Monday, July 3, 2023

Legenda tentang Tiga Anak Laki-laki dan Kodok Sialan di Gunung Tampomas


HARI Sabtu, 13 Pebruari 1999 hatiku sedang berbunga-bunga. Bukan karena besoknya tanggal 14 Pebruari dikenal sebagai Hari Valentine. Ah.. dari dulu saya menganggap Valentine Day's sebagai hal yang tak penting, dan tak pernah sekalipun saya di masa remaja, ikut-ikutan merayakan hari tersebut.

Lantas apa yang membuat hati saya berbunga-bunga saat itu ? Hmmm...apa ya?! Sudahlah, biar orang-orang tertentu saja yang tahu. Yang pasti, di hari itu, selepas Isya saya berada di rumah Sastra, salah seorang sahabat terbaik saya. Henra Sastrawan, nama lengkapnya. Dia saat itu tercatat sebagai mahasiswa semester 4 Jurusan Geodesi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

KUBACALA di Tahun 1998

Sejak Juni 1997, Sastra meninggalkan Sumedang. Dia jadi Mahasiswa Baru UGM dan tinggal di Yogja. Bila libur kuliah saja dia pulang, dan menemui saya di "Geusan Ulun 136". Atau bila bertepatan waktunya saat Arif "pesiar" dari Ksatrian Jatinangor, kami bertiga biasa bertemu di "Arif Rahman Hakim 151".

Tapi saat itu, selama satu pekan itu, bukanlah waktu libur kuliah bagi Sastra. Dia pulang ke Sumedang, karena di akhir Januari 1999, saya meneleponnya tentang satu rencana besar dan indah. Saya hanya mengabarinya, seperti halnya saya memberi kabar soal rencana besar dan indah itu kepada Arif.

Namun, yang membuat saya terharu, dia sengaja pulang hanya untuk menemani saya, mendukung saya habis-habisan, memastikan, dan menjadi saksi ketika saya dapat mewujudkan rencana besar dan indah itu.

"Urang balik gara-gara maneh nelepon, Cus..hahahah...!" ujar dia, sambil tertawa dan memeluk saya, saat tiba di stasiun kereta api Bandung, akhir Januari 1999, lalu semalam tinggal di kosan saya saat itu, di kawasan Sadangserang Kota Bandung.

Ah...Sas...Rif. ! No one could ever know me..No one could ever see me..seems like you are the only one who know......dan seterusnya...hehehehe

Baiklah teman-teman, kita lanjut.

Di dalam kamarnya yang cukup luas, saya dan dia asyik ngobrol banyak hal, terutama tentang apa yang kami alami sejak sabtu siang. Tentu saja, ada kopi, dan rokok. Saya ingat, sejak masuk ke kamarnya, sudah ada dua bungkus rokok tergeletak di lantai kamarnya. Yang satu, rokok merek "KING" (sekarang kayaknya sudah tidak diproduksi lagi rokok ini), dan satu lagi "Garfit".

Saya berterima kasih kepadanya, karena dukungan, fasilitas, dan beragam tutorial yang dia ajarkan kepada saya, berhasil membuat saya sampai pada salah satu momen indah dan bahagia di masa itu. Jadi saya tak perlu repot-repot membaca buku berjudul "How To....." hahaha....cukup mendengarkan nasihatmu saja soal itu, Kawan ! hahaha...

"Yah...takdir maneh Cus... Urang senang kamu bisa bahagia...!" ujarnya

"Nuhun Sas...!," jawabku.

"Maneh beruntung... sok ayeuna mah, tinggal menjalani... kalem..., aya urang jeung si pendul (Aip)," kata Sastra lagi, sambil tersenyum. Tapi matanya, nampak menerawang ke langit-langit kamar. Entah apa yang dia pikirkan.

"Yah..ngan maneh jeung si pendul nu nyaho uing," ujarku, menanggapi.

Selanjutnya kami berdua terlibat obrolan penuh canda dan tawa. Sekadar mengenang apa yang telah kami lalui sejak berkawan akrab di Smansa, hingga malam itu, setelah baru tiga tahun kami lulus Smansa. Tentu saja cuma sedikit yang bisa dikenang. Apalagi kalau bukan Kisah Cinta, Paskibra, atau Pramuka.

Ya....memang baru sebatas itu. Tapi ada nilai yang layak dihormati, jauh lebih bernilai dari kisah-kisah masa remaja kami.

Sementara, di luar hujan gerimis bulan Pebruari itu turun. Rintikannya, membasahi kaca jendela kamar Sastra.

"Urang rek cerita ke kamu...tapi ulah ngambek nya...," kata Sastra.

"Cerita naon? Serius? atau heureuy?," tanyaku.

"Terserah kamu rek memandang na serius, atau heureuy, tapi ieu cerita mungkin tentang maneh..,..." jawab Sastra.

"Tentang naon sih? penasaran...!?," ujarku, kembali bertanya.

"Naon nu terjadi poe ieu, nu di alami ku maneh poe ieu, sepertinya pernah terjadi dina mimpi urang, Cus...," lanjut Sastra.

Jidatku sedikit mengerut, dan merasa heran. Tapi saat itu aku merasa perlu mendengarkan Sastra bercerita.. Tak adil rasanya, bila aku yang sedang berbahagia, tak mau mendengar curhatan Sastra, sahabat baikku.

Tapi saya kemudian memasang wajah serius dan mulai mendengarkan cerita sastra itu.

Apa yang Sastra ceritakan itu hingga saat ini tetap terngiang dalam benak saya, dan rasanya sulit saya lupakan. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi tentang cerita sastra itu. Mudah-mudahan ada hikmah dan manfaat untuk kita semuanya.

Karena Sastra bercerita dengan kalimat-kalimat lisan (percakapan), campur aduk antara Bahasa Sunda dan Indonesia, tentu saja, kali ini saya sesuaikan dengan bahasa tulis, supaya narasinya bisa lebih runut. Mungkin boleh dibilang jadi sebuah cerita pendek yang saya tulis buat kalian, teman-teman, para pembaca blog ini.

***

"Cus...suatu saat urang pernah ngimpi........Dina mimpi eta, urang, aif, jeung maneh naik Gunung Tampomas....,," begitu ujar Sastra, memulai ceritanya...

Dalam mimpiku itu, ada tiga orang anak laki-laki yang baru lulus SMA, naik ke Gunung Tampomas. Supaya gampang, sebut saja namanya Kurniawan, Sastra, dan Arief.

Seperti layaknya anak-anak pencinta alam, ketiga anak laki-laki itu menggunakan baju planel, celana lapangan, sepatu, dan di punggungnya menggantung ransel besar, penuh dengan perbekalan. Mereka tiba di jalur Cibeureum beberapa saat setelah adzan Maghrib.

Saat itu musim kemarau. Cuaca langit sangat cerah. Selepas magrib, bintang-bintang nampak menghias langit.

Setelah menumpang truk pengangkut pasir, ketiganya menapaki jalan tanah berbatu di kaki gunung, yang mulai menanjak. Mereka berjalan dengan riang gembira dan penuh obrolan canda sehingga tidak terasa ketiganya, segera tiba di "Gerbang Pohon Pinus", yang menjadi awal jalur pendakian menuju puncak Tampomas.

Beberapa langkah sebelum melewati gerbang tersebut, dari balik salah satu pohon besar yang ada di situ, tiba-tiba muncul seorang kakek-kakek berjubah putih. Rambutnya yang panjang kira-kira sebahu, juga berwarna putih, berpadu dengan sebuah iket batik di kepalanya.

Sontak saja, ketiga anak laki-laki itu kaget bercampur rasa takut.

"Jangan takut nak!, Saya yang menjaga gerbang ini," ujar si Kakek. Dari wajahnya tersorot wibawa yang besar. Matanya tajam menatap, tapi menunjukkan sikap ramah.

"Punten Aki..punten pisan..," ujar Arief, yang memang paling berani di antara ketiga anak tersebut. Sementara Kurniawan dan Sastra terdiam, tegang.

"Hehehe... jangan takut cucu-cucuku. Kalem..kalem...selow...!," kata si Kakek.

Ketiganya saling pandang, sambil tetap bersiap mengambil langkah seribu jika terjadi sesuatu yang berbahaya.

'Hmmm..kalian mau naik ke puncak ya?," tanya Si Kakek.

"Iya Ki.. mohon ijin.. kami bertiga mau naik ke puncak," jawab Arip dengan sikap penuh sopan.

"Hmmm...cucu-cucuku, sebaiknya kalian pulang. Jangan naik ke puncak malam ini. Sudah gelap, dan sebentar lagi akan turun hujan lebat," jawab si Kakek, dengan suara yang tenang.

"Oh iya Ki...kenapa tidak boleh Ki ? Terus...cuaca menurut kami cerah Ki..tidak ada tanda-tanda akan turun hujan lebat," kata Arip. Dia mulai menunjukkan keberanian, karena si Kakek nampak ramah.

"Hehehe....sudah berapa kali kalian naik ke gunung, cucuku? Di gunung itu cuaca tidak bisa diprediksi. Sudahlah..! Aki peringatkan kalian, pulanglah! Jangan naik! Sebentar lagi hujan lebat!," kata Si Kakek, tegas.

Ketiga anak itu nampak saling pandang, dan merasa heran. Ketiganya merasa yakin, hujan lebat tidak akan turun, karena langit malam itu begitu cerah, dan bintang-bintang nampak indah.

"Iya Aki...tapi kami yakin, tidak akan hujan lebat. Kalaupun hujan lebat terjadi, kami bertiga sudah siap bawa ponco dan tenda," jawab Arip.

"Iya Aki..kami siap dan bawa perbekalan," timpal Kurniawan. Sementara Sastra tetap diam mengamati.

"Hmmm...baiklah kalau begitu. Kalian sudah Aki peringatkan, tapi memaksa, silahkan saja. Tapi aki mau berpesan, supaya kalian selamat sampai puncak dan kembali ke rumah," kata si Aki.

