membuat si dia dan teman-temannya memandang ke arah kami, dan ikut-ikutan tertawa.

"Matak tong kamana wae panona Ncus... hahahaha," kata Icang, yang sepertinya telah mengerti situasiku saat itu.

Demikianlah.

Selanjutnya, pertandingan pun dimulai dengan seru. Tak kusangka, ternyata Edi, Icang, dan Dadi tak kalah dengan Ali dan Minggus soal Voli. Meski kurus dan lebih pendek, tapi lompatan Icang dan cemesannya cukup keras, kerap menjadi poin. Postur kami yang tak nampak seperti pemain voli, ternyata mampu mengimbangi permainan anak-anak 1-6. Sayangnya, kelas kami kalah rubber set. Dan gugur saat itu juga.

Namun sejak saat itu, dibenakku, nama si gadis pemain voli yang dibisikan Icang kepadaku, terus terngiang-ngiang. Aku dilanda rasa penasaran. Bahkan rasa penasaran itu melahirkan sebuah puisi untuknya;

Pemain Voli

Apakah ini mimpi?
Bila hujan selalu tersaji muram
Tidak berlaku siang tadi.
Aku melihat kecerahan saat gerimis
Dari seorang gadis manis
Yang lincah menari-nari
Mengusik anganku, lagi

Geusan Ulun 136, Akhir Desember 1993

Puisi itu kutulis di halaman belakang buku catatan pelajaran PMP-ku. Beruntung saat pindah rumah di tahun 2003, lembaran kertas berisi puisi itu kutemukan, dan kusimpan hingga kini, sebagai koleksi dan kenangan masa remajaku.

Dan rasa penasaranku itu pun harus selesai begitu saja, ketika seseorang memberitahuku bahwa dia sudah punya pacar. Ah.. ya sudahlah...Hehehe..

Bila bertemu atau berpapasan saat di sekolah aku berusaha tersenyum padanya, wajar dan biasa sebagai sesama anak smansa. Tapi dia tak pernah tahu, bahwa sebetulnya ada satu puisi untuknya. Tersimpan lama dan tak pernah tersampaikan.

Bahkan hingga ribuan hari setelah lulus Smansa pun, dia tak pernah tahu. Baru kemudian, pada tahun 2009, beberapa minggu sebelum reuni Smansa 1996, melalui chating facebook, aku sampaikan kisah ini kepadanya.

Dia kaget. Bahkan terkesan tak percaya. Saat itu aku pun ingin bilang bahwa ada satu puisi untuknya. Tapi aku merasa tak perlu. Dan sepertinya memang belum saatnya dia tahu.

Dan akhirnya aku bisa bertemu lagi dengannya saat reuni Smansa 96, sehabis lebaran di tahun 2009. Tempatnya di Green School Rancamulya.

Sejak lulus Smansa, jangankan bertemu, bahkan kabar tentangnya pun aku tak tahu. Tapi di reuni itu dia datang, bersama suami dan anak-anaknya yang lucu-lucu. Aku senang melihat betapa bahagianya dia.

Kami berdua saling sapa, bercengkrama, dan sesekali bercanda. Dan kita semua yang hadir saat itu larut, menghempaskan rindu dalam pertemuan itu. Bukan apa-apa. Seingatku, itu adalah reuni pertama kami sejak lulus Smansa di tahun 1996.

Demikianlah. Terima kasih, wahai gadis pemain voli. Kamu telah mengindahkan hujan di akhir Desember 1993 itu, diam-diam. (*)

KISAH LUGU PUTIH ABU: "Seekor Ular membuat Gadis Tetangga-ku Harus Terpincang Kesakitan"



SEPERTI kalian tahu, dulu rumah keluargaku tepat di pinggir badan Jalan Geusan Ulun Sumedang. Tepat di seberang rumahku ada sebuah rumah makan yang cukup terkenal, serta sebuah gerai peralatan plus aksesori kepramukaan. Di lantai dua rumah makan itu, Rina, sahabatku tinggal bersama keluarganya.

