HARI Sabtu, 13 Pebruari 1999 hatiku sedang berbunga-bunga. Bukan karena besoknya tanggal 14 Pebruari dikenal sebagai Hari Valentine. Ah.. dari dulu saya menganggap Valentine Day's sebagai hal yang tak penting, dan tak pernah sekalipun saya di masa remaja, ikut-ikutan merayakan hari tersebut.
Lantas apa yang membuat hati saya berbunga-bunga saat itu ? Hmmm...apa ya?! Sudahlah, biar orang-orang tertentu saja yang tahu. Yang pasti, di hari itu, selepas Isya saya berada di rumah Sastra, salah seorang sahabat terbaik saya. Henra Sastrawan, nama lengkapnya. Dia saat itu tercatat sebagai mahasiswa semester 4 Jurusan Geodesi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
![]() |
| KUBACALA di Tahun 1998 |
Sejak Juni 1997, Sastra meninggalkan Sumedang. Dia jadi Mahasiswa Baru UGM dan tinggal di Yogja. Bila libur kuliah saja dia pulang, dan menemui saya di "Geusan Ulun 136". Atau bila bertepatan waktunya saat Arif "pesiar" dari Ksatrian Jatinangor, kami bertiga biasa bertemu di "Arif Rahman Hakim 151".
Tapi saat itu, selama satu pekan itu, bukanlah waktu libur kuliah bagi Sastra. Dia pulang ke Sumedang, karena di akhir Januari 1999, saya meneleponnya tentang satu rencana besar dan indah. Saya hanya mengabarinya, seperti halnya saya memberi kabar soal rencana besar dan indah itu kepada Arif.
Namun, yang membuat saya terharu, dia sengaja pulang hanya untuk menemani saya, mendukung saya habis-habisan, memastikan, dan menjadi saksi ketika saya dapat mewujudkan rencana besar dan indah itu.
"Urang balik gara-gara maneh nelepon, Cus..hahahah...!" ujar dia, sambil tertawa dan memeluk saya, saat tiba di stasiun kereta api Bandung, akhir Januari 1999, lalu semalam tinggal di kosan saya saat itu, di kawasan Sadangserang Kota Bandung.
Ah...Sas...Rif. ! No one could ever know me..No one could ever see me..seems like you are the only one who know......dan seterusnya...hehehehe
Baiklah teman-teman, kita lanjut.
Di dalam kamarnya yang cukup luas, saya dan dia asyik ngobrol banyak hal, terutama tentang apa yang kami alami sejak sabtu siang. Tentu saja, ada kopi, dan rokok. Saya ingat, sejak masuk ke kamarnya, sudah ada dua bungkus rokok tergeletak di lantai kamarnya. Yang satu, rokok merek "KING" (sekarang kayaknya sudah tidak diproduksi lagi rokok ini), dan satu lagi "Garfit".
Saya berterima kasih kepadanya, karena dukungan, fasilitas, dan beragam tutorial yang dia ajarkan kepada saya, berhasil membuat saya sampai pada salah satu momen indah dan bahagia di masa itu. Jadi saya tak perlu repot-repot membaca buku berjudul "How To....." hahaha....cukup mendengarkan nasihatmu saja soal itu, Kawan ! hahaha...
"Yah...takdir maneh Cus... Urang senang kamu bisa bahagia...!" ujarnya
"Nuhun Sas...!," jawabku.
"Maneh beruntung... sok ayeuna mah, tinggal menjalani... kalem..., aya urang jeung si pendul (Aip)," kata Sastra lagi, sambil tersenyum. Tapi matanya, nampak menerawang ke langit-langit kamar. Entah apa yang dia pikirkan.
"Yah..ngan maneh jeung si pendul nu nyaho uing," ujarku, menanggapi.
Selanjutnya kami berdua terlibat obrolan penuh canda dan tawa. Sekadar mengenang apa yang telah kami lalui sejak berkawan akrab di Smansa, hingga malam itu, setelah baru tiga tahun kami lulus Smansa. Tentu saja cuma sedikit yang bisa dikenang. Apalagi kalau bukan Kisah Cinta, Paskibra, atau Pramuka.
Ya....memang baru sebatas itu. Tapi ada nilai yang layak dihormati, jauh lebih bernilai dari kisah-kisah masa remaja kami.
Sementara, di luar hujan gerimis bulan Pebruari itu turun. Rintikannya, membasahi kaca jendela kamar Sastra.
"Urang rek cerita ke kamu...tapi ulah ngambek nya...," kata Sastra.
"Cerita naon? Serius? atau heureuy?," tanyaku.
"Terserah kamu rek memandang na serius, atau heureuy, tapi ieu cerita mungkin tentang maneh..,..." jawab Sastra.
"Tentang naon sih? penasaran...!?," ujarku, kembali bertanya.
"Naon nu terjadi poe ieu, nu di alami ku maneh poe ieu, sepertinya pernah terjadi dina mimpi urang, Cus...," lanjut Sastra.
