Showing posts with label kasus. Show all posts
Showing posts with label kasus. Show all posts

Sunday, May 28, 2023

Pesta Seks Berujung Pembunuhan di Hannover Jerman, 24 Agustus 1980

MAX Dittmann, seorang tukang ledeng ditemukan tewas di rumahnya, di Kota Hannover Jerman, Minggu 24 Agustus 1980. Saat ditemukan saksi mata, tubuh korban telanjang bulat. Satu tombak aneh tertancap di punggungnya.

Max Dittmann, Korban Pembunuhan

Pada waktu itu, profesi tukang ledeng di Jerman cukup keren dan populer. Generasi 90-an pasti kenal tokoh Mario dan Luigi. Keduanya adalah tukang ledeng, dalam game Nintendo yang terkenal, Super Mario Brss.

Dittman adalah seorang tukang ledeng yang ahli, dan cekatan. Ia sukses dengan pekerjaannya, dan tak pernah mengecewakan pelanggan. Ia tinggal di Hannover bersama Johana, istirnya, dan Fritz anaknya yang baru berusia 10 tahun.

Kehidupan keluarga itu cukup bahagia. Bila musim panas tiba (sekitar bulan Agustus), Max selalu mengajak istri dan anaknya berlibur. Biasanya mereka pergi ke Italia atau Spanyol. Mereka tidak pernah ke Perancis, karena dianggap biayanya terlalu mahal. Lagi pula menurut anggapan orang-orang Jerman saat itu, orang Perancis sombong dan kasar.

Tapi tiga musim panas terakhir, Max tak lagi mengajak keluarganya berlibur. Itu sebabnya, pada musim panas panas 1980, Johana mengambil inisiatif, berlibur berdua bersama Firzt, anaknya, ke Austrian Triol. Mereka sepakat, Dittmann tidak ikut. Max tetap di Hanover dan mengisi waktu liburan bersama teman-temannya. Biasanya Max berkumpul bersama teman dan koleganya di sebuah Brauhaus, semacam tempat bagi mereka untuk kongkow dan minum bir atau minuman alkohol lainnya, hingga mabuk.

Sesuai rencana, Sabtu sore, 23 Agustus 1980, Max mengantarkan istri dan anaknya ke stasiun kereta api. Setelah itu, dia langsung menuju "Lion Brauhaus" menemui teman-temannya. Di sana, Max cukup dikenal dan disegani. Dia dapat meneguk 20 gelas bir tanpa rasa mual. Sesekali, dia meminum semacam arak, sebagai selingan.

Johana sudah tahu betul perilaku dan kebiasaan suaminya itu. Namun dia menganggapnya biasa dan tidak masalah. Johana tetap percaya bahwa Max adalah suami yang setia dan bertanggungjawab. Di mata Johana, Max tipe suami yang ideal.

Minggu Pagi 24 Agustus 1980, Max sudah punya agenda bertemu kawan lamanya, Alfred Kroeg. Sebelumnya, Kroeg telah menyewa sebuah motel atau tempat istirahat yang tidak jauh dari Hannover. Mereka sepakat bertemu di situ.

Saat itu, Kroeg, hendak menjemput sahabatnya itu. Ia tiba di rumah Max Kira-kira pukul 10.30. Karena pintu depan tidak dikunci, Kroeg langsung saja masuk ke dalam rumah.

Tapi, betapa terkejutnya dia saat menemukan tubuh Max terbujur kaku bersimbah darah, tanpa selembar kain pun. Sebuah tombak tertancap di punggungnya.

Melihat darah yang berceceran di mana-mana, dan kondisi tubuh korban seperti itu, Kroeg bingung. Dia sempat panik, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Mulanya ia bermaksud memanggil polisi, Tapi niat itu dibatalkan. Ia mengaku tidak tega kalau sahabatnya itu dimasukan koran dalam berita utama apalagi dipotret dalam keadaan telanjang bulat. Karena itu dia berusaha membuat tempat itu sedikit lebih rapi sebelum polisi dipanggil.