Ketiganya nampak senang dengan ijin si Kakek, tapi kemudian segera memasang wajah serius mendengarkan pesan si Kakek.

"Kalau ternyata nanti hujan lebat turun, berhati-hatilah! Sebab nanti tiba-tiba akan muncul kodok atau bangkong di sepanjang jalan menuju puncak. Kalau kalain sampai menginjak kodok tersebut, maka kalian akan memiliki pacar atau kekasih yang paling buruk se-dunia," kata si Kakek sambil terkekeh-kekeh.

Mendengar nasihat itu, ketiga anak laki-laki itu kemudian saling pandang.

"Memangnya kenapa sih Ki...kalau.....," kata Arip.

Tapi pertanyaan Arip tidak selesai, karena si Kakek keburu menghilang dengan ajaib.

Setelah si Kakek menghilang, Arip, Sastra, dan Kurniawan kemudian duduk sejenak menenangkan suasana dan mencoba keluar dari rasa takut dengan kejadian itu.

"Kalau aku sih mendingan balik aja, kita pilih selamat," kata Sastra.

"Kagok Sas...! Tanggung ! Jauh-jauh ke sini, Insya Allah gak akan terjadi apa-apa," ujar Kurniawan.

"Kalau ternyata benar hujan lebat seperti yang dikatakan si Aki? Gimana?," tanya Sastra.

"Terus kalau tidak terjadi, gimana?," jawab Kurniawan dengan sengit. Dia paling yakin prediksi si kakek gak akan terjadi.

Arip yang memang jadi leader dalam pendakian itu, masih diam. Belum mengambil keputusan. Dia nampak merenung. Wajahnya seserius ketika menghadapi pelajaran fisika Pak Yayat Atang di Smansa.

Sejenak ketiganya saling diam.

"Hmm...bagaimana kalau kita terus saja, tapi tetap hati-hati?," kata Arip

"Alasannya apa Rif? Bukan saya takut, tapi kehadiran si Aki itu aneh, dan omongannya juga aneh, " tanya Sastra.

"Hmm...Si Aki itu mengingatkan ada hujan lebat, dan kodok. Kalau hujan lebat, kita bawa ponco kan? Bukan sekali kita naik gunung di tengah hujan lebat, kan?," jawab Arip.

"Terus itu soal kodok, ya cuma kodok kok...hehe...kalau buaya sih, baru aku takut," kata Kurniawan sambil tertawa kecil.

"Yang penting kita hati-hati! Jangan sampai menginjaknya! Kalau si kodok yang injak kita, barangkali itu malah jadi beruntung, Sas..hehehe..," lanjut Kurniawan.

Akhirnya, Sastra setuju. Dan ketiganya melanjutkan perjalanan.

Sampai tiba di Pos 2 pendakian, situasi normal dan biasa saja.

"Alhamdulillaah, tidak terjadi apa-apa kan..!?," ujar Kurniawan saat ketiganya beristirahat di pos 2.

"Iya..Alhamdulillaah..Tapi kita harus tetap hati-hati sepanjang jalan," jawab Sastra. Keberaniannya mulai kembali.

Singkat cerita, ketiga anak lelaki itu melanjutkan perjalanannya.

Namun, baru setengah perjalanan meninggalkan pos 2, tiba-tiba terdengar suara halilintar dan angin dingin yang berhembus agak kencang. Langit nampak tiba-tiba gelap. Dan tak lama kemudian, hujan mulai turun.

"Wah...nampaknya benar kata si Aki...," kata Sastra.

Ketiganya sejenak berhenti dan segera memasang ponco atau jas hujan masing-masing. Suasana mulai tegang.

"Waspada dan hati-hati Kawan ! Kita terus berjalan, nanti di Pos 3 kita berhenti, tanggung kalau berhenti di sini," seru Arip.

Ketiganya terus melangkah dengan hati-hati. Masing-masing membawa lampu senter yang cukup terang. Oiya dulu belum musim "Headlamp". Yang ada itu lampu senter merek "Butterfly".

Sastra berjalan paling depan. Arif di tengah, dan Kurniawan berada paling belakang.

"Aaahh...aduuuuh...," tiba-tiba Sastra berteriak, dan nampak langsung jongkok.

"Kenapa Sas?," kata Arip.

"Duuh... kaget, tiba-tiba saja ada kodok melompat di depanku. Dan terinjak!," kata Sastra. Dia nampak pucat.

Ketiga anak itu tertegun. Apa yang dikatakan si Kakek Misterius terngiang lagi. Dan satu satu mulai terbukti.

"Sudah..! Jangan percaya apapun ! Jangan tersugesti omongan si Kakek! Ayo kita teruskan saja perjalanan. Yakin, kita sampai dengan selamat !," tegas Kurniawan.

"Ya..kita terus Sas!" kata Arip, memberi komando.

Sampai kemudian ketiganya tiba di Pos 3 sekitar "Kai Malang", dengan selamat. Tapi saat tiba di Pos "Kai Malang" itu, mereka kaget, karena di situ sudah ada seorang pendaki perempuan, sedang istirahat.

"Punten...boleh aku duduk di sampingmu?" kata Sastra, yang tiba-tiba saja mengambil inisiatif menghampiri perempuan itu.

"Hey...mangga..silahkan duduk, sudah dari tadi saya menunggu,"ujar perempuan itu.

Arip dan Kurniawan nampak saling pandang. Heran, kaget, dan takut, bercampur aduk. Sastra yang biasanya pendiam dan jaim jika berkenalan dengan anak perempuan, tiba-tiba bersikap seperti itu.

Arip dan Kurniawan lebih kaget dan bulu kuduknya mulai merinding ketika mulai jelas melihat wajah perempuan itu. Gimana ya..Sulit menggambarkan. Kalau ada perempuan yang paling buruk rupa di dunia ini, mungkin seperti itulah. Tapi heran, Sastra begitu terpesona. Dia nampak centil, dan asoy, bercerngkrama dengan perempuan itu.

Melihat Arif dan Kurniawan heran, Sastra kemudian melangkah menghampiri keduanya yang duduk agak jauh dari perempuan itu.

"Rif..Kur... tiba-tiba saya merasa jatuh cinta. Duh..geulis pisan ih si teteh teh...ah....," ujar Sastra sambil cengar-cengir, ganjen alias centil.

Arip dan Kurniawan saling pandang. Mulai merasa syok dengan hal itu.

"Kalau kalian mau lanjut ke puncak, sok aja ya..saya mah takut..kan si Aki sudah bilang, akan banyak kodok. Saya takut nginjak kodok lagi. Mendingan di sini aja saya mah, asoy sama si teteh..euu..siapa ya namanya...lupa..," kata Sastra, sambil terus kembali ke arah perempuan itu.

"Hey..iya...kalau kalian mau terus jalan..ya terus aja. Gak apa-apa kok aman. Saya sama teman kamu saja. Jangan takut. Teman kamu aman kok. Dia jodohku," kata perempuan itu seperti bisa membaca pikiran Arip dan Kurniawna.

Merasa kalau Sastra sudah tidak bisa di ajak lagi, dan yakin dengan jaminan si perempuan bahwa Sastra akan baik-baik saja, akhirnya Arip dan Kurniawan memutuskan terus berjalan.

Sepanjang jalan, keduanya terlibat percakapan.

"Rif..Si Sastra teu salah?" bisik Kurniawan kepada Arip.

"Duh...asa jadi inget omongan si Aki... Jangan-jangan yang dimaksud celaka atau nasib buruk itu seperti si Sastra, " kata Arip.

"Ah jangan percaya ! Itu bukan nasib buruk. Mungkin itu memang jodoh si Ssstra hahaha...," ujar Kurniawan.

"Bukan begitu. Waktu jalan dari Pos 2, dia kan menginjak kodok! Dan di pos tiga, dia ketemua perempuan itu..dan aneh sekali sikap dia..Ah..jadi takut," kata Arif.

"Hmmm..ya sudah..yang penting kita hati-hati. Jangan sampai menginjak kodok," timpal Kurniawan.

"Iya...Tapi kamu sekarang yang berjalan di depan ya..hehehe," jawab Arip.

"Oke Bos!," jawab Kurniawan.

Dengan lampu senter Kurniawan menerangi jalan. Hujan lebat terus turun tak berhenti, sehingga keduanya berhati-hati sekali melewati jalan setapak menuju Pos 4, pos terakhir sebelum puncak Tampomas.

"Aduh...Cuusss....Celaka..celaka ini mah.....!," tiba-tiba Arip yang berjalan di belakang Kurniawan berteriak. Sontak membuat Kurniawan kaget, dan segera berbalik badan.

"Kunaon rif?" tanyanya.

"Duh...saya sudah hati-hati sekali berjalan. Tapi tiba-tiba dari samping ada kodok loncat, tak terlihat. Saya kaget, dan langsung menginjak kodok itu hingga mati..Tuh ..lihat!" kata Arip dengan nada bergetar, sambil menunjukkan bangkai kodok yang dia injak.

Kurniawan yang tadi yakin dan tidak mau tersugesti dengan omoman si Kakek Misterius, kini mulai merasa ngeri. Dia kemudian berjalan di belakang, dan membiarkan Arip berjalan di depan. Dengan sisa tenaga dan mulai dihantui rasa takut, akhirnya keduanya tiba di pos 4.

Dan herannya, seperti yang pernah terjadi di Pos 3, Arip pun tiba-tiba terlihat bergairah, centil dan cengengesan, ketika di Pos 4 ternyata sudah menunggu seorang perempuan muda dengan tubuh yang terlihat sangat sexy. Saat itu ada Film Televisi berjudul "Baywacth", bintangnya adalah Pamela Anderson. Nah ..seksinya tubuh perempuan itu, mirip Pamela Anderson.