Jidatku sedikit mengerut, dan merasa heran. Tapi saat itu aku merasa perlu mendengarkan Sastra bercerita.. Tak adil rasanya, bila aku yang sedang berbahagia, tak mau mendengar curhatan Sastra, sahabat baikku.
Tapi saya kemudian memasang wajah serius dan mulai mendengarkan cerita sastra itu.
Apa yang Sastra ceritakan itu hingga saat ini tetap terngiang dalam benak saya, dan rasanya sulit saya lupakan. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi tentang cerita sastra itu. Mudah-mudahan ada hikmah dan manfaat untuk kita semuanya.
Karena Sastra bercerita dengan kalimat-kalimat lisan (percakapan), campur aduk antara Bahasa Sunda dan Indonesia, tentu saja, kali ini saya sesuaikan dengan bahasa tulis, supaya narasinya bisa lebih runut. Mungkin boleh dibilang jadi sebuah cerita pendek yang saya tulis buat kalian, teman-teman, para pembaca blog ini.
***
"Cus...suatu saat urang pernah ngimpi........Dina mimpi eta, urang, aif, jeung maneh naik Gunung Tampomas....,," begitu ujar Sastra, memulai ceritanya...
Dalam mimpiku itu, ada tiga orang anak laki-laki yang baru lulus SMA, naik ke Gunung Tampomas. Supaya gampang, sebut saja namanya Kurniawan, Sastra, dan Arief.
Seperti layaknya anak-anak pencinta alam, ketiga anak laki-laki itu menggunakan baju planel, celana lapangan, sepatu, dan di punggungnya menggantung ransel besar, penuh dengan perbekalan. Mereka tiba di jalur Cibeureum beberapa saat setelah adzan Maghrib.
Saat itu musim kemarau. Cuaca langit sangat cerah. Selepas magrib, bintang-bintang nampak menghias langit.
Setelah menumpang truk pengangkut pasir, ketiganya menapaki jalan tanah berbatu di kaki gunung, yang mulai menanjak. Mereka berjalan dengan riang gembira dan penuh obrolan canda sehingga tidak terasa ketiganya, segera tiba di "Gerbang Pohon Pinus", yang menjadi awal jalur pendakian menuju puncak Tampomas.
Beberapa langkah sebelum melewati gerbang tersebut, dari balik salah satu pohon besar yang ada di situ, tiba-tiba muncul seorang kakek-kakek berjubah putih. Rambutnya yang panjang kira-kira sebahu, juga berwarna putih, berpadu dengan sebuah iket batik di kepalanya.
Sontak saja, ketiga anak laki-laki itu kaget bercampur rasa takut.
"Jangan takut nak!, Saya yang menjaga gerbang ini," ujar si Kakek. Dari wajahnya tersorot wibawa yang besar. Matanya tajam menatap, tapi menunjukkan sikap ramah.
"Punten Aki..punten pisan..," ujar Arief, yang memang paling berani di antara ketiga anak tersebut. Sementara Kurniawan dan Sastra terdiam, tegang.
"Hehehe... jangan takut cucu-cucuku. Kalem..kalem...selow...!," kata si Kakek.
Ketiganya saling pandang, sambil tetap bersiap mengambil langkah seribu jika terjadi sesuatu yang berbahaya.
'Hmmm..kalian mau naik ke puncak ya?," tanya Si Kakek.
"Iya Ki.. mohon ijin.. kami bertiga mau naik ke puncak," jawab Arip dengan sikap penuh sopan.
"Hmmm...cucu-cucuku, sebaiknya kalian pulang. Jangan naik ke puncak malam ini. Sudah gelap, dan sebentar lagi akan turun hujan lebat," jawab si Kakek, dengan suara yang tenang.
"Oh iya Ki...kenapa tidak boleh Ki ? Terus...cuaca menurut kami cerah Ki..tidak ada tanda-tanda akan turun hujan lebat," kata Arip. Dia mulai menunjukkan keberanian, karena si Kakek nampak ramah.
"Hehehe....sudah berapa kali kalian naik ke gunung, cucuku? Di gunung itu cuaca tidak bisa diprediksi. Sudahlah..! Aki peringatkan kalian, pulanglah! Jangan naik! Sebentar lagi hujan lebat!," kata Si Kakek, tegas.
Ketiga anak itu nampak saling pandang, dan merasa heran. Ketiganya merasa yakin, hujan lebat tidak akan turun, karena langit malam itu begitu cerah, dan bintang-bintang nampak indah.
"Iya Aki...tapi kami yakin, tidak akan hujan lebat. Kalaupun hujan lebat terjadi, kami bertiga sudah siap bawa ponco dan tenda," jawab Arip.
"Iya Aki..kami siap dan bawa perbekalan," timpal Kurniawan. Sementara Sastra tetap diam mengamati.