Tanpa berfikir panjang, sejumlah pakaian yang nampak berserakan dia bereskan. Dia pun menemukan sejumlah kartu remi yang tercecer di sekitar ruangan. Kroeg pun berfikir, bahwa malam minggu sebelum dia ke rumah itu, Max pasti sedang bermain kartu. Tapi dengan siapa? Mengapa Max sampai telanjang bulat? Pertanyaan itu tak bisa dia jawab.

Setelah dapat menguasai dan menenangkan dirinya, Kroeg tiba-tiba menyadari bahwa apa yang di hadapannya saat itu adalah kasus pembunuhan. Dia kembali panik dan berasumsi bahwa polisi pasti menduga bahwa dialah pelakunya.

Maka, satu-satunya jalan adalah menghubungi polisi. Segera dia angkat gagang telepon dan memutar nomor yang dituju. Dia lalu melaporkan apa yang telah dilihatnya.

Lantas, Kroeg pun diperntahkan untuk tetap diam di tempat, dan tidak boleh menyentuh apapun sampai tiba petugas kepolisian. Sambil menunggu polisi datang, Kroeg berusaha mengembalikan posisi pakaian dan barang-barang yang sudah dibereskannya, seperti sebelum dia datang. Tapi dia merasa tidak yakin dapat menghilangkan kecurigaan polisi kepadanya.

Tak lama kemudian polisi datang. Saat dimintai keterangan, Kroeg menjawabnya dalam keadaan cemas dan gugup. Akibatnya dia memberikan keterangan dengan berbelit-belit. Tak pelak, polisi pun langsung mencurigainya. Untuk sementara polisi kemudian mengamankan Kroeg. Dia ditahan dengan borgol di tangan. Walaupun sempat memprotes, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekitar pukul 15.00, Paul Schaefer, Sersan Detektif Kriminal Kepolision Hannover tiba di tempat kejadian perkara (TKP). Setelah menyelidik sejenak, dia memerintahkan Alfred Kroeg dilepaskan, lalu menyuruh petugas polisi yang lain untuk mengamankan tempat itu.

Tak lama berselang, Inspektur Oscar Brinkmann datang. Atas ijin Pak Inspektur, Kroeg diperbolehkan pulang, dengan satu syarat, jika sewaktu-waktu petugas menghubunginya, ia harus siap.

Beberapa menit kemudian tiba juga Dr. Driesch, dokter ahli forensik. Tanpa banyak bicara dia mengambil foto, lalu bekerja melakukan penyelidikan forensik di tempat kejadian perkara.

"Pembunuhan ini sangat aneh," bisik Driesch kepada Inspektur Brinkmann.

"Senjata yang dipakai buatan tangan. Panjangnya 10 inci dengan kedua sisi sangat tajam. Tapi bukan senjata kuno, dan terbuat dari baja kualitas tinggi," papar Driesch.

"Tombak dihujamkan dari belakang korban dan tempat mengenai jantung dan paru-paru kiri," lanjutnya.

"Hmm..Apa dia (korban) mati seketika itu juga," tanya inspektur.

"Tidak. Kira-kira sembilan menit setelah terluka, baru dia meninggal," jawab Driesch.

"Tombak itu digenggam atau dilempar?," tanya inspektur

"Digenggam, kemudian dicampakkan dengan sekuat-kuatnya. Tapi sudut lemparannya salah. Ia jatuh tergeletak waktu tombak itu mengenainya," jawab Driesh.

"Mungkinkah ada perlawanan?. Korban dipukul jatuh, kemudian ditusuk pada waktu tergeletak?," tiba-tiba Sersan Schaefer, menyela dengan pertanyaan.

Dokter Driecsh menggelengkan kepala.

"Bukan. Sebenarnya, korban berada di atas seseorang. Bukan di lantai tapi di sofa. Mereka dalam keadaan bersetubuh," jawab Driesch.

Jawaban Dr. Diresch ini membuat Inspektur Brinkman dan Sersan Schaefer, melongo kaget.

"Bersetubuh?" tanya Inspektur dengna nada tak percaya.

"Ya itulah yang dilakukannya. Tentu pasangannya terkejut meskipun ujung tombak itu tidak sampai melukainya," jelas Driesch.

"Sekitar pukul berapa dia meninggal?," tanya inspektur.