Tapi yang membuat Kurniawan bergidik saat melihat wajahnya. Seperti Nenek Lampir. Anehnya Arip tidak peduli, dan nampak tergila-gila.

"Cus...ini nampaknya takdirku malam ini cuma bisa berjalan sampai Pos 4. Saya jatuh cinta sama si Teteh yang bohay itu," kata Arip dengan wajah centil dan cengengesan.

"Ah..Dasar Cengos...," kata Kurniawan, nampak kesal, tapi bingung.

"Sudahlah..Lanjut saja. Kalau pun ini dianggap nasib buruk. Biar saja lah..Yang penting saya asyik dan asoy saja sama si Teteh Canti bagai bidadari ini. Saya dan Sastra berharap kamu berhasil mewujudkan rencana kita!," kata Arip, setengah berpidato. Dia nampak tidak acuh, dan terus aja mengaleng pinggang perempuan itu.

"Hey...iya..A Arif kasep mah jodoh aku. Jangan takut Aa Arif akan aman, dan saya akan berikan apa yang Aa Arip mau..," kata perempuan itu.

Dengan sisa semangat yang ada, Kurniawan mencoba membuang rasa ngeri dan heran yang luar biasa. Dengna tenaga yang ada, dia akhirnya terus berjalan sendiri menuju puncak. Meski jarak puncak dan pos 4 itu relatif dekat, namun karena tidak mau terulang seperti Sastra dan Arip, dia berjalan pelan, sangat hati-hati, dan waspada, sehingga cukup lama tiba, dibanding biasanya.

Karena keyakinan yang kuat, tidak mau tersugesti oleh omongan si kakek, dan langkah yang hati-hati meskipun harus lebih lambat serta dengna susah payah, akhirnya Kurniawan tiba di puncak dengna selamat. Selamat dalam arti tidak menginjak satu kodok pun yang ada di jalan.

Hujan lebat pun tiba-tiba berhenti dan langit kembali cerah saat Kurniawan melewati Sanghyang Tikoro, sebuah lahan bekas kawah yang menjadi tanda tiba di puncak Tampomas.

"Alhamdulillah....," ujar Kurniawan.

Dia tidak melihat satu pendaki pun di kawasan puncak. Suasana hening. Angin sepoi-sepoi membuatnya terasa segar. Dia kemudian berjalan menuju batu besar yang ada tepat di tengah-tengah kawasan puncak Tampomas.

Namun beberapa langkah menjelang tiba, Kurniawan heran karena di batu tersebut nampak seorang pendaki perempuan tengah duduk membelakanginya. Sesaat kemudian dia teringat apa yang terjadi dengan Sastra dan Arip. Maka dia pun berhenti melangkah dan mencoba berbalik arah.

Tapi saat hendak berbalik badan, si perempuan yang duduk di batu itu mendahuluinya berbalik badan, menghadap ke arahnya.

Dan.....Kurniawan terpana!. Perempuan yang mengenakan kemeja lapangan warna krem, dengan syal oranye melingkar di leher itu tersenyum, kepadanya. Rambutnya panjang melampaui bahu, dibiarkan tergerai.

"Cantik sekali....," ujar Kurniawan, membatin.

Tapi, dia tidak mau gegabah. Dia tetap curiga. Bagaimanapun, keanehan yang terjadi pada Sastra dan Arip telah menghantuinya. Makanya, dia tetap waspada.

"Sendirian A !," tanya perempuan itu, tanpa sedikit pun melepas senyum.

"Iya..saya sendirian ! Kamu siapa?," jawab Kurniawan, dengan nada datar, dan dingin.

"Ih..Aa meni curiga kitu. Sini..kenalan dulu atuh baik-baik. Bilang Assalamu'alaikum kituh...," kata perempuan itu, dengan mengedipkan mata penuh arti.

Anak-anak remaja gaul tahun 90-an pasti mengenal Jihan Fahira, Model Top Indonesia di era itu. Nah, kira-kira seperti itulah wajah perempuan di hadapan Kurniawan, di puncak gunung itu.Atau mungkin tidak jauhlah dengan Cindy Crawford, super model Hollywod yang terkenal di era 90-an.

Melihat langit yang cerah, suasana yang ramah, serta perempuan yang memang asli cantik itu, Kurniawan akhirnya luluh juga. Dia membuang jauh-jauh rasa curiganya. Dia mendekat, berkenalan dan kemudian nampak terlibat perbincangan yang hangat dengan perempuan cantik tersebut. Agar gampang, kita sebut saja si perempuan itu dengan Cindy.

Bahkan setelah beberapa lama, Kurniawan dan perempuan itu nampak saling menggenggam tangan dengan mesra.

"Kamu bener-bener cinta sama aku?," tanya Kurniawan. Dia masih merasa ragu dan tak percaya dengan suasana itu.

"Iya...," ujar Cindy

"Kamu mau menerimaku apa adanya?," tanyanya lagi.

"Iya sayang...aku menerimamu apa adanya," kata si Cindy

"Duh....," kata Kurniawan. Dia tersenyum, terus menunjuk malu-malu.

"Kenapa? Ada apa sayang? Kok jadi nunduk-nunduk gitu?," tanya Cindy penuh mesra.

"Nggak..aku sangat bahagia beduaan sama kamu di sini. Tapi aku sedih dengan nasib dua sahabatku," jawab Kurniawan.

"Hmm...siapa? dan kenapa mereka?" tanya Cindy. Wajahnya serius.

"Hmm..panjang ceritanya..," kata Kurniawna, sambil terus menceritakan lagi apa yang telah dia alami dan saksikan sendiri tentang Arip dan Sastra.

"Apa yang dikatakan Si Aki itu benar. Sastra dan Arip menginjak kodok, dan dia bertemu dengan perempuan yang buruk, tapi jatuh cinta dan ah...begitulah..," kata Kurniawan.

"Jadi cuma kamu yang selamat?," kata si Cindy.

"Iya..,dan merasa bernuntung bertemu kamu di sini, di puncak gunung ..di malam yang indah ini, " kata Kurniawan. Sambil terus menatap Cindy.

"Hmmm....," kata Cindy. Tiba-tiba wajah Cindy nampak sedih. Dia nampak galau.

"Kenapa sayang? Ada apa? Kok tiba-tiba kamu jadi galau?" tanya Kurniawan.

"Hmmm..enggak..euu...duh....," kata Cindy. Dia nampak makin galau.

"Kenapa sih? Apa ada yang salah?," tanya Kurniawan.

"Enggak...Tapi... memang..eeuu, pas tadi di Gerbang Pinus, aku pun bertemu Aki-aki Berbaju Putih...," kata Cindy.

"Oh ya? Lantas?," tanya Kurniawan, dia mulai nampak terkejut dan heran.

"Iya..sama.. Si Aki juga berpesan kalau akan terjadi hujan lebat dan banyak kodok di jalan..," kta Cindy.

"Hah...terus?," kta Kurniawna, makin penasaran.

"Dan tadi kira-kira beberapa langkah lagi menuju puncak, aku menginjak kodok ...," kata Cindy, dengan wajah memelas.

"Haaaaaah..Ammpuuuuun.........Jadiii....?!!!" kata Kurniawan. Wajahnya menganga, kaget bukan kepalang.

***

Demikianlah teman-teman. Saya yang tadinya merasa semakin berbunga-bunga dengan cerita Sastra itu, tiba-tiba berteriak. "Geloooooo.....sugan teh naon ..hahahahahhaha...,"

Saya dan Sastra pun tertawa habis-habisan. Ya...Sastra nampak bahagia berhasil mengerjaiku dengan cerita dan guyonan kodok sialan itu. Kami sepertinya jadi dua anak laki-laki yang berbahagia di Sabtu, Malam Minggu 13 Pebruari 1999 itu.

Sekitar jam 22.00 saya pamit pulang dari rumah Sastra dengan hati yang begitu bahagia dan sekali lagi, berbunga-bunga.

"Cus...kade nincak kodok...hahahaha...!" ujar Sastra, sesaat setelah saya keluar dari pintu rumahnya.

Setiba di rumah, di dalam kamar saya merenung. Mungkin benar apa yang dikatakan Sastra. Saya boleh jadi bukan orang yang berhasil dalam kisah-kisah cinta masa remaja. Tetapi selalu beruntung..hehehe..

Sas...Rif..ieu tulisan jang maneh ! No one could ever know me...No one could ever see me...Seems like you're the only one who know..... hehehe... ***




Kepemimpinan di Sumedang Sejak Periode Pra-Sejarah hingga Masa Kerajaan Sumedanglarang

NARASI asal mula Kerajaan Sumedanglarang lebih banyak berasal dari sumber-sumber tradisi lisan yang telah mengakar jauh dalam kehidupan warga masyarakat Sumedang.

Sumber tradisi lisan itu dapat dilihat dalam brosur resmi yang diterbitkan oleh Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang Tahun 1986. Di situ tercantum, bahwa cikal bakal Kerajaan Sumedang berasal dari sebuah entitas masyarakat yang mendiami sebuah kawasan bernama “Leuwihideung”. Pendirinya adalah Prabu Ajiputih Tembong Agung, yang disebut sebagai saudara Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Padjadjaran.

Gunung Tampomas jadi saksi peri kehidupan yang terjadi di Sumedang 
Sumber: dokumen pribadi
Selanjutnya dikisahkan dalam sumber tradisional, Prabu Ajiputih Tembong Agung memiliki seorang putra bernama Prabu Tajimalela. Setelah bersemedi di Gunung Lingga, Tajimalela berucap “In Sun Medal In Sun Madangan” atau “Insun Madangan”. Kartadibrata (1986) memaknai kalimat ini dalam bahasa bahasa sunda sebagai “kaula nu nyaangan”.

Setelah itu Tajimalela pun kemudian mendirikan kerajaan baru bernama “Sumedanglarang”, dengan ibukota kerajaan bernama “Tembong Agung” sesuai nama ayahnya. Lokasinya sekarang telah menjadi dasar Bendungan Jatigede.