"Hmmm...baiklah kalau begitu. Kalian sudah Aki peringatkan, tapi memaksa, silahkan saja. Tapi aki mau berpesan, supaya kalian selamat sampai puncak dan kembali ke rumah," kata si Aki.
Ketiganya nampak senang dengan ijin si Kakek, tapi kemudian segera memasang wajah serius mendengarkan pesan si Kakek.
"Kalau ternyata nanti hujan lebat turun, berhati-hatilah! Sebab nanti tiba-tiba akan muncul kodok atau bangkong di sepanjang jalan menuju puncak. Kalau kalain sampai menginjak kodok tersebut, maka kalian akan memiliki pacar atau kekasih yang paling buruk se-dunia," kata si Kakek sambil terkekeh-kekeh.
Mendengar nasihat itu, ketiga anak laki-laki itu kemudian saling pandang.
"Memangnya kenapa sih Ki...kalau.....," kata Arip.
Tapi pertanyaan Arip tidak selesai, karena si Kakek keburu menghilang dengan ajaib.
Setelah si Kakek menghilang, Arip, Sastra, dan Kurniawan kemudian duduk sejenak menenangkan suasana dan mencoba keluar dari rasa takut dengan kejadian itu.
"Kalau aku sih mendingan balik aja, kita pilih selamat," kata Sastra.
"Kagok Sas...! Tanggung ! Jauh-jauh ke sini, Insya Allah gak akan terjadi apa-apa," ujar Kurniawan.
"Kalau ternyata benar hujan lebat seperti yang dikatakan si Aki? Gimana?," tanya Sastra.
"Terus kalau tidak terjadi, gimana?," jawab Kurniawan dengan sengit. Dia paling yakin prediksi si kakek gak akan terjadi.
Arip yang memang jadi leader dalam pendakian itu, masih diam. Belum mengambil keputusan. Dia nampak merenung. Wajahnya seserius ketika menghadapi pelajaran fisika Pak Yayat Atang di Smansa.
Sejenak ketiganya saling diam.
"Hmm...bagaimana kalau kita terus saja, tapi tetap hati-hati?," kata Arip
"Alasannya apa Rif? Bukan saya takut, tapi kehadiran si Aki itu aneh, dan omongannya juga aneh, " tanya Sastra.
"Hmm...Si Aki itu mengingatkan ada hujan lebat, dan kodok. Kalau hujan lebat, kita bawa ponco kan? Bukan sekali kita naik gunung di tengah hujan lebat, kan?," jawab Arip.
"Terus itu soal kodok, ya cuma kodok kok...hehe...kalau buaya sih, baru aku takut," kata Kurniawan sambil tertawa kecil.
"Yang penting kita hati-hati! Jangan sampai menginjaknya! Kalau si kodok yang injak kita, barangkali itu malah jadi beruntung, Sas..hehehe..," lanjut Kurniawan.
Akhirnya, Sastra setuju. Dan ketiganya melanjutkan perjalanan.
Sampai tiba di Pos 2 pendakian, situasi normal dan biasa saja.
"Alhamdulillaah, tidak terjadi apa-apa kan..!?," ujar Kurniawan saat ketiganya beristirahat di pos 2.
"Iya..Alhamdulillaah..Tapi kita harus tetap hati-hati sepanjang jalan," jawab Sastra. Keberaniannya mulai kembali.
Singkat cerita, ketiga anak lelaki itu melanjutkan perjalanannya.
Namun, baru setengah perjalanan meninggalkan pos 2, tiba-tiba terdengar suara halilintar dan angin dingin yang berhembus agak kencang. Langit nampak tiba-tiba gelap. Dan tak lama kemudian, hujan mulai turun.
"Wah...nampaknya benar kata si Aki...," kata Sastra.
Ketiganya sejenak berhenti dan segera memasang ponco atau jas hujan masing-masing. Suasana mulai tegang.
"Waspada dan hati-hati Kawan ! Kita terus berjalan, nanti di Pos 3 kita berhenti, tanggung kalau berhenti di sini," seru Arip.
Ketiganya terus melangkah dengan hati-hati. Masing-masing membawa lampu senter yang cukup terang. Oiya dulu belum musim "Headlamp". Yang ada itu lampu senter merek "Butterfly".
Sastra berjalan paling depan. Arif di tengah, dan Kurniawan berada paling belakang.
"Aaahh...aduuuuh...," tiba-tiba Sastra berteriak, dan nampak langsung jongkok.
"Kenapa Sas?," kata Arip.
"Duuh... kaget, tiba-tiba saja ada kodok melompat di depanku. Dan terinjak!," kata Sastra. Dia nampak pucat.
Ketiga anak itu tertegun. Apa yang dikatakan si Kakek Misterius terngiang lagi. Dan satu satu mulai terbukti.
"Sudah..! Jangan percaya apapun ! Jangan tersugesti omongan si Kakek! Ayo kita teruskan saja perjalanan. Yakin, kita sampai dengan selamat !," tegas Kurniawan.
"Ya..kita terus Sas!" kata Arip, memberi komando.