"Antara pukul 1.30 sampai pukul 2.00 dinihari," jawab Driesch.

Selanjutnya, mayat korban pun diangkut oleh petugas untuk diotopsi lebih lanjut.

Inspektur Brinkmann, Dr. Driesh, dan Sersan Schaefer, kemudian sama-sama keluar dari rumah korban. Mereka kemudian berdiskusi sambil makan siang disebuah restoran sekitar 2 mil dari tempat kejadian perkara.

Inspektur mengeluarkan catatannya, lalu memimpin diskusi itu. Sersan Schaefer diminta lebih dulu mengungkapkan pandangannya.

Pak Sersan menilai pembunuhan itu aneh. Dia berasumsi telah terjadi pesta seks dan mabuk-mabukan di rumah korban. Dia pun menyebut kemungkinan penggunaan narkoba. Sersan berasumsi ada sejumlah orang di sana, mabuk, bermain kartu dan bermain seks. Kemudian ada yang marah, lalu menikam Max dengan senjata tombak.

"Tapi dari mana asal tombak itu? Kemungkinan milik korban," kata Sersan..

"Menurut tetangganya, Max seorang tukang ledeng yang ahli, suami dan ayah yang baik. Dan belakangan ini sejak istri dan anaknya berlibur, ia sering membawa seorang wanita ke rumah selama dua atu tiga malam. Biasanya ia di Lion Brauhaus. Mungkin kita bisa mendapatkan informasi dari sana," kata Sersan.

"Bagus !," kata Insperktur.

Dia kemudian bertanya dan mempersilahkan Dr. Driesch menyampaikan pandangannya.

Pendapat Dr. Driesch hampir sama dengan Pak Sersan. Tapi ia mengoreksi soal adanya obat terlarang. Ia sepakat seseorang mungkin marah dan menikam Max hingga tergelatk di sofa.

"Dia (kroban) berusaha bangun, berjalan ke pinu dngan pisau yang masih tertancap di punggunnya. Ia berusaha ke sofa, tapi keburu mati," kata Driesch.

"Saat peristiwa terjadi, yang lain mungkin berusaha mengenakan pakaian mereka kembali. Sementara wanita yang disetubuhi Max mungkin terluka sedikit di bahu kanan atau dada kiri, bergantung posisi mereka bersetubuh. Aku tidak dapat memastikan," tambah Dr. Driesch.

"Warna rambutnya apa?" tanya Inspektur.

"Pirang. Beberapa helai sudah diserahkan pada sersan untuk diperiksa," jawab Driesch.

"Mungkin sidik jari ada pada tombak. Tapi sayang sudah berlumuran darah. Benda yang lain tak dapat dijadikan bahan penyelidikan," kata Sersan Schaefer, menambahkan.

Setelah mendengar pandangan Sersan Schaefer dan Dr. Driesch, giliran Inspektur Brinkmann menyampaikan asumsi penyelidikannya.

"Aku cenderung pembunuhnya bukan profesional. Tampaknya mereka orang biasa yang menjadi korban dari apa yang mereka sebut revolusi seks. Kalau mereka tidak melakukaan itu diangap ketinggalan zaman. Mungkin salah satu cemburu, maka terjadi pembunuhan," ujar Inspektur.

"Aku setuju sekali dengan yang kalian bicarakan. Tapi letak keanehan kasus ini ada pada jenis dan bentuk senjatanya," tegas Inspektur.

"Menurut pendapatmu, dari mana tombak itu?" tanya dokter

Inspektur mengangkat bahunya tanda tak tahu. Tapi ia kemudian menduga bahwa senjata itu milik korban sendiri. Inspektur berasumsi, sebagai tukang ledeng, Max biasa bekerja dengan logam.

"Paul, malam ini juga kau pergi ke Lion Brauhaus. Coba dapatkan informasi. Dan kau, dokter Driesch, boleh kembali ke kamar mayat. Bila di antara kalian menemukan keterangan bermanfaat malam ini, aku ada di kantor atau di lab," kata Inspektur, memberi perintah pada Sersan Schaefer dan dokter Driesch.