Aku dan Rina sama-sama bersekolah di SMA Negeri 1 Sumedang. Tapi eits..tunggu dulu ! Jangan parno. Kisah ini bukan kisah cinta. Buang jauh-jauh pikiran kalian soal itu, dan jangan bergosip. Hehehe...("Halo Rin...! Biarin didongengkeun kisahna nya..biar temen-temen semangat reuni lagi..hehehe")

Oke ?! Mari kita lanjutkan !

Sebelum sama-sama masuk SMAN 1 Sumedang, aku dan Rina sebenarnya sudah kenal sejak kami sama-sama menjadi anggota regu peserta kegiatan Ita-Jamnas 1991 di Bumi Perkemahan Kiarapayung. Saat itu, saya dan dua kakak kelas, yaitu Kak Juhadi dan Kak Yayan Yunari menjadi utusan SMPN 1 Sumedang, untuk bergabung dengan utusan dari SMPN 2 Sumedang, dalam satu regu bernama “Rajawali”. Regu ini menjadi utusan Kwartir Ranting Pramuka Sumedang Selatan dalam acara tersebut.

Aku lupa temen-temen dari SMPN 2 dalam regu itu siapa saja. Yang kuingat adalah kakak kelas, Deden, lalu Andri dan Iyan Sofyan Hadi. Sisanya aku lupa. Selama dua minggu kami berlatih bersama di bawah asuhan Kak Ato, Kak Junaedi Iqro, serta Kak Tata Sese.

Selain regu putra, ada juga regu putri. Aku lupa nama regunya. Dari SMPN 1, yang kuingat jadi anggota regu adalah Teh Devi, (putri sulung Pak Helmi Zen, mantan Ketua PWI Sumedang) dan Teh Pipih Afiyatin, kini berprofesi sebagai dokter spesialis kandungan di Sumedang. Sementara Rina sendiri jadi salah seorang utusan SMPN 2 Sumedang.

Selama dua minggu itu pula kami berlatih bersama. Namun tentu tak perlu detail aku cerita bagaimana kami berlatih. Yang pasti, aku yang memang mulai memasuki usia puber, tak lepas juga dari sikap dan perilaku cari perhatian, terutama dari lawan jenis, termasuk dari RIna. Hehehe... Yah setidaknya, bikin latihan jadi lebih bersemangat.

Sikap dan kelakuan caper atau tebar pesona saat latihan itu ternyata tak luput dari perhatian kedua kakak kelasku, yaitu Teh Devi dan Teh Pipih.

“Hayoh, kamu bogoh ka Rina nya?” kata Teh Devi menggodaku. Nadanya becanda, tapi telah cukup membuatku salah tingkah.

“Ih saur saha ari Teteh,” kataku, membantahnya. Namun rasanya mukaku memerah.

“Salamkeun, ulah?, Ayo..Pramuka harus berani,” kata Teh Devi sambil tetap tertawa riang.

“Aduh ulah atuh Teh, isin,” kataku.

“Nah..mun isin berarti ngaku nya? Hayoh…ah salamkeun ah,” kata Teh Devi sambil tak lepas tertawa. Sepertinya saat itu dia ngotot. Hahaha...Ah Teh Devi. Di manakah kau sekarang?

Aku merasa tersudut. Istilah sekarang, jadi baper gara-gara kengototan Teh Devi itu. Dan gobloknya aku malah berusaha menghindar. Istilahnya saat itu "Jaim". Setelah celetukan Teh Devi itu, hanya sesekali saja aku menyapa Rina. Itu pun bila perlu, atau karena tugas dalam latihan bersama itu.

Tibalah di hari H Ita-Jamnas Kiarapayung 1991. Dalam kegiatan itu pula untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Ida Farida, peserta utusan Kecamatan Ujungjaya. Tendanya tidak jauh dari tenda kami. Bahkan bila akan masuk tenda, Ida dan kawan-kawan selalu melewati tendaku.