Sampai kemudian ketiganya tiba di Pos 3 sekitar "Kai Malang", dengan selamat. Tapi saat tiba di Pos "Kai Malang" itu, mereka kaget, karena di situ sudah ada seorang pendaki perempuan, sedang istirahat.
"Punten...boleh aku duduk di sampingmu?" kata Sastra, yang tiba-tiba saja mengambil inisiatif menghampiri perempuan itu.
"Hey...mangga..silahkan duduk, sudah dari tadi saya menunggu,"ujar perempuan itu.
Arip dan Kurniawan nampak saling pandang. Heran, kaget, dan takut, bercampur aduk. Sastra yang biasanya pendiam dan jaim jika berkenalan dengan anak perempuan, tiba-tiba bersikap seperti itu.
Arip dan Kurniawan lebih kaget dan bulu kuduknya mulai merinding ketika mulai jelas melihat wajah perempuan itu. Gimana ya..Sulit menggambarkan. Kalau ada perempuan yang paling buruk rupa di dunia ini, mungkin seperti itulah. Tapi heran, Sastra begitu terpesona. Dia nampak centil, dan asoy, bercerngkrama dengan perempuan itu.
Melihat Arif dan Kurniawan heran, Sastra kemudian melangkah menghampiri keduanya yang duduk agak jauh dari perempuan itu.
"Rif..Kur... tiba-tiba saya merasa jatuh cinta. Duh..geulis pisan ih si teteh teh...ah....," ujar Sastra sambil cengar-cengir, ganjen alias centil.
Arip dan Kurniawan saling pandang. Mulai merasa syok dengan hal itu.
"Kalau kalian mau lanjut ke puncak, sok aja ya..saya mah takut..kan si Aki sudah bilang, akan banyak kodok. Saya takut nginjak kodok lagi. Mendingan di sini aja saya mah, asoy sama si teteh..euu..siapa ya namanya...lupa..," kata Sastra, sambil terus kembali ke arah perempuan itu.
"Hey..iya...kalau kalian mau terus jalan..ya terus aja. Gak apa-apa kok aman. Saya sama teman kamu saja. Jangan takut. Teman kamu aman kok. Dia jodohku," kata perempuan itu seperti bisa membaca pikiran Arip dan Kurniawna.
Merasa kalau Sastra sudah tidak bisa di ajak lagi, dan yakin dengan jaminan si perempuan bahwa Sastra akan baik-baik saja, akhirnya Arip dan Kurniawan memutuskan terus berjalan.
Sepanjang jalan, keduanya terlibat percakapan.
"Rif..Si Sastra teu salah?" bisik Kurniawan kepada Arip.
"Duh...asa jadi inget omongan si Aki... Jangan-jangan yang dimaksud celaka atau nasib buruk itu seperti si Sastra, " kata Arip.
"Ah jangan percaya ! Itu bukan nasib buruk. Mungkin itu memang jodoh si Ssstra hahaha...," ujar Kurniawan.
"Bukan begitu. Waktu jalan dari Pos 2, dia kan menginjak kodok! Dan di pos tiga, dia ketemua perempuan itu..dan aneh sekali sikap dia..Ah..jadi takut," kata Arif.
"Hmmm..ya sudah..yang penting kita hati-hati. Jangan sampai menginjak kodok," timpal Kurniawan.
"Iya...Tapi kamu sekarang yang berjalan di depan ya..hehehe," jawab Arip.
"Oke Bos!," jawab Kurniawan.
Dengan lampu senter Kurniawan menerangi jalan. Hujan lebat terus turun tak berhenti, sehingga keduanya berhati-hati sekali melewati jalan setapak menuju Pos 4, pos terakhir sebelum puncak Tampomas.
"Aduh...Cuusss....Celaka..celaka ini mah.....!," tiba-tiba Arip yang berjalan di belakang Kurniawan berteriak. Sontak membuat Kurniawan kaget, dan segera berbalik badan.
"Kunaon rif?" tanyanya.
"Duh...saya sudah hati-hati sekali berjalan. Tapi tiba-tiba dari samping ada kodok loncat, tak terlihat. Saya kaget, dan langsung menginjak kodok itu hingga mati..Tuh ..lihat!" kata Arip dengan nada bergetar, sambil menunjukkan bangkai kodok yang dia injak.
Kurniawan yang tadi yakin dan tidak mau tersugesti dengan omoman si Kakek Misterius, kini mulai merasa ngeri. Dia kemudian berjalan di belakang, dan membiarkan Arip berjalan di depan. Dengan sisa tenaga dan mulai dihantui rasa takut, akhirnya keduanya tiba di pos 4.
Dan herannya, seperti yang pernah terjadi di Pos 3, Arip pun tiba-tiba terlihat bergairah, centil dan cengengesan, ketika di Pos 4 ternyata sudah menunggu seorang perempuan muda dengan tubuh yang terlihat sangat sexy. Saat itu ada Film Televisi berjudul "Baywacth", bintangnya adalah Pamela Anderson. Nah ..seksinya tubuh perempuan itu, mirip Pamela Anderson.