Prabu Tajimalela kemudian berputera tiga orang yaitu;

1. Lembu Agung, menurunkan anak cucu yang menetap di daerah Darmaraja
2. Gajah Agung, yang kelak menjadi raja penerus Tajimalela.
3. Sunan Geusan Ulun, yang menurunkan anak cucu di Limbangan, Krawang, dan Brebes.

Ada sumber tradisi lisan lain yang mengisahkan saat Prabu Tajimalela hendak memilih siapa calon penggantinya kelak.Dikisahkan, dua dari tiga putra Prabu Tajimalela dipilih untuk menjadi calon raja, yaitu Lembu Agung dan Gajah Agung. Keduanya memiliki kemampuan dan “kesaktian” yang sama. Karena itu, kedua pangeran itu kemudian diminta ayahnya untuk bersemedi puncak Gunung Lingga, menjaga sebuah kelapa dan sebilah pedang.

Tajimalela menuturkan titah; “siapa yang lebih dulu membelah buah kelapa, memakan daging dan meminum airnya maka dinyatakan kalah dan tidak berhak menjadi raja”.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Gajah Agung yang menyerah pada lapar dan rasa haus. Sementara kakaknya yaitu Lembu Agung, meski sama-sama letih dan haus, tetap tekun bersemedi. Maka sesuai titah ayah mereka, Lembu Agung yang berhak menjadi raja selanjutnya.

Namun, seperti yang ditulis oleh Kartadibrata (1986), Lembu Agung lebih memilih menjadi resi dan menetap di Leuwihideung. Akhirnya tahta kerajaan pun diserahkan kepada Gajah Agung.

Setelah menjadi raja, Prabu Gajah Agung kemudian memindahkan pusat kerajaan ke kawasan Ciguling yang saat ini terletak di Desa Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan. Karena itu Prabu Gajah Agung juga dikenal sebagai Prabu Pagulingan.

Saat wafat, Prabu Gajah Agung dimakamkan di kawasan yang sekarang bernama Dusun Cianting Desa Sukamenak Kecamatan Darmaraja.

Prabu Gajah Agung memilki dua orang putra, yakni Ratu Istri Rajamantri yang diperistri oleh Raja Padjadjaran, serta Sunan Guling yang kemudian menjadi penerusnya.

Dari Sunan Guling, secara turun temurun tahta raja dilanjutkan oleh Sunan Tuakan, lalu Nyi Mas Ratu Istri Patuakan, yang kemudian dilanjutkan oleh putrinya yang bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata.

Sampai di sini, sumber tulisan tentang para nalendra/raja Sumedang yang lebih otentik mulai terbit, meski terdapat beberapa versi yang masih berselisih. Meski demikian, dalam sudut pandang ilmu sejarah keberadaan sosok Ratu Inten Dewata lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Sumber tulisan tentang keberadaan Kerajaan Sumedanglarang serta ratunya yaitu Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau dikenal juga dengan gelar Ratu Pucuk Umun, antara lain dapat dilihat dalam dalam kitab Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Pangeran Arya Cirebon, serta catatan Tom Pires, seorang pelaut Portugis, yang memuat informasi bahwa menjelang akhir abad 15 itu, Raden Patah dari Kerajaan Demak berhasil menguasai kota pelabuhan penting di Pantai Utara Jawa Barat itu, merebutnya dari Kerajaan Padjadjaran.

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan Tahun 1527 Pelabuhan Sunda Kalapa pun ditundukkan oleh Fadhilah Khan (Fatahillah) yang juga diberi tugas oleh Kerajaan Demak, dan mendapat bantuan sepenuhnya dari Kerajaan Banten. Maka, wilayah kekuasaaan Kerajaan Hindu Padjadjaran pun semakin terdesak, sampai akhirnya kerajaan itu pun runtuh.

Setelah menguasai Pelabuhan Sunda Kalapa, Sunan Carbon (Sunan Gunung Jati) menyerahkan urusan kerajaan kepada anaknya yaitu Pangeran Muhammad Arifin. Dia sendiri kemudian fokus berdakwah menyebarkan agama Islam, berkeliling ke wilayah-wilayah pedalaman.

Sementara itu, di tengah wilayah pedalaman Jawa Barat ada sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan Sumedanglarang yang masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Padjdjaran. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja perempuan bergelar Ratu Pucuk Umun.

Sunan Gunung Jati yang mengetahui hal itu, kemudian mengutus salah satu putranya yaitu Pangeran Palakaran untuk menyebarkan Islam di Sumedanglarang. Dalam melaksanakan tugasnya ini, Pangeran Palakaran memilih jalan damai. Tidak ada catatan tertulis babad, wawacan maupun folklore (cerita rakyat) yang memuat informasi adanya peperangan dalam proses Islamisasi di Sumedanglarang.

Pangeran Palakaran menikahkan salah seorang putra dari istirnya yang bernama Sindangkasih, bernama Pangeran Santri, dengan Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun. Dengan pernikahan itu, secara politik Kerajaan Sumedanglarang eksis menjadi kerajaan kecil yang merdeka, lepas dari kekuasaan Padjadjaran.. Bersama-sama istrinya, Ratu Pucuk Umun, Pangeran Santri memimpin Sumedang, dan menjadi “puhu” atau puncak silsilah raja-raja serta bupati di Sumedang.

Sampai kemudian ketika Kerajaan Padjadjaran benar-benar runtuh (Padjadjaran Burak), Sumedanglarang sedang dipimpin oleh Pangeran Geusan Ulun, putra Pangeran Santri dan Inten Dewata. Mahkota Binokasih sebagai simbol kekuasaan Padjadjaran diserahkan kepada Geusan Ulun, oleh empat kandagalante (punggawa) bekas Padjadjaran.

Dalam hal ini, tidak ada sumber sejarah yang menerangkan apakah para kandagalante itu mengetahui atau tidak bahwa pada saat itu, Raja Sumedanglarang sudah beragama Islam, dan terhubung dengan Kerajaan Islam Cirebon. Diasumsikan, para kandagalante itu tidak mempersoalkan agama yang dianut yang raja, tetapi memegang teguh amanat untuk menyerahkan mahkota Binokasih sekaligus mengabdi kepada Raja Sumedanglarang.

Dengan bekal otoritas pewaris Kerajaan Padjadjaran dan memiliki dukungan sosial politik dari Kerajaan Cirebon, Prabu Geusan Ulun berhasil membawa Sumedanglarang mencapai masa keemasannya. Kesuburan, kesejahteraan, keindahan alam, serta keagungan sang pemimpin saat itu terdokumentasi dalam “Badan Wawacan Sumedang”

Selanjutnya, dalam “Babad Wawacan Sumedang” itu pun dikisahkan hubungan sosial politik dengan Kerajaan Cirebon memburuk setelah peristiwa “cinta segitiga” yang melibatkan Prabu Geusan Ulun, Ratu Harisbaya, serta Panembahan Ratu, sang penguasa Cirebon.

Ada dua versi yang bertentangan tentang kisah ini. Versi pertama menyebutkan, bahwa Ratu Harisbaya yang pertama kali jatuh cinta terhadap ketampanan Prabu Geusan Ulun dan memilih untuk pergi bersama rombongan Geusan Ulun ke Sumedang.

Ada versi kedua dari sumber tradisi lisan menyebutkan Prabu Geusan Ulun yang menggoda Ratu Harisbaya dan menugaskan empat kandaga lante untuk membawa Ratu Harisbaya.

Terlepas dari versi mana yang benar, dua fakta penting sejarah yang disepakati oleh sejarawan adalah pertama hilangnya daerah Sindangkasih dan Majalengka dari kekuasaan Sumedanglarang, sebagai tebusan perceraian Panembahan Ratu dan Harisbaya. Fakta kedua adalah pada saat “berpindah” ke Sumedang, Ratu Harisbaya dalam keadaan hamil mengandung anak dari Panembahan Ratu.

Insiden ini berakhir dengan jalan damai setelah Prabu Geusan Ulun menyerahkan wilayah Sindangkasih dan Majalengka. Namun di sisi lain kebijakan ini menimbulkan kekecewaan dari tokoh kandaga lante, pengawal setianya, yaitu Jayaperkosa.

Dikisahkan, ketika pasukan Cirebon melakukan pengejaran, Jayaperkosa bersama tiga koleganya bersiap menghadapi di perbatasan. Sebelum pergi, Jayaperkosa menanamkan pohon Hanjuang sebagai tanda dan berpesan; apabila pohon hanjuang tersebut layu, maka dia dan pasukannya mengalami kekalahan dan meminta raja segera menyingkir dari ibukota. Namun apabila pohon tersebut tetap segar, berarti dia dan pasukannya memperoleh kemenangan. Diceritakan bahwa Jayaperkosa pulang dengan kemenangan. Namun ternyata sebelum dia sampai di ibukota, Prabu Geusan Ulun telah membuat kebijakan damai tanpa sepengetahuannya. Hal ini yang membuatnya kecewa dan kemudian memilih pergi, menetap di kawasan Dayeuhluhur, sampai dengan kematiannya.

Referensi;

Atja, 1968, “Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda”, Jajasan Kebudajaan Nusalarang, Bandung

Abdullah Kartadibrata, 1986, "Booklet Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang", Yayasan Pangeran Sumedang  

Edah Jubaedah, "Titilar Karuhun",Penerbit Paragraf, Bandung, 2005

Nina Herlina Lubis, dkk,, 2008, “Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa”, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumedang

Sunday, June 11, 2023

Taman Balaikota Bandung 1994, Keakraban dan Persahabatan Jauh Lebih Berarti dari Piala LBB itu

SIANG itu, bulan Juli 1994, usai pulang sekolah, Kang Ridwan Mustofa, dan beberapa senior kelas 3, mengumpulkan kami, angkatan "Taruna Bangsa 93" Paskibra Smansa Sumedang, di Aula sekolah. Saat itu, disampaikanlah bahwa kami harus mengikuti lomba baris berbaris (LBB) yang digelar oleh Paskibra Kota Bandung. 