***

Johana Dittmann kemudian mendapat informasi tentang peristiwa pembunuhan suaminya itu dari Inspektur Oscar Brinkmann. Dia masih di Austrian Tirol saat itu. Inspektur meneleponnya.

Saat ditanya lebih lanjut Johana mengaku tidak tahu menahu mengenai pesta seks. Bahkan ia tidak percaya sama sekali kalau suaminya sampai terlibat dalam perbuatan tidak senonoh seperti itu.

"Max suami yang baik. Dan jika ia melakukan hal seperti itu pasti karena sengaja digoda oleh wanita-wanita itu," tegas Johana.

"Mengapa mereka sengaja menggoda suamimu?," tanya Inspektur.

"Uang ! Apalagi kalau bukan itu? Sudah anda selidiki rumah itu? Kira-kira ada empat atau lima ratus dollar uang kontan," jawab Johana.

Ketika diselidiki soal uang itu, polisi tak menemukannya. Namun dari keterangan Johana, Inspektur mendapat informasi penting tentang tombak yang dipakai membunuh Max. Menurut Johana, Max baru saja menyelesaikan tombak itu kira-kira dua minggu sebelum Johana dan anaknya pergi berlibur.

Sementara itu, dari Lion Brauhaus, Sersan Schaefer mendapat informasi. Orang-orang di sana mengaku melihat Dittmann bersama seorang "Pekerja Seks Komersil" (PSK) bernama Inge Stegmuller.

Inge Stegmuller, seorang PSK yang Cantik dan Ramah
dia memberikan keterangan penting atas kematian Max Dittman

Diperoleh informasi, meskipun dikenal sebagai PSK yang populer dan sukses, tapi Inge tidak tergabung dalam mucikari. Dia menlakukan usahanya dengan menggunakan Mercedes putih yang ia beli dari hasil keringatnya.

Inge Stegmuller datang ke kantor Inspektur. Dia berukur 22 tahun. Rambutnya pirang dan terawat dengan baik. Parasnya cantik, seksi, dan ramah. Mungkin itulah yang menyebabkan dia menjadi PSK yang sukses. Polisi melihat Inge bukan tipe seorang pembunuh.

Di kantor, Inspektur Brinkmann memberitahu Inge bahwa Max Dittmann telah dibunuh, dan menanyakan apakah Inge mengetahui peristiwa itu.

"Tidak. Saya tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi padanya. Max itu baik walaupun dia selalu berpendapat bahwa wanita dilahirkan memang untuk melayani laki-laki," kata Inge.

"Saya kenal cukup dekat dengannya, dan ke rumahnya tiga atau empat kali sejak dua minggu yang lalu. Terakhir kali saya melihatnya hari Rabu malam," kata Inge.

"Kau berada di mana sekitar pukul satu sampai dua pada minggu pagi?," tanya Inspektur.

"Coba kulihat dulu buku catatanku. Pada waktu itu saya sibuk. Tapi tidak ingat dengan siapa," jawab PSK cantik itu.

Kemudian, Inge menunjukkan sebuah nama dan nomor telepon yang tercatat dibukunya. Saat dihubungi polisi, orang yang diajak bicara membenarkan bahwa ia bersama-sama Inge pada jam-jam dimaksud.

Baru saja Inspektur meletakkan gagang telepon di tempatnya, Inge menyampaikan sesuatu.

"Apakah sudah menghubungi teman wanita Max yang lainnya," tanya Inge.

"Maksudmu, wanita profesional?," tanya Inspektur.

"Bukan. Aku pernah melihat Max bersama sepasang muda-mudi. Si gadis kira-kira berumur 18 tahun dan si pemuda juga seumur dengan gadis itu," jawab Inge.

"Apa mereka punya reputasi buruk?," tanya Inspektur.

"Aku kira tidak. Mereka biasa-biasa saja. Tetapi aku menduga mungkin Max bertengkar gara-gara memperebutkan gadis itu," jawab Inge.

Dia tidak ingat lagi kapan terakhir melihat Max dengan sepasang muda-mudi itu. Inge tidak mengenal keduanya., tetapi diperkirakan mereka tinggal di sekitar Brauhaus.