Tapi yang membuat Kurniawan bergidik saat melihat wajahnya. Seperti Nenek Lampir. Anehnya Arip tidak peduli, dan nampak tergila-gila.
"Cus...ini nampaknya takdirku malam ini cuma bisa berjalan sampai Pos 4. Saya jatuh cinta sama si Teteh yang bohay itu," kata Arip dengan wajah centil dan cengengesan.
"Ah..Dasar Cengos...," kata Kurniawan, nampak kesal, tapi bingung.
"Sudahlah..Lanjut saja. Kalau pun ini dianggap nasib buruk. Biar saja lah..Yang penting saya asyik dan asoy saja sama si Teteh Canti bagai bidadari ini. Saya dan Sastra berharap kamu berhasil mewujudkan rencana kita!," kata Arip, setengah berpidato. Dia nampak tidak acuh, dan terus aja mengaleng pinggang perempuan itu.
"Hey...iya..A Arif kasep mah jodoh aku. Jangan takut Aa Arif akan aman, dan saya akan berikan apa yang Aa Arip mau..," kata perempuan itu.
Dengan sisa semangat yang ada, Kurniawan mencoba membuang rasa ngeri dan heran yang luar biasa. Dengna tenaga yang ada, dia akhirnya terus berjalan sendiri menuju puncak. Meski jarak puncak dan pos 4 itu relatif dekat, namun karena tidak mau terulang seperti Sastra dan Arip, dia berjalan pelan, sangat hati-hati, dan waspada, sehingga cukup lama tiba, dibanding biasanya.
Karena keyakinan yang kuat, tidak mau tersugesti oleh omongan si kakek, dan langkah yang hati-hati meskipun harus lebih lambat serta dengna susah payah, akhirnya Kurniawan tiba di puncak dengna selamat. Selamat dalam arti tidak menginjak satu kodok pun yang ada di jalan.
Hujan lebat pun tiba-tiba berhenti dan langit kembali cerah saat Kurniawan melewati Sanghyang Tikoro, sebuah lahan bekas kawah yang menjadi tanda tiba di puncak Tampomas.
"Alhamdulillah....," ujar Kurniawan.
Dia tidak melihat satu pendaki pun di kawasan puncak. Suasana hening. Angin sepoi-sepoi membuatnya terasa segar. Dia kemudian berjalan menuju batu besar yang ada tepat di tengah-tengah kawasan puncak Tampomas.
Namun beberapa langkah menjelang tiba, Kurniawan heran karena di batu tersebut nampak seorang pendaki perempuan tengah duduk membelakanginya. Sesaat kemudian dia teringat apa yang terjadi dengan Sastra dan Arip. Maka dia pun berhenti melangkah dan mencoba berbalik arah.
Tapi saat hendak berbalik badan, si perempuan yang duduk di batu itu mendahuluinya berbalik badan, menghadap ke arahnya.
Dan.....Kurniawan terpana!. Perempuan yang mengenakan kemeja lapangan warna krem, dengan syal oranye melingkar di leher itu tersenyum, kepadanya. Rambutnya panjang melampaui bahu, dibiarkan tergerai.
"Cantik sekali....," ujar Kurniawan, membatin.
Tapi, dia tidak mau gegabah. Dia tetap curiga. Bagaimanapun, keanehan yang terjadi pada Sastra dan Arip telah menghantuinya. Makanya, dia tetap waspada.
"Sendirian A !," tanya perempuan itu, tanpa sedikit pun melepas senyum.
"Iya..saya sendirian ! Kamu siapa?," jawab Kurniawan, dengan nada datar, dan dingin.
"Ih..Aa meni curiga kitu. Sini..kenalan dulu atuh baik-baik. Bilang Assalamu'alaikum kituh...," kata perempuan itu, dengan mengedipkan mata penuh arti.
Anak-anak remaja gaul tahun 90-an pasti mengenal Jihan Fahira, Model Top Indonesia di era itu. Nah, kira-kira seperti itulah wajah perempuan di hadapan Kurniawan, di puncak gunung itu.Atau mungkin tidak jauhlah dengan Cindy Crawford, super model Hollywod yang terkenal di era 90-an.
Melihat langit yang cerah, suasana yang ramah, serta perempuan yang memang asli cantik itu, Kurniawan akhirnya luluh juga. Dia membuang jauh-jauh rasa curiganya. Dia mendekat, berkenalan dan kemudian nampak terlibat perbincangan yang hangat dengan perempuan cantik tersebut. Agar gampang, kita sebut saja si perempuan itu dengan Cindy.
Bahkan setelah beberapa lama, Kurniawan dan perempuan itu nampak saling menggenggam tangan dengan mesra.
"Kamu bener-bener cinta sama aku?," tanya Kurniawan. Dia masih merasa ragu dan tak percaya dengan suasana itu.