Satu peleton disiapkan untuk itu. Dan aku sendiri, hanya menjadi personel cadangan. Aku senang saja sebagai cadangan. Setidaknya aku bisa turut bersama teman-teman, menemani perjuangan mereka. 

Paskibra Smansa "Taruna Bangsa" saat ikut LBB
di Taman Balaikota Bandung, 5 Agustus 1994. 

Demi menghemat tenaga dan konsentrasi, maka kami memutuskan untuk menginap satu hari di Bandung. Untuk itu, Asep Indra Gumilar (Ige), sahabat baikku sejak SMP, kembali berperan besar. Dia mempersilahkan rumah orangtuanya di Komplek Arcamanik Kota Bandung, untuk dijadikan tempat menginap seluruh tim. Maka kami pun berangkat Sabtu sore 4 Agustus 1994 menuju rumah Ige, di Bandung.

Sekedar catatan saja, pasukan yang ikut ke Bandung saat itu adalah; Windhu Tresna, Roni Tonius, Rika Romayanti, Yunyun Yuniar, Nia Dwi, Tita Roosdiana (botit), Dianty Soberlin (Berlin), Taufik Priatna, Gumelar, Dendi, Alya Fadhila, Ige, Erna, Aten Satiana, dan Meti.

Mereka adalah anggota inti. Sementara Mahmud Fasya, Rudi Pebriana, Nova Rukhaida, Heni Rohani, Deci Kuswardhani, dan saya sendiri sebagai anggota cadangan sekaligus penggembira.

Kami sudah menginjak di kelas 2 saat itu. Hanya Kang Yayan Yunari, senior kelas 3 ditunjuk sebagai danton. Entah alasannya apa. Mungkin karena dari seluruh anggota pasukan Taruna Bangsa, suaranya cempreng semua. Kurang nge-bass. Hehehe..
  
Selain Kang Yayan, senior kelas 3 yang membimbing kami antara lain Kang Ridwan Mustofa, Kang Ade, Kang Cecep Ridwan serta Teh Wiwin.

Guru Pembina eskul Paskibra yang turut hadir dan menginap di rumah Ige itu adalah Pak Timbul Kusdiantoro, dan Pak Ujang Sudrajat (Allahuyarham). Adapun Bu Tuti Supriati (sebagai salah seorang pembina OSIS) bergabung di lokasi kegiatan. Bahkan aku ingat, saat sudah di lokasi lomba, datang pula Kang Kurniawan Hidayat, senior yang sudah menjadi alumni, datang menyemangati kami. Dia anggota Purna Paskibraka Indonesia 1992.

Satu yang cukup berkesan saat itu adalah bergabungnya seorang siswi pindahan asal Jakarta. Namanya Nia Dwi Jualianti. Pengalaman Nia saat menjadi anggota Paskibra di sekolah lamanya di Jakarta, membuat dia cepat bahkan langsung bisa beradaptasi dengan kami sebagai satu pasukan. Bahkan, Nia DJ terpilih dalam seleksi calon anggota Paskibraka DKI Jakarta dan siap mengibarkan bendera tanggal 17 Agustus 1994. Tapi kepindahannya ke Sumedang, membuat hal itu tak terjadi. 

Nia yang cantik, tubuhnya semampai ideal, pandai bergaul, khas anak kota, namun tidak sombong, tentu membuat kami senang. Beberapa di antara kami bahkan para senior kelas 3, nampak berupaya tebar pesona di depan dia. Hahahaha... tapi yang kutahu semua gagal. Nia hanya senyum-senyum, manis dan ramah menanggapi mereka semua.

Oiya, saat itu pun mulai bergabung Rudi Pebriana, sahabat sepermainan sejak SMP. Dia pindahan dari SMA Tanjungsari, dan turut bergabung di Paskibra.

Selepas maghrib, kami tiba di Arcamanik. Pak Dodi Kusumaningrat (allahuryarham) ayah Ige, dan Mamah (saya memanggil ibunya Ige), serta si Ade bayi (adik bungsu Ige) yang saat itu sudah bisa berjalan, menyambut kami.

Karena mungkin hanya Aku dan Rudi yang dikenal baik oleh orang tua Ige, maka merekalah yang memintaku dan Rudi untuk turut mempersiapkan segala sesuatunya di rumah itu. Aku pun tentu saja tak sungkan. Tak merasa menjadi tamu.

Waktu senggang selepas Isya dan sudah pada mandi, senang rasanya kami berkumpul bersama, ngobrol, becanda, bernyanyi bersama, dalam suasana yang berbeda dari hari-hari biasa.

Kami saat itu tanpa Arif, Rizti, dan Dwi Kiki. Arif masuk barak calon anggota Paskibraka Jawa Barat. Sementara Rizti dan Dwi Kiki masuk barak capaska Sumedang. Hanya tiga teman itulah yang terpilih dalam seleksi.

Di antara teman-teman Paskibra, aku terbilang yang paling lancar bermain gitar. Beberapa lagu yang sedang Hits saat itu pun dinyanyikanku bersama beberapa orang teman.

Tentu saja petikan gitarku, jangan dibandingkan dengan Kang Cecep Ganda, atau anak-anak band. Yang penting asal Chord-nya masuk, dan genjrengnya tepat saja. Tapi karena ada Nia DJ, si anggota baru itu, aku berusaha memetik gitar sehebat mungkin, sebagus mungkin, sebisaku. Dan akhirnya berhasil juga membuat dia menyapaku dengan senyum. Hahahah...

“Eh nyanyiin lagu Fixing a Broken Heart, dong” kata Nia DJ nyeletuk.

"Oh..euu..iya...eh yang mana ya?" tanyaku. Wajahku mulai terasa blo'on.

Seperti pernah dibilang oleh Nova Rukhaida (anak Fisika 1), aku merasa PLUTO...Polos, Lugu, dan Tolol.

"Ah masa sih gak tau, itu tuh lagunya Indecent Obsession, bisa kan?," kata Nia, dengan wajah yang tetap ramah, dan tersenyum padaku.

Sejujurnya aku tak tahu. Maklum, tak seperti kebanyakan teman-teman yang selalu up to date dengan trend remaja saat itu, sejak SMP aku memang lebih suka lagu dari artis Indonesia, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Chrisye, dan lagu-lagu jadul dari Koes Plus, Panbers, Madesya Grup. Dan..hmm...sedikit ku suka dangdutnya Bang Haji Oma Irama. Kalau lagu sunda, ya Kang Doel Sumbang, dan Darso.

Maka, saat Nia DJ request lagu itu, meskipun memang sedang hits, aku celingak-celinguk tak karuan.

"Hmm..gini nih...," kata Nia, sambil mendekat, duduk di sampingku, di teras rumah Ige, sambil terus bersenandung, mengajariku nada dan liriknya.

Akhirnya aku coba-coba saja. Dengan sedikit memejamkan mata, bergaya seperti seorang musisi hebat menyusun chord lagu, saya berusaha kuat supaya Nia DJ tak kecewa. Hasilnya lumayan. Setidaknya tak membuat Nia serta temen-temen yang denger mengerutkan kening karena sumbang.

"Lagu lain, bisa gak, Lagunya Whitney Houston ?" kata Nia. Suaranya begitu terdengar syahdu.

"Iya Cus, lagunya Saigon Kick bisa gak?" kata Deci Kuswardhani, ikutan nibrung.

Tentu kedua request ttu kujawab dengan geleng-geleng kepala. Ampuuun dah...lagu barat, aku tak bisa. Hahaha..  

Begitulah yang kuingat. Selanjutnya, aku, Dendi, Nia, Deci, Yuyun, Henti, dan Alya, asyik bercengkrama dan nyanyi-nyanyi bersama mengisi waktu malam itu.

Di rumah Ige itu, semua terlihat enjoy. Senioritas dan suasana formal yang biasa terjadi dalam barisan Paskibra sepertinya tidak berlaku. Pak Timbul, Kang Ridwan Mustafa dan lain-lain, malah ikut bercanda, bercengkrama.

Dari ruang tengah, kudengar Taufiq Priatna tawa terbahak-bahak, nampak senang ketika kartu dominonya berhasil poldan. Ada pula Mahmud yang nampak serius ngobrol sama Aten dan Gumelar. Lalu Ige, kawan karibku itu nampak ngobrol becanda dengan Berlin, Botit, Meti, dan lain-lain.

Setelah asyik nyanyi bersama, Nia Dj, dan Alya, memilih masuk bergabung ke ruang tengah. Tinggal saya dan Yunyun di teras rumah.

Saat itulah aku mulai berterus terang kepada Yunyun tentang si Bidadari yang nyuci kaki depan kelas. (Kisah si Bidadari itu jadi inspirasi novel pertama yang saya tulis). Aku merasa perlu curhat kepada dia, karena Yunyun adalah teman sebangku si bidadari saat di kelas. Tentu ada kedekatan yang lebih dibanding yang lain.

“Adeuuh…nyaan yeuh? Ke ku Yunyun disaurkeun,” kata dia sambil senyum.

“Eh..tapi kumaha ceritana bisa naksir?” lanjut Yuyun, bertanya.

“Panjanglah cerita na mah. Tapi..euu dia ayeuna tos gaduh kabogoh teu acan nya Yun?” kataku balik bertanya.

“Duka tah perkawis eta mah. Tapi perasaan Yun mah, jigana belum tah. Sok atuh deketin, didukunglah,” kata Yunyun sambil senyum-senyum gitu.

“Mungkin teu nya?,” tanyaku, seperti bicara pada diri sendiri.