Di antara anak-anak putri asal Ujungjaya yang lewat depan tendaku itu, hanya Ida yang cukup menarik perhatianku. Dia nampak tenang. Tak heboh seperti teman-temannya yang lain. Rambutnya ikal, tergerai sebahu. Tak banyak bicara. Cuma senyum-senyum saja saat digoda teman-teman reguku. Uniknya, setelah Ita Jamnas itu, aku kembali bertemu Ida saat sama-sama menjadi siswa baru Smansa Sumedang di tahun 1993. Tapi aku sempat ragu menyapa, karena saat itu diketahui dia berasal dari SMPN 1 Darmaraja. Baru aku mengerti dan yakin itu adalah orang yang sama, setelah seorang sahabat baikku menerangkan perihal itu, Dan Ida kemudian menjadi teman sekelasku di Kelas Fisika Dua SMAN 1 Sumedang hingga lulus. "Halo Ida... nuju naon wayah kieu? xixixxixixixixixi..mudah-mudahan sehat nya.."

Balik lagi tentang si Gadis Tetangga..hahaha...

Guyonan Teh Devi tentang Rina, seiring waktu terlupakan. Sejak kemah Ita Jamnas 1991 selesai, aku tak pernah bertemu lagi dengan dia. Apalagi bertegur sapa. Sampai kemudian, kami bertemu lagi saat sama-sama masuk Smansa di tahun 1993. Dan sama-sama pula menjadi anggota gerakan pramuka Ambalan Soeriaatmadja-Dewi Sartika Smansa Sumedang.

Meski kenal sebelumnya, tapi dalam setiap pertemuan latihan di ambalan, aku dan Rina jarang bertegur sapa. Kadang Rina memasang muka jutek, judes dan selalu cemberut, membuatku makin segan menyapanya.

Tapi tak pernah aku sangka, menjelang kegiatan Pelantikan kami sebagai anggota baru ASDS, kakak senior malah memasukan aku dan Rina dalam regu yang sama. Saat setiap regu diwajibkan berdiskusi antar anggota untuk mempersiapkan peralatan yang harus dibawa, tak sekalipun saya dan Rina bertutur sapa.

Sampai tiba pada satu kejadian lugu dan bagiku cukup memalukan.

Kegiatan pelantikan Ambalan Soeriaatmadja dan Dewi Sartika (ASDS) digelar di kawasan Mata Air Ciembutan, Dusun Cilumping Desa Buahdua. Barangkali ini adalah pelantikan terakhir yang digelar di kawasan mata air itu. Sampai saat ini aku dengar tak pernah lagi ada pelantikan ASDS di mata air bersejarah itu.

Salah satu agenda yang paling malas diikuti dalam pelantikan itu adalah "jurit malam" atau perjalanan di malam hari, menyusuri jalanan kampung, sawah dan lingkungan sekitar tempat pelantikan. Aku dipercaya teman-teman menjadi Ketua Regu, dan karenanya harus memastikan setiap anggota regu terjaga dan terlindungi dari apapun yang akan terjadi dalam "jurit malam" itu.

Dan Rina, tetap saja memasang muka judes. Bahkan sesekali buang muka bila kuajak bicara. Padahal dia tepat berbaris di belakangku.

Malam itu, sekitar pukul 21.00 regu kami meninggalkan lapang pusat kegiatan, memulai "jurit malam". Sebagai ketua regu, aku berjalan paling depan. Rina tepat dibelakangku. Lalu diikuti teman-teman yang lain...ah saya lupa, siapa saja yang jadi anggota reguku saat itu.

Saat melintasi pematang sawah, aku yang berada paling depan tiba-tiba dikejutkan oleh seekor ular yang tersorot sinar lampu senterku. Ular itu berwarna belang putih hitam, melintas tepat sekitar selangkah di depanku.

“Hiii..awas…!,” aku kaget dan berterika tanpa sadar, sambil melompat sekuat-kuatnya ke belakang.

Sialnya, Rina dan anggota regu lain tak cepat menyadari dan tak punya waktu lagi menghindari badanku yang melompat tiba-tiba. Akibatnya, Rina jadi korban pertama.