"Iya...," ujar Cindy
"Kamu mau menerimaku apa adanya?," tanyanya lagi.
"Iya sayang...aku menerimamu apa adanya," kata si Cindy
"Duh....," kata Kurniawan. Dia tersenyum, terus menunjuk malu-malu.
"Kenapa? Ada apa sayang? Kok jadi nunduk-nunduk gitu?," tanya Cindy penuh mesra.
"Nggak..aku sangat bahagia beduaan sama kamu di sini. Tapi aku sedih dengan nasib dua sahabatku," jawab Kurniawan.
"Hmm...siapa? dan kenapa mereka?" tanya Cindy. Wajahnya serius.
"Hmm..panjang ceritanya..," kata Kurniawna, sambil terus menceritakan lagi apa yang telah dia alami dan saksikan sendiri tentang Arip dan Sastra.
"Apa yang dikatakan Si Aki itu benar. Sastra dan Arip menginjak kodok, dan dia bertemu dengan perempuan yang buruk, tapi jatuh cinta dan ah...begitulah..," kata Kurniawan.
"Jadi cuma kamu yang selamat?," kata si Cindy.
"Iya..,dan merasa bernuntung bertemu kamu di sini, di puncak gunung ..di malam yang indah ini, " kata Kurniawan. Sambil terus menatap Cindy.
"Hmmm....," kata Cindy. Tiba-tiba wajah Cindy nampak sedih. Dia nampak galau.
"Kenapa sayang? Ada apa? Kok tiba-tiba kamu jadi galau?" tanya Kurniawan.
"Hmmm..enggak..euu...duh....," kata Cindy. Dia nampak makin galau.
"Kenapa sih? Apa ada yang salah?," tanya Kurniawan.
"Enggak...Tapi... memang..eeuu, pas tadi di Gerbang Pinus, aku pun bertemu Aki-aki Berbaju Putih...," kata Cindy.
"Oh ya? Lantas?," tanya Kurniawan, dia mulai nampak terkejut dan heran.
"Iya..sama.. Si Aki juga berpesan kalau akan terjadi hujan lebat dan banyak kodok di jalan..," kta Cindy.
"Hah...terus?," kta Kurniawna, makin penasaran.
"Dan tadi kira-kira beberapa langkah lagi menuju puncak, aku menginjak kodok ...," kata Cindy, dengan wajah memelas.
"Haaaaaah..Ammpuuuuun.........Jadiii....?!!!" kata Kurniawan. Wajahnya menganga, kaget bukan kepalang.
***
Demikianlah teman-teman. Saya yang tadinya merasa semakin berbunga-bunga dengan cerita Sastra itu, tiba-tiba berteriak. "Geloooooo.....sugan teh naon ..hahahahahhaha...,"
Saya dan Sastra pun tertawa habis-habisan. Ya...Sastra nampak bahagia berhasil mengerjaiku dengan cerita dan guyonan kodok sialan itu. Kami sepertinya jadi dua anak laki-laki yang berbahagia di Sabtu, Malam Minggu 13 Pebruari 1999 itu.
Sekitar jam 22.00 saya pamit pulang dari rumah Sastra dengan hati yang begitu bahagia dan sekali lagi, berbunga-bunga.
"Cus...kade nincak kodok...hahahaha...!" ujar Sastra, sesaat setelah saya keluar dari pintu rumahnya.
Setiba di rumah, di dalam kamar saya merenung. Mungkin benar apa yang dikatakan Sastra. Saya boleh jadi bukan orang yang berhasil dalam kisah-kisah cinta masa remaja. Tetapi selalu beruntung..hehehe..
Sas...Rif..ieu tulisan jang maneh ! No one could ever know me...No one could ever see me...Seems like you're the only one who know..... hehehe... ***
"Rif..Si Sastra teu salah?" bisik Kurniawan kepada Arip.
"Duh...asa jadi inget omongan si Aki... Jangan-jangan yang dimaksud celaka atau nasib buruk itu seperti si Sastra, " kata Arip.
"Ah jangan percaya ! Itu bukan nasib buruk. Mungkin itu memang jodoh si Ssstra hahaha...," ujar Kurniawan.
"Bukan begitu. Waktu jalan dari Pos 2, dia kan menginjak kodok! Dan di pos tiga, dia ketemua perempuan itu..dan aneh sekali sikap dia..Ah..jadi takut," kata Arif.
"Hmmm..ya sudah..yang penting kita hati-hati. Jangan sampai menginjak kodok," timpal Kurniawan.
"Iya...Tapi kamu sekarang yang berjalan di depan ya..hehehe," jawab Arip.
"Oke Bos!," jawab Kurniawan.
Dengan lampu senter Kurniawan menerangi jalan. Hujan lebat terus turun tak berhenti, sehingga keduanya berhati-hati sekali melewati jalan setapak menuju Pos 4, pos terakhir sebelum puncak Tampomas.