“Mungkin Naon?,” jawab Yunyun

“Ah henteu…hahah…salam we heula nya..,” kataku.

“Ah teu puguh,” kata Yunyun.

Aku tertawa. Sesaat kemudian, datanglah teman-teman yang lain bergabung, dan kami pun melanjutkan dengan obrolan yang lain.

Baru sekitar puku 23.00, Kang Ridwan Mustafa meminta kami semua untuk segera tidur, karena keesokan harinya kami akan mengikuti lomba yang bertempat di Balai Kota Bandung.

Aku sendiri bukan pasukan inti. Karenanya, senior memaklumiku bila tak taat instruksi untuk segera tidur. Apalagi, di rumah itu, orang tua Ige mengandalkanku untuk membantu melayani teman-teman.

Ketika teman-teman tidur atau setidaknya berusaha untuk tidur, saya tetap saja duduk di teras rumah. Seperti kebiasaanku, merenung sendiri. Namun tentu tak berani merokok. Hehehe...

Aku memeluk kedua lututku. Suasana sekitar mulai hening. Obrolan dengan Yunyun sesaat sebelumnya, membuatku senyum-senyum sendiri. Ada sesuatu di rongga dadaku yang ingin kuungkapkan. Tapi kepada siapa?

Aku menoleh ke ruang tamu, tempat di mana teman-temanku tidur seperti di barak saat pelantikan dulu. Terbayang beberapa kisah selama kami semua senasib dan seperjuangan saat kelas 1. Aku bangga pada teman-temanku. Aku senang telah kenal, dan bersama mereka di Paskibra.

“Can tunduh Sas?” kataku pada Sastra yang nampak belum ngantuk, dan sedang menonton siaran televisi, bersama beberapa kawan dan senior.

“Acan euy. Maneh keur naon? Geura sare, ” ujarnya sambil senyum. Aku menjawabnya dengan tersenyum. Saat itu dia belum sangat akrab denganku.

Aku terus saja melamun di luar. Jujur, ingin sekali aku merokok saat itu. Tapi tak mungkin tega, aku merokok di depan teman-temanku. Bukannya takut. Tapi aku menghargai korps, guru-guru kami, dan tentu saja kedua orang tua Ige.

Saat itulah Deci menghampiriku. Dia sama denganku, bukan anggota pasukan inti yang akan berlomba.

“Dieu Ci,” kataku mempersilahkannya duduk di sampingku. Kami kemudian ngobrol.

“Hayoh keur ngalamun tentang saha?," tanya Deci sambil nyengir.

Deci memang salah satu sahabat perempuan yang akrab denganku. Dia teman curhat dan ngobrol yang asyik dan hangat. Aku bisa bicara apa saja pada dia tentang apapun, termasuk urusan cinta. Hahaha.. Selain Arif dan Sastra, dia selalu ada menampung gelisahku untuk urusan itu.

Maka tak heran bila malam itu, aku terus terang tentang si Bidadari kepadanya. Aku belajar memahami seperti apa dan bagaimana cara pendekatan yang baik untuk mendapat perhatian seorang perempuan yang kutaksir. Ah..aku memang Pluto untuk urusan ini. Istilah saat itu, "kurang kawani". Jauh bila dibanding Arif dan Sastra. hahaha..

Beberapa saat kemudian Deci pamit masuk ke dalam rumah, dan aku tetap di teras. Obrolan dengan Deci tentang dia. tertancap di benak, dan pelan-pelan merasuki hati, menghidupkan kembali sesuatu yang kusimpan di dalamnya, sejak pertemuan di Gunung Palasari.

“*..! Mungkinkah?!,” gumamku, sambil menghela nafas, mengakhiri lamunan.

Aku langsung masuk rumah, dan bergabung dengan Sastra, nonton tv hingga tertidur.

**

Esok harinya, 5 Agustus 1994. setelah bersiap, pamit dan berterima kasih kepada kedua orang tua Ige, kami semua meluncur ke tempat lomba. Kami bertemu dengan sesama anggota Paskibra dari sekolah lain se-Jawa Barat. Lomba pun berlangsung, dan kami tak masuk kategori juara.

Bagaimana bisa juara. Dari seluruh pasukan se Jawa Barat, hanya Paskibra Smansa Sumedang yang memakai seragam putih-abu. Sangat sederhana sekali. Para peserta lain menggnakan baju seragam lapangan khas mereka, lengkap dengna atribut kebesaran satuan mereka.

Bukan juara yang kami kejar. Tapi pengalaman, keakraban, kebersamaan, dan suasana yang hangat saat kami datang ke Bandung itulah yang bagiku jauh lebih berarti daripada piala lomba atau gelar juara.

Dan bagiku sendiri, momen itu menjadi momen di mana untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Taman Balaikota Bandung. Aku tak pernah menyangka, jika taman dengan pepohonan yang teduh serta patung Badak Putih di tengahnya itu, menjadi tempat yang akrab denganku beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah di Bandung, dengan kisah yang lain, yang berbeda, tapi tak kalah indah. (*)



Saturday, June 10, 2023

PELANTIKAN ASDS: Ditampar, Dibentak, dan Senior Tidak Pernah Salah



Sore itu, Sabtu 18 September 1993, sekitar pukul 15.30 saya dan teman-teman calon anggota Ambalan Soeria Atmadja Dewi Sartika (ASDS) tiba di Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua. Kami semua akan mengakhiri "masa tamu" dan dilantik menjadi anggota. Seingat saya, pelantikan angkatan kami adalah yang terakhir dilakukan di Kawasan Mata Air Ciembutan. Setelah kami, tak pernah ada lagi pelantikan ASDS di situ, hingga kini.

***

Pelantikan ASDS 1993 di Mata Air Ciembutan
Kak Budi Raharja (paling ddepan mengangkat tangan)
Kak Cuanda Almarhum (kaos biru dongker, di kanan)

Sebuah truk dolak mengangkut kami berangkat dari sekolah, seperti sepasukan relawan tempur yang siap di medan perang. Atau mungkin sama seperti rombongan sapi-sapi kurban idul adha...haha.

Di dalam truk kami berjejalan. Yang saya ingat ada 76 orang calon anggota ASDS angkatan kami yang hendak di lantik. Kami diangkut bersama sejumlah barang-barang seperti tenda, tongkat pramuka, dan peralatan kemah lainnya. Tapi kami semua bergembira.

Dari pemberhtentian truk , kami terus berjalan menuju lapang desa. Di sana kami kemudian berbaris, lalu kakak-kakak senior yang mulai memasang wajah garang, membagi kami dalam beberapa kelompok. Lalu setelah sedikit diberi "olahraga" kecil, kami kemudian dibubarkan dengan satu perintah, membuat tenda regu.

Tentu saja, tenda "Soeria" (sebutan untuk anggota laki-laki) terpisah dengan tenda "Radesa" (sebutan untuk anggota perempuan). Tapi jika disuruh berkumpul di lapangan, kami berbaris berdasarkan regu yang terdiri dari "Soeria-Radesa".

Di tengah kesibukan membuat tenda, beberapa senior Soeria nampak mengawasi kami. Mata mereka tajam. Tidak ada wajah ramah. Sesekali mereka membentak. Ada yang mengejek, ada pula yang meledek. Cuma beberapa yang kuketahui sebagai Dewan Ambalan saat itu yang nampak tenang dan masih sedikit berwajah ramah, seperti Kak Kosasih, Teh Gilang, Teh Santi, Kak Cuanda (almarhum), Kak Ujang, dan beberapa lainnya. Kalau Kak Budi Raharja, Hmmmm..ya dia mah memang gitu. Galak tapi cempreng..hahaha.

Sekitar pukul 19.30 selepas isya, Upacara Pembukaan acara dilakukan di tengah-tengah api unggun yang berkobar. Pak Wahyu Budiman, sebagai Pembina ASDS menjadi inspektur upacara. Suasana mulai terasa khidmat. Jujur saya merinding melihat kobaran api unggun itu. Entahlah.

Suasana agak mencair saat kami semua wajib menampilkan atraksi menyanyi, menari, atau apapun untuk mengisi acara hiburan api unggun. Beberapa teman nampak menikmati, sementara saya sendiri merasa "garing". Saya lebih sibuk dengan pertanyaan di dalam benak saya, apa selanjutnya setelah keakraban ini? Apa rencana kakak-kakak terhadap kami? Seperti apa pelantikan semalam suntuk ini harus kami lalui? Begitulah kira-kira.

Acara api unggun selesai sekitar pukul 21.30, dan kami semua diperintah untuk memasuki tenda regu masing-masing dan tidur.

Kami semua sudah tahu, bahwa tidak mungkin kami tidur. Kami harus bersiap bahwa kami akan dibangunkan lagi. Itu karena Api Unggun itu baru pembukaan. Acara inti pelantikan belum dimulai sama sekali. Maka meski mulai terasa ada kantuk, saya tetap berjaga. Tapi ada juga teman yang tertidur.

Benar saja. Baru sekitar setengah jam kami masuk tenda, suara bentakan, teriakan, caci maki, sumpah serapah, seperti berondongan senjata otomatis AK-47. Saya yang sejak tadi tidak membuka sepatu dan tetap bersiaga dengan segala atribut dan peralatan yang wajib kami pakai selama pelantikan, segera membangunkan teman-teman dan segera membentuk barisan. Maklum, saya Ketua Regu saat itu.

Mata saya sempat melirik ke arah tenda di kanan saya. Saya melihat seorang senior menarik kerah baju salah seorang teman dari regu lain, dan menyeretnya keluar tenda. Namun sebuah dorongan pun membuat saya hampir jatuh ke tanah, dan segera berlari berasama regu saya ke titik kumpul.

Dalam suasana gelap, dibangunkan mendadak lenkap dengan segala macam bentakan, kami dikumpulkan di tengah lapang.