Dari keterangan Inge, Inspektur kemudian mengembangkan penyelidikan tentang sepasang muda-mudi itu. Sejummlah pengunjung dan pelayan di Brauhaus mengatakan, Max memang berteman dengan muda-mudi itu. Yang laki-laki bernama Louis Huber, berusia 20 tahun. Sementara yang perempuan bernama Lydia Moersch.

Louis Hubber, mengaku menyukai Max

Lydia Moersch, teman Hubber

Penyelidikan lebih lanjut menghasilkan konklusi, bahwa Max Dittmann memang berteman baik dengan Huber. Keduanya suka minum bersama di Brauhaus. Tetapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Max mengenali Moersch.

Inspektur Brinkmann kemudian memerintahkan Sersan Paul Schaefer untuk segera menangkap Huber dan Moersch.


Polisi Jerman menangkap Louis Hubber
Proses pemeriksaan berjalan lama dan berbelit-belit. Polisi hampir menyerah karena tidak ada bukti kuat bahwa Huber dan Moersch ada di rumah Max Dittman pada malam kejadian. Tapi akhirnya setelah berkali-kali berbohong, Louis Huber akhirnya mengakui bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu.

Lantas apa motifnya?

Beberapa saat sebelum kejadian ketiga orang itu sudah telanjang bulat. Louis Huber mengaku menyukai Max. Saat itu, dia, Max, dan Lydia sudah sangat mabuk dan bermain kartu.

Huber melangkah masuk ke kamar mandi. Lalu saat keluar, dia melihat Max sedang bergumul dengan Lydia. Dalam keadaan mabuk, Louis berasumsi bahwa Max sedang memperkosa Lydia. Dengan cepat dia mengamil tombak yang ada di kursi ruang tamu, lalu menghujamkannya ke punggung Max. Lalu, Louis dan Lydia dengan tergesa-gesa berpakaian, dan kabur dari rumah itu.

Sementara dalam keterangannya, Lydia tidak membantah atau membenarkan keterangan Louis. Dia hanya mengaku bahwa saat itu sangat mabuk dan tidak ingat apa yang terjadi.

Kasus itu akhirnya bisa dipecahkan.

Johana, istri korban, sama sekali tidak mengira bahwa suaminya berperilaku seperti itu. Dia mengira selam ini suaminya sangat setia, padahal telah menipunya. Johana pun akhirnya tidak tahu siapa yang harus disalahkan; dirinya sendiri atau suaminya?

(Disadur dari tulisan Paul Burns/Tjie Tjin Siang, yang dimuat di majalan "Zaman" Edisi 23 Mei 1982)


Saturday, May 27, 2023

Dice Budiarti, Gosip "Cinta Segi Tiga" Berdarah hingga Pak De yang Jadi "Kambing Hitam"

SAYA masih usia kelas tiga sekolah dasar ketika peristiwa pembunuhan model cantik Dice Budiarti mengguncang jagad pemberitaan tanah air. Saya teringat, orang-orang dewasa sekitar saya, baik keluarga maupun tetangga ramai membicarakannya.

Peristiwa pembunuhan memang selalu bikin heboh saat itu. Maklumlah, awal dekade 1980-an masyarakat kerap dihebohkan dengan penemuan mayat-mayat tak dikenal yang konon adalah hasil kerja penembak misterius atau "petrus".
Almarhum Dice Budiardi, Model dan Peragawati era 1980-an

Rasa penasaran masyarakat memang tertahan , karena sumber informasi khalayak saat itu cuma koran dan majalah. Belum banyak yang punya televisi. Kalaupun ada, pemberitaan di TVRI ketat di bawah lembaga sensor. Akibatnya, muncul bumbu-bumbu penyedap gosip agar obrolan soal itu jadi hangat dan mengasyikan. Salah satunya gosip miring bahwa Dice  memang jadi "langganan" sejumlah petinggi negeri ini di masa itu, sampai kemudian isu tentang "cinta segi tiga" atau mungkin "segi empat" di antara Dice dengan para pelanggannya. Ah...itu cuma gosip. 