"Aduh...Cuusss....Celaka..celaka ini mah.....!," tiba-tiba Arip yang berjalan di belakang Kurniawan berteriak. Sontak membuat Kurniawan kaget, dan segera berbalik badan.
"Kunaon rif?" tanyanya.
"Duh...saya sudah hati-hati sekali berjalan. Tapi tiba-tiba dari samping ada kodok loncat, tak terlihat. Saya kaget, dan langsung menginjak kodok itu hingga mati..Tuh ..lihat!" kata Arip dengan nada bergetar, sambil menunjukkan bangkai kodok yang dia injak.
Kurniawan yang tadi yakin dan tidak mau tersugesti dengan omoman si Kakek Misterius, kini mulai merasa ngeri. Dia kemudian berjalan di belakang, dan membiarkan Arip berjalan di depan. Dengan sisa tenaga dan mulai dihantui rasa takut, akhirnya keduanya tiba di pos 4.
Dan herannya, seperti yang pernah terjadi di Pos 3, Arip pun tiba-tiba terlihat bergairah, centil dan cengengesan, ketika di Pos 4 ternyata sudah menunggu seorang perempuan muda dengan tubuh yang terlihat sangat sexy. Saat itu ada Film Televisi berjudul "Baywacth", bintangnya adalah Pamela Anderson. Nah ..seksinya tubuh perempuan itu, mirip Pamela Anderson.
Tapi yang membuat Kurniawan bergidik saat melihat wajahnya. Seperti Nenek Lampir. Anehnya Arip tidak peduli, dan nampak tergila-gila.
"Cus...ini nampaknya takdirku malam ini cuma bisa berjalan sampai Pos 4. Saya jatuh cinta sama si Teteh yang bohay itu," kata Arip dengan wajah centil dan cengengesan.
"Ah..Dasar Cengos...," kata Kurniawan, nampak kesal, tapi bingung.
"Sudahlah..Lanjut saja. Kalau pun ini dianggap nasib buruk. Biar saja lah..Yang penting saya asyik dan asoy saja sama si Teteh Canti bagai bidadari ini. Saya dan Sastra berharap kamu berhasil mewujudkan rencana kita!," kata Arip, setengah berpidato. Dia nampak tidak acuh, dan terus aja mengaleng pinggang perempuan itu.
"Hey...iya..A Arif kasep mah jodoh aku. Jangan takut Aa Arif akan aman, dan saya akan berikan apa yang Aa Arip mau..," kata perempuan itu.
Dengan sisa semangat yang ada, Kurniawan mencoba membuang rasa ngeri dan heran yang luar biasa. Dengna tenaga yang ada, dia akhirnya terus berjalan sendiri menuju puncak. Meski jarak puncak dan pos 4 itu relatif dekat, namun karena tidak mau terulang seperti Sastra dan Arip, dia berjalan pelan, sangat hati-hati, dan waspada, sehingga cukup lama tiba, dibanding biasanya.
Karena keyakinan yang kuat, tidak mau tersugesti oleh omongan si kakek, dan langkah yang hati-hati meskipun harus lebih lambat serta dengna susah payah, akhirnya Kurniawan tiba di puncak dengna selamat. Selamat dalam arti tidak menginjak satu kodok pun yang ada di jalan.
Hujan lebat pun tiba-tiba berhenti dan langit kembali cerah saat Kurniawan melewati Sanghyang Tikoro, sebuah lahan bekas kawah yang menjadi tanda tiba di puncak Tampomas.
"Alhamdulillah....," ujar Kurniawan.
Dia tidak melihat satu pendaki pun di kawasan puncak. Suasana hening. Angin sepoi-sepoi membuatnya terasa segar. Dia kemudian berjalan menuju batu besar yang ada tepat di tengah-tengah kawasan puncak Tampomas.
Namun beberapa langkah menjelang tiba, Kurniawan heran karena di batu tersebut nampak seorang pendaki perempuan tengah duduk membelakanginya. Sesaat kemudian dia teringat apa yang terjadi dengan Sastra dan Arip. Maka dia pun berhenti melangkah dan mencoba berbalik arah.
Tapi saat hendak berbalik badan, si perempuan yang duduk di batu itu mendahuluinya berbalik badan, menghadap ke arahnya.
Dan.....Kurniawan terpana!. Perempuan yang mengenakan kemeja lapangan warna krem, dengan syal oranye melingkar di leher itu tersenyum, kepadanya. Rambutnya panjang melampaui bahu, dibiarkan tergerai.
"Cantik sekali....," ujar Kurniawan, membatin.
Tapi, dia tidak mau gegabah. Dia tetap curiga. Bagaimanapun, keanehan yang terjadi pada Sastra dan Arip telah menghantuinya. Makanya, dia tetap waspada.
"Sendirian A !," tanya perempuan itu, tanpa sedikit pun melepas senyum.
"Iya..saya sendirian ! Kamu siapa?," jawab Kurniawan, dengan nada datar, dan dingin.