Dengan wajah garang dan bentakan yang nyaris tak pernah berhenti, para senior itu memeriksa kami. Tak pelak kami mendapat tamparan hingga push up. Entah sudah berapa kali. Tak terhitung. Setiap seorang melakukan kesalahan atau tidak lengkap memakai atribut, satu regu harus kena getanya. Dan itu konon dilakukan atas nama KORSA. Ah..saat itu saya tak faham, apa itu Korsa.

Setelah puas membentak dan menghukum kami, para senior itu kemudian berkumpul di tempat tersendiri, dan membiarkan Kak Budi Raharja yang berbicara di depan kami. Saya lupa apa yang disampaikannya.

Saat itu, di tengah keremangan lampu petromak yang dipasang di depan tenda panitia saya melihat banyak orang-orang yang tidak kukenal. Mereka tidak berpakaian atau menggunakan atribut pramuka., Bahkan beberapa di antaranya asyik merokok. Ada yang sudah berkumis. Ada yang berambut gondrong, dan sebagainya. Tak cuma pria. Saat mereka bercengkrama, kudengar suara khas perempuan.

Sampai detik itu saya tidak tahu siapa mereka. Tapi kulihat senior-senior kelas 2 dan kelas 3 begitu hormat kepada mereka. Barulah saat memasuki setiap pos dalam acara Jurit Malam di pelantikan itu kutahu mereka adalah Anggota Kehormatan ASDS atau alumni SMAN 1 Sumedang yang semasa sekolah menjadi anggota ASDS.

Acara Jurit Malam menurutku, tegang tapi mengasyikan juga. Ada senior yang menakut-nakuti kami dengan barang-barang seperti labu hallowen, atau suara-suara aneh menyerupai sesuatu, tapi di telingaku malah terdengar lucu.

Saat melintasi pematang-pematang sawah, tidak cuma ular yang melintas (seperti yang pernah kuceritakan), tapi juga boneka-boneka sawah atau kami menyebutnya "bebegig sawah" nampak bergerak-gerak, sengaja digerakan menakut-nakuti kami. Saat berjumpa dengan senior pun, mereka seperti menyugesti kami dengan kalimat; "Tetap hati-hati, jangan melamun, baca ayat quran, dan sebagainya"

Bagi saya biasa saja. Barangkali, satu-satunya yang membuat saya kaget justru si Ular Sialan itu. Tapi memang kudengar pula bahwa ada teman kami yang kesurupan di salah satu pos. Saya lupa siapa. Tapi memang saat itu cukup heboh.

Selanjutnya, setelah melewati pos terakhir, regu yang saya pimpin tiba kembali di lapangan. Perasaan lelah mulai menerpa. Tapi kami harus bertahan, karena kami kini berhadapan dengan para Anggota Kehormatan.

Tak ayal, bentakan dan tamparan kami dapatkan. Kami lebih banyak diam. Kalau pun menjawab atau berargumen selau saja salah. Karena merasa serba salah, saya memilih tidak banyak menjawab. Dan karena itu, saya memilih menerima tamparan, makian, atau push up. Yah...memang dalam hal seperti itu, "Senior Tidak Pernah Salah".

"Kamu mau melawan saya ya? Catat ya! Nama saya Iin Ruslan!" begitu bentak seorang anggota kehormatan. Wajahnya tepat sekitar dua jengkal dari muka saya.

Saya diam saja. Saya pastikan, menjawab pun pasti salah.

Beberapa saat kemudian, seorang anggota kehormatna lain datang mendekat. Seperti hendak melerai Kang Iin Ruslan itu.

"Sudah... ! Sekarang juga kamu cari yang namanya Taufik Gunawansyah. Suruh dia ke sini!" kata orang itu. Suaranya tenang meski terdengar membentak.

"Siap ! Saya tidak tahu siapa dan yang mana Taufiq Gunawansyah, Kak!" jawabku.

Yang menjawab malah Kang Iin Ruslan.

"Ya kalau kamu tidak tahu, cari tahu dong, gimana caranya. Tanya tuh senior kamu yang lain," ujar Kang Iin, dan,

"Plak..plak..", sepasang tamparan gulungan koran yang dia pegang, mendarat di kedua belah pipi saya.

"Siap Kak !" jawab saya, lalu balik kanan.

Karena bingung harus bertanya ke siapa, maka saya saat itu juga langsung teriak-teriak.

"Yang namanya Taufiq Gunawansyah segera menghadap Kang Iin Ruslan..!" teriak saya, berkali-kali.

Saat berteriak seperti itu, saya mendengar Kang Iin dan para anggota kehormatan itu ramai tertawa terbahak-bahak. Saya tidak tahu apa yang mereka tertawakan.

"Hey kamu! Ke sini!" ujar seorang anggota kehormatan yang tadi menyuruh saya mencari

Saya berhenti teriak, lalu menghadap kepadanya.

"Kamu tahu tidak Taufiq Gunawansyah yang mana, hah?! Siapa yang menyuruh Taufiq Gunawansyah menghadap Kak Iin Ruslan, hah!? Saya tidak menyuruh begitu!" ujarnya, membentak saya. Tapi tidak seperti senior lain, dia tidak menampar atau menyuruh saya push up.

"Kenapa kamu tambah-tambah seperti itu?" tanya dia.

"Biar cepat Kak !" jawab saya.

"Biar cepat? Bagaimana, hah?" tanya dia. Sementara senior yang lain mulai kembali terbahak-bahak.

"Saya tidak tahu Taufik GUnawansyah. Dia juga tidak tahu kepada saya. Tapi saya yakin dia teman Kak Iin. Maka supaya cepat, saya bilang disuruh menghadap Kak Iin," jawab saya. Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan.

"Eeh...apa kamu? Mau jual-jual nama saya, goblok kamu, berani sama saya ya?!" bentak Kak Iin Ruslan. Dan lagi-lagi pipi saya mendapat tamparan gulungan koran.

Saya diam dan mulai merasa lelah. Saya membayangkan betapa enaknya tidur dalam tenda. Sementara para senior anggota kehormatan itu terus saja membentak, menampar, menyuruh push up, menyuruh kami semua mengerjakan hal-hal aneh yang barangkali gak mungkin kami lakukan.

Setelah puas mengerjai saya dan teman-teman regu saya, Kak Iin Ruslan suaranya mulai datar. Tak lagi membentak.

"Coba kamu menghadap ke yang nyuruh kamu tadi, kenalan sama dia. Bilang kata Kak Iin disuruh kenalan gitu!," perintahnya.

Setelah menjawab "Siap!" saya melangkah menghadap seorang senior anggota kehormatan yang tadi menyuruh saya mencari Taufik Gunawansyah. Dia nampak merokok. Tangannya sedang memegang cangkir minum. Mungkin berisi seduhan kopi. Saat itu dia sedang ngobrol dengan seorang senior perempuan, berkerudung. Entah siapa.

"Siap Kak, nama saya Kurniawan. Maaf, saya mau kenalan sama kakak. Disuruh sama Kak Iin," ujar dia.

"Hehehe.... kamu yang tadi saya suruh nyari Taufiq Gunawansyah ya?," tanya dia.

"Siap kak!," jawab saya.

"Saya Taufik Gunawansyah! Sudah sana kembali ke Si Iin. Bilang sudah kenalan," jawabnya santai, lalu kembali ngobrol berdua dengan teteh anggota kehormatan di depannya.

Setelah balik kanan, sambil melangkah kembali ke Kak Iin, hati saya berkata;

"Sialan !!!"

Hahahahhahahaha,.....

Bertahun-tahun setelah pelantikan itu, saya kemudian mengenal Kak Taufiq GUnawansyah itu sebagai sosok yang lain. Saya tidak perlu menjelaskan siapa dan bagaimana dia di Sumedang ini. Bagi saya, Taufiq Gunawansyah ya Taufiq Gunawansyah saja, senior ASDS yang saya hormati, dan mengerjai saya dalam pelantikan yang berkesan dalam. Itu saja.

Esok harinya, sekitar pukul 06.30 Kak Budi Raharja kemudian membawa kami menyusuri jalan setapak menuju Mata Air Ciembutan. Anak-anak Soeria disuruh berendam di sekitar mata air, sebelum kami membacakan Sandi Ambalan Soeria Atmadja. 

Lega rasanya. Karena dengan menyebut Sandi Ambalan itu, secara de facto, kami telah diterima  sebagai anggota. Sisanya tinggal hura-hura pelantikan dengan tingkah senior yang mempermainkan kami saja, tapi penuh dengan kehangatan dan keakraban. 

Demikianlah.
  















Sunday, June 4, 2023

KISAH LUGU PUTIH ABU: Pengalaman Pertama Ikut Survei LLA Pramuka ASDS, Bertemu Teman Cantik

LOMBA Lintas Alam (LLA) adalah kegiatan populer saat itu yang dilaksanakan oleh Ambalan Pramuka Soeriaatmadja-Dewi Sartika (ASDS) Gugus Depan SMAN 1 Sumedang.

Pada tahun 1993, ASDS kembali menggelar acara itu. Kalau tidak salah ingat, digelar awal bulan September. Aku lupa ini LLA edisi yang ke berapa.

Layaknya anggota baru, aku dan anak-anak kelas 1 lainnya dilibatkan dijajaran paling depan kepanitiaan. Aku bertugas di Seksi Lapangan, yang bertanggungjawab atas rute, serta medan lomba lintas alam.

Seksi itu diketuai oleh Kak Budi Raharja, kakak kelas 3 Biologi. Orangnya tenang, tapi kalau sudah teriak-teriak, suaranya khas, cempreng. Kak Budi ini selalu meyakinkan bahwa yang bergabung di seksi lapangan haruslah orang-orang yang tangguh dan siap menempuh perjalanan jauh, melintasi jalan setapak, menerabas semak-semak, mendaki atau menyusuri sungai. Hujan atau panas.