“Aaduh….” jerit Rina saat itu. Aku, Rina, dan seorang teman di belakang Rina jatuh bersama-sama ke dalam sawah. Anggota regu yang lain juga berseru kaget, dan kaki mereka masuk ke dalam sawah.
Ilustrasi
Sumber: net


Aku segera bangun dan bersiaga ke arah ular. Sementara Rina kulihat meringis memegang kakinya, duduk di tepi pematang.

Aku bersyukur, ular itu tak menyerang. Bahkan mungkin sama-sama kaget, dan terus berlari menghindari kami semua.

Setelah agak tenang, aku menghampiri Rina dan semua teman-teman anggota regu, yang duduk di pematang. Beberapa peratalan kami basah dan kotor. Termasuk baju dan celana kami.

“Teu kunanaon? Punten tadi kaget,” kataku menyapa Rina

“Henteu,” kata Rina, dengan wajah yang masih meringis. Tapi wajahnya tak judes lagi.

Setelah kekagetan reda, dan mental mulai siap, kami lanjutkan perjalanan "jurit malam", menuju pos selanjutnya.

Sesekali kulihat ke belakang. Dengan wajah sedikit pucat, dia nampak merengut menahan sakit, Kulihat Rina berjalan sedikit terpincang. Aku tahu kakinya sakit. Tapi setiap kutanya, dia jawab, "tak apa-apa!"

Dalam hati, aku merasa malu, dan tak tega melihatnya terpincang-pincang berjalan di belakangku. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Di salah satu pos, aku sempat melaporkan kejadian itu kepada kakak senior. Tapi mereka malah membentak, "masa sama ular saja kamu takut, heh?!" ujar salah seorang senior.

"Beneran teu kunanaon, Rin?" tanyaku, sambil sedkit basa-basi.

"Henteu ! Yuk terus jalan..," jawa RIna. Wajahnya tak lagi judes. Dia coba tersenyum, tapi lebih mirip meringis menahan sakit.

Aku merasa bersalah.

Setelah pelantikan itu selesai, kami semua resmi jadi anggota ASDS. Konon, ASDS adalah ambalan pramuka tingkat SMA yang paling disegani di Kabupaten Sumedang. Alumni ASDS itu jadi orang-orang hebat dan berprestasi. Entahlah. Tapi kuyakin ada pula alumni-alumni ASDS yang jadi semacam "orang gila", seperti aku ini..hahahahaha..

Akhirnya, aku dan Rina bisa sama-sama bersikap wajar. Dia tidak lagi judes dan jutek bila bertemu denganku di sekolah. Aku pun biasa saja. Bila bertemu cukup saling senyum. Begitu saja, hingga kami semua, angkatan 1996 lulus dari Smansa.Saya dan Rina sudah tidak bertemu lagi. Padahal dia adalah gadis tetangga.

Satu hal yang selalu ingin kutanyakan adalah kenapa ia begitu judes dan jutek sebelum kejadian ketemu ular itu?

Baru setelah belasan tahun setelah lulus, melalui media messenger Facebook, aku berani bertanya kepadanya. Tentu setelah berbasa-basi pertemanan sebagai sesama alumni smansa dan anggota ASDS.

Dia sepertinya terbahak-bahak mendengar celotehku mengenang kisah "jurit malam" itu. Dia mengaku masih mengingat hal itu sebagai kejadian yang tak bisa dilupakannya.

Saat kutanya, mengapa dia begitu jutek dan judes kepadaku dulu, dia menjawab dengan satu jawaban yang tak pernah kuduga dan kusangka sekalipun. Sesuatu yang tak pernah aku tahu. Dan andai kutahu, cerita tentu akan lain.

Seperti apa jawaban itu ? Ah...kalian kepo..! Untuk hal ini, biar aku dan Rina saja yang tahu ya..!

Demikian teman-teman. Selamat malam. Mudah-mudahan secepatnya kita bisa reuni lagi.