"Ih..Aa meni curiga kitu. Sini..kenalan dulu atuh baik-baik. Bilang Assalamu'alaikum kituh...," kata perempuan itu, dengan mengedipkan mata penuh arti.
Anak-anak remaja gaul tahun 90-an pasti mengenal Jihan Fahira, Model Top Indonesia di era itu. Nah, kira-kira seperti itulah wajah perempuan di hadapan Kurniawan, di puncak gunung itu.Atau mungkin tidak jauhlah dengan Cindy Crawford, super model Hollywod yang terkenal di era 90-an.
Melihat langit yang cerah, suasana yang ramah, serta perempuan yang memang asli cantik itu, Kurniawan akhirnya luluh juga. Dia membuang jauh-jauh rasa curiganya. Dia mendekat, berkenalan dan kemudian nampak terlibat perbincangan yang hangat dengan perempuan cantik tersebut. Agar gampang, kita sebut saja si perempuan itu dengan Cindy.
Bahkan setelah beberapa lama, Kurniawan dan perempuan itu nampak saling menggenggam tangan dengan mesra.
"Kamu bener-bener cinta sama aku?," tanya Kurniawan. Dia masih merasa ragu dan tak percaya dengan suasana itu.
"Iya...," ujar Cindy
"Kamu mau menerimaku apa adanya?," tanyanya lagi.
"Iya sayang...aku menerimamu apa adanya," kata si Cindy
"Duh....," kata Kurniawan. Dia tersenyum, terus menunjuk malu-malu.
"Kenapa? Ada apa sayang? Kok jadi nunduk-nunduk gitu?," tanya Cindy penuh mesra.
"Nggak..aku sangat bahagia beduaan sama kamu di sini. Tapi aku sedih dengan nasib dua sahabatku," jawab Kurniawan.
"Hmm...siapa? dan kenapa mereka?" tanya Cindy. Wajahnya serius.
"Hmm..panjang ceritanya..," kata Kurniawna, sambil terus menceritakan lagi apa yang telah dia alami dan saksikan sendiri tentang Arip dan Sastra.
"Apa yang dikatakan Si Aki itu benar. Sastra dan Arip menginjak kodok, dan dia bertemu dengan perempuan yang buruk, tapi jatuh cinta dan ah...begitulah..," kata Kurniawan.
"Jadi cuma kamu yang selamat?," kata si Cindy.
"Iya..,dan merasa bernuntung bertemu kamu di sini, di puncak gunung ..di malam yang indah ini, " kata Kurniawan. Sambil terus menatap Cindy.
"Hmmm....," kata Cindy. Tiba-tiba wajah Cindy nampak sedih. Dia nampak galau.
"Kenapa sayang? Ada apa? Kok tiba-tiba kamu jadi galau?" tanya Kurniawan.
"Hmmm..enggak..euu...duh....," kata Cindy. Dia nampak makin galau.
"Kenapa sih? Apa ada yang salah?," tanya Kurniawan.
"Enggak...Tapi... memang..eeuu, pas tadi di Gerbang Pinus, aku pun bertemu Aki-aki Berbaju Putih...," kata Cindy.
"Oh ya? Lantas?," tanya Kurniawan, dia mulai nampak terkejut dan heran.
"Iya..sama.. Si Aki juga berpesan kalau akan terjadi hujan lebat dan banyak kodok di jalan..," kta Cindy.
"Hah...terus?," kta Kurniawna, makin penasaran.
"Dan tadi kira-kira beberapa langkah lagi menuju puncak, aku menginjak kodok ...," kata Cindy, dengan wajah memelas.
"Haaaaaah..Ammpuuuuun.........Jadiii....?!!!" kata Kurniawan. Wajahnya menganga, kaget bukan kepalang.
***
Demikianlah teman-teman. Saya yang tadinya merasa semakin berbunga-bunga dengan cerita Sastra itu, tiba-tiba berteriak. "Geloooooo.....sugan teh naon ..hahahahahhaha...,"
Saya dan Sastra pun tertawa habis-habisan. Ya...Sastra nampak bahagia berhasil mengerjaiku dengan cerita dan guyonan kodok sialan itu. Kami sepertinya jadi dua anak laki-laki yang berbahagia di Sabtu, Malam Minggu 13 Pebruari 1999 itu.
Sekitar jam 22.00 saya pamit pulang dari rumah Sastra dengan hati yang begitu bahagia dan sekali lagi, berbunga-bunga.
"Cus...kade nincak kodok...hahahaha...!" ujar Sastra, sesaat setelah saya keluar dari pintu rumahnya.
Setiba di rumah, di dalam kamar saya merenung. Mungkin benar apa yang dikatakan Sastra. Saya boleh jadi bukan orang yang berhasil dalam kisah-kisah cinta masa remaja. Tetapi selalu beruntung..hehehe..
Sas...Rif..ieu tulisan jang maneh ! No one could ever know me...No one could ever see me...Seems like you're the only one who know..... hehehe... ***