“Kalian seksi lapangan, itu bukan anak-anak cengeng dan loyo. Kalau kalian merasa loyo dan tidak mampu, gabung aja sama seksi yang lain,” kata Kang Budi saat brifing.

Dia coba tampil berwibawa. Dan berhasil. Namun itu suaranya, tetap saja cempreng.

***

Start Keberangkatan Peserta LLA ASDS di Tahun 1990-an
Foto Koleksi Pribadi "Sang Kelana"

Minggu pagi, bulan Agustus 1993, untuk pertamakalinya digelar Survei gabungan panitia lomba lintas alam di bawah koordinasi Seksi Lapangan Panitia LLA. Karena ini gabungan, maka yang ikut Survei bukan saja anak-anak pramuka, tetapi juga anak eskul lain, seperti Paskibra, Pecinta Alam (Repala Adinira), dan Palang Merah Remaja (PMR).

Cerah sekali pagi itu. Pukul 8 matahari sudah mulai terasa menyengat. Warna langit biru cerah, nyaris tak ada awan, kecuali tipis-tipis saja.

Setelah brifing, pukul 9 kami semua mulai berangkat Survei. Berangkat per kelompok eskul. Aku berangkat paling akhir. Kak Budi menugaskanku masuk ke kelompok terakhir sebagai tim penyapu rombongan.

Kawasan alam yang pertama kami masuki adalah Gunung Palasari. Jaraknya memang paling dekat dari sekolah. Tinggi gunung itu cuma ratusan meter saja di atas permukaan laut. Tidak terlalu terjal, bahkan kendaraan pun bisa sampai di puncaknya. Namun saat itu memang cukup merepotkan dilalui, terutama bagi mereka yang kurang suka kegiatan alam.

Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan setapak yang mulai menanjak. Kiri dan kanan adalah belukar, rumpun bambu, dan pohon-pohon pinus. Yang terasa sial saat itu adalah sepatu boot ku agak kekecilan. Sehingga baru saja mulai menanjak, tumit rasanya mulai panas bergesekan dengan bagian dalam sepatuku.

Tepat menjelang puncak, aku melihat seorang kawan perempuan duduk beristrirahat di tepi jalan. Aku tak tahu dia anak eskul mana. Anak pramuka tentu kukenal. Anas Paskibra juga pasti kukenal. Jadi kemungkinannya, dia itu anak Repala atau anak PMR. Ah...mana kutahu saat itu.

Sekitar beberapa langkah aku akan melewatinya, mataku meliriknya. Dia tak acuh. Mungkin memang kecapaian. Wajahnya nampak memerah kepanasan. Nafasnya naik turun. Keringat nampak membasahi raut wajah yang kelelahan.

Aku pun tak acuh. Cuma tentu saja aku merasa perlu untuk berbasa-basi ketika hendak melewatinya.

“Hayu,” kataku. Mataku melihat ke arah jalan setapak.

“Mangga ti payun,” jawabnya. Saat itu aku tak tau seperti apa ekspresi wajahnya saat menjawab sapaanku. Tapi mungkin dia memang sedang lelah.

Aku pun terus berlalu hingga mencapai puncak Palasari. Di situ aku duduk bersandar pada sebuah pohon pinus. Aku pun bertemu dengan teman-teman lain yang juga sedang beristirahat. Sementara dari kejauhan kulihat rombongan yang pertama berangkat sudah mulai menuruni puncak, meneruskan perjalanan menyusuri rute yang akan dilombakan.

“Kumaha Kur? Capek?” sapa Kak Budi sambil menghampiriku.

“Ah deet keneh sakieu mah, Kang,” jawabku.

Tentu saja jawabanku tak jujur. Sesungguhnya tumitku terasa semakin panas saat itu.

“Sayah terus nya, Kamu coba catet titik-titik nu matak bingung, engke dipasang pos bayangan,” perintah Kak Budi.

Dia pun memintaku untuk menunggu rombongan terakhir yang masih tertinggal, di belakang kami, baru kemudian boleh meneruskan perjalanan.

"Tungguan heula rombongan terakhir. Engke kakara bergerak deui nya. Sayah duluan," kata Kak Budi dengan suara cemprengnya yang khas.

“Siap Kak,” jawabku sambil terus membuka sepatuku.

Dan benar saja, kulit sekitar tumitku menggelembung putih. Di dalamnya ada cairan. Pertanda lecet mendera.. Wajahku sedikit meringis. Sementara keringat sudah sejak tadi membasahi baju lapanganku.

Tak beberapa lama, rombongan terakhir tim survei pun tiba di puncak Palasari. Kulihat "Si Kerudung Putih" pun ada dalam rombongan itu. Hebatnya, mereka memilih tidak beristirihat di puncak, tapi memilih meneruskan perjalanan.

“Punten,” kata salah seorang dari mereka. Sementara si kerudung putih tak acuh, lewat di depanku..

“Mangga,” kataku pelan. Lalu meringis, menempelkan handyplast di kedua tumitku yang lecet.

Aku mulai bimbang, apakah meneruskan perjalanan atau pulang. Lecet di kakiku, mulai tak mau kompromi.

Namun memilih pulang atau terus ikut survei, sama saja. Aku tetap harus menuruni dulu Palasari sampai tiba di jalan desa. Maka setelah beberapa jarak rombongan terakhir lewat, seperti perintah Kak Budi, aku bersiap meneruskan langkahku.

Aku berdiri. Handyplast cukup membantu mengurangi sakit, ketika harus bergesekan lagi dengan sepatu boot sialan itu. Tapi tetap saja kakiku sedikit terpincang saat melangkah berjalan.

Beberapa saat berlalu. Karena rombongan terakhir ini berjalan cukup pelan, apalagi menuruni jalan yang penuh semak belukar, maka tak butuh waktu lama, aku sudah berada sekitar beberapa meter saja di belakang mereka. Dan si Kerudung putih itu kulihat berjalan paling belakang.

Dalam benakku saat itu, hanya ada satu hal: ingin cepat sampai di jalan desa. Di situ baru akan kuputuskan, jika kakiku tidak lagi terasa sakit, aku akan terus ikut survei. Tapi jiga ternyata lecet di kakiku makin parah, aku pulang.

Rombongan tim survei di depanku menuruni jalan setapak yang memang licin. Si kerudung putih kulihat susah payah memegang akar semak-semak agar tak jatuh. Lalu kulihat dia duduk dulu di atas tanah dan menghela nafas. Maka aku pun jadi melewatinya.

“Punten,” kataku.

“Mangga,” katanya, dia menoleh ke aku, dan dengan demikian untuk pertama kalinya aku dapat dengan jelas memandang wajahnya. Mata kami beradu pandang.

Dia tersenyum lalu menunduk. Tangannya memegang tali tas punggungnya. Aku tidak tahu dia senyum ke siapa atau kenapa. Mungkin kaget.

Aku sendiri, merasa terpana. Sesunggungnya, sejak dua bulan pertama jadi siswa SMA, aku baru melihatnya. Berkerudung putih, wajah yang anggun dan bersih, alis matanya yang tebal meneduhi sorot matanya yang bening. Pipinya memerah, dibasahi cucuran keringat. Dia lelah, tapi berusaha tersenyum. Akhirnya, jadi terlihat setengah meringis.

Itu kesan pertamaku saat beradu pandang dengannya, untuk pertama kalinya;. Tapi harus segera kulupakan. Karena ternyata lecet di kedua tumit kakiku makin terasa panas dan perih.

“Ti payun,” kataku ke dia, berbasa-basi.

Tibalah aku di jalan desa. Dan aku pun akhirnya memutuskan pulang. Padahal survei rute itu sendiri baru satu pos saja, belum apa-apa. Aku tak sempat melapor lagi sama Kak Budi. Di zaman itu belum ada handphone untuk SMS atau WA. Radio HT pun masih ekslusif dan mahal, bukan mainan anak SMA.

Maka, baru pada saat pertemuan latihan hari Jumat, aku didamprat Kak Budi. Suaranya yang cempreng terdengar seperti suara Gatotkaca anak Bima, saat marah kepadaku. Dia lalu menghukumku karena aku satu-satunya anggota Seksi Lapangan yang kabur saat survei itu. 

Dan aku menerimanya, lalu menjalani hukuman dengan senang hati. Aku sadar, lecet bukan alasan bagi sebuah pelarian atas tugas dan tanggungjawab. Apalagi LLA adalah agenda besar. Itu pelajaran berharga bagi anggota ASDS, dulu. Kalau sekarang? Ah...entahlah.

Lantas, siapakah si Kerudung Putih?

Sejujurnya, sejak saat itu aku lupa. Bahkan hingga beberapa waktu di sekolah, tak kuketahui siapa namanya dan anak kelas mana. Aku pun tak berusaha untuk tahu.

Sampai tiba pada suatu ketika yang membuatku kembali bertemu dengaannya. Lalu bergulir menjadi salah satu kisah terindah di masa SMA yang tak banyak orang tahu.

Siapakah dia? Ssst...Kalian jangan Kepo. Hahahhahaha... (*)
 


Saturday, June 3, 2023

FSBF Sumedang Sediakan Sapi Sehat dan Unggul untuk Berkurban

SEBENTAR lagi Hari Raya Iedul Adha 1444 H. Pada hari raya itu, setelah melaksanakan salat ied, maka kaum Muslimin yang mampu, diperintahkan untuk menyemblih hewan qurban. FSBF Sumedang telah menyiapkan sapi-sapi terbaik untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam yang hendak berkurban.

Dalam Qur'an surat Al-Kautsar jelas dinyatakan;

"Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)."

Sementara dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda;

"Dari Abu Hurairah, "Rasulullah SAW telah bersabda, barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami," (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Terkait dengan hal itu, Fattah Syifa Barokah Farm (FSBF) Sumedang telah siap dalam hal pengadaan hewan qurban yang sehat dan sesuai dengan syarat-syarat syar'i untuk Hari Raya Iedul Adha 