Sama halnya dengan kasus pak Ferdy Sambo beberapa waktu lalu, rasa penasaran dan hasrat ingin tahu masyarakat saat itu pun lebih kepada soal apa yang sesungguhnya menjadi motif pembunuhan Tante Dice.

Apalagi Tante Dice cukup dikenal. Dia adalah mantan "Ratu Kacamata" tahun 1977. Publik kerap melihat wajahnya menghiasi cover-cover majalah, dan berita-berita gosip selebritis di zaman itu.

Majalah Tempo Koleksi Perpustakaan Sang Kelana
 Namun sampai dengan akhir tahun 1986, berita-berita yang tersaji masih berputar-putar di sekitar fakta-fakta kejadian. Kalau pun ada koran atau majalah gosip yang nyeleneh, paling tentang suasana mistis dan menakutkan di sekitar lokasi penemuan mayat Tante Dice. Bukan menyajikan fakta yang sesungguhnya. Maklumlah.

Desas desus pun segera menjalar. spekulasi publik makin liar. Pihak berwenang harus segera bertindak unuk meredam rasa penasaran publik itu, agar tidak makin liar dan mengganggu stabilitas pembangunan di zaman Orde Baru.

Hasilnya, masyarakat harus dibuat percaya bahwa pelakunya adalah seorang dukun atau penasehat spiritual Dice, dan motifnya adalah uang. Polisi menetapkan Muhammad Sirajudin alias Pak De, Warga Susukan, Ciracas, Jakarta Timur, sebagai tersangka tunggal kasus itu. Ia ditangkap, diadili dan divonis bersalah membunuh Dice yang sebenarnya sudah dianggap anak sendiri oleh Pak De.

Pak De di balik jeruji besi
Sumber: Kliping Majalah Tempo, koleksi "Sang Kelana"

Namun, tak sedikit masyarakat yang menilai bahwa Pak De cuma kambing hitam. Masih ada kalangan yang menjaga nalar untuk tak percaya begitu saja kepada pengadilan di zaman itu. Meski mereka harus memperbincangkannya diam-diam, hanya di antara sesama kawan yang layak dipercaya.

Sampai kemudian, sejarah Indonesia sampai pada titik perjalanan Reformasi 1998. Lumrah terjadi di tahun-tahun awal pergantian rezim, mereka yang tertindas sebelumnya, berusaha memperoleh kembali hak-haknya. Dalam hal ini, termasuk Pak De. 

 Dia tahu, Dice tidak akan mendadak bangkit dari kubur untuk meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi harga diri dan nama baik dirinya yang dituding sebagai pembunuh, lalu meraskaan kepahitan belasan tahun dalam penjara tanpa dosa apa-apa, harus dia perjuangkan. Pak De  maju, menyampaikan pengajuan novum atau bukti baru demi membela harga diri dan nama baiknya.

Semesta pun berpihak pada Pak De. Tahun 2002 muncul pengakuan dr. Muniem Idris, dokter yang mengautopsi mayat Dice. Dari pengakuan Muniem Idris, mulai terkuak lebih lengkap jalan ceritanya. Ada yang sesuai, ada pula yang begitu menyimpang jauh dari desas desus yang dulu berkembang di kalangan masyarakat. Sementara motif sesungguhnya dari peristiwa itu sendiri, menurut saya hingga kini masih berupa asumsi.

Pengakuan dokter Muniem Idris, yang terangkum dalam buku "Indonesia X-Files: Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir" itu, memang jadi rujukan bagi mereka yang ingin tahu kasus-kasus yang menghebohkan di masa Orde Baru.

Dalam buku tersebut diketahui, pihak berwenang saat itu sepertinya memaksakan sebuah skenario agar Pak De bisa ditangkap, diadili dan divonis sebagai pembunuh, dengan motif uang. Untuk menguatkan skenario itu, polisi pun menyeret Pak De dalam kasus lain, yakni pembunuhan terhadap Endang Sukitri, pengusaha pemilik toko bangunan di kawasan Depok, Jawa Barat. Konon tubuh Endang ditemukan tewas dibacok dengan kapak. Dan dugaan mengarah kepada Pak De.

“Menurut analisa saya, dalam kasus Ditje terjadi tarik-menarik dua kepentingan antara Polda Metro Jaya dengan Polda Jawa Barat,” tulis dokter Mun’im dalam bukunya itu.

Menurut dia, seharusnya polisi menyelesaikan kasus pertama itu terlebih dahulu, baru kemudian kasus Dice.

“Tapi ternyata tidak demikian,” tandas Mun’im.

Asumsinya, kasus Dice dengan tersangka Pak De jadi prioritas, karena konon menyangkut nama-nama besar dan kuat di zaman itu, antara lain pejabat tinggi di Angkatan Udara Republik Indonesia, pengusaha ternama, bahkan anggota keluarga istana negara.

“Jadi kasus ini diselesaikan dengan cara seperti itu,” kata kata dokter Muniem.

Ilustrasi: Diceu dihabisi dengan lima tembakan.

Skenario hasil penyelidikan polisi saat itu secara garis besar begini. Dice menitipkan uang sebesar Rp 10 juta kepada Pak De, yang berprofesi sebagai dukun. Dice percaya Pak De bisa menyulap nilai uang itu berkali-kali lipat hingga menjadi ratusan juta rupiah seperti dijanjikan Pak De. Tapi, karena Pak De terpepet kebutuhan hidup, uang itu habis digunakannya. Untuk itu, Pak De lalu menghabisi nyawa Dice. Jadi, dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibuat tegas bahwa motifnya adalah uang.

Pak De jadi tersangka, kemudian jadi terdakwa. Ia harus rela duduk di kursi pesakitan menghadapi pengadilan negeri Jakarta Selatan. Dalam pengadilan, Pak De membantah segala tuduhan dalam BAP karya polisi. Saat menjalani inteogasi, Pak De memang mengaku beberapa hal, termasuk membunuh Dice. Tapi pengakuan itu, kata Pak De, dibuat karena tak tahan disiksa polisi.

Kepada Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Reni Retnowati, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam sebelum esoknya ditemukan terbunuh, dia sedang berada di rumah rekannya. Untuk itu, rekan-rekan Pak De tampil menjadi saksi, memperkuat alibi.

Tapi pengakuan saksi dan alibi yang diajukan tak dihiraukan majelis hakim. Vonis tetap jatuh. Palu pengadilan mengetuk vonis penjara seumur hidup bagi Muhammad Sirajudin alias Pak De, karena dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.

Pak De tetap merasa tak bersalah. Dia mengajukan banding. Sialnya, keputusan banding memperkuat vonis sebelumnya. Pak De untuk sementara menyerah dengan keadaan. Dia menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.

Menurut dr. Muniem, ada satu hal yang janggal dari pengakuan salah seorang saksi yang memberatkan Pak De. Saksi itu mengaku melihat Pak De menggunakan helm, berdiri di samping sepeda motor Vespa miliknya, waktu sore sesaat menjelang Magrib. Dalam kondisi seperti itu saksi merasa yakin mengenali tersangka.

Karena merasa janggal, dokter Muniem mempertanyakan itu kepada pihak kejaksaan dalam sebuah pertemuan koordinasi.

“Hilangkan yang ini, ganti (kalimatnya) bahwa orang tadi melihat seseorang berdiri di samping Vespa,” ujar Mun’im menuturkan perintah seorang petugas kejaksaan dalam pertemuan koordinasi itu.

Sementara terkait pembunuhan terhadap Endang Sukitri, hasil pemeriksaan foreksik yang dilakukannya juga menunjukkan ada ketidaksesuaian antara luka pada tubuh korban dengan alat buki yaitu kapak dan rambut korban. Saat ia meminta menguji ulang forensik rambut itu, pihak keluarga korban tak mengizinkan penggalian kuburan.

Maka, dr. Muniem pun menilai penyelesaian kasus pembunuhan Dice dan Endang Sukitri itu memang dibuat begitu, membiarkan sang dalang pembunuhan jadi pertanyaan sejarah. (*)


Referensi;


Ablul Mun'im Idries, "Indonesia X-Files: Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir", Noura Publishing, 2013

Hasil Wawancara berjudul "Pak De Tidak Membunuh Diceu", Majalah Tempo, Edisi 19 Agustus 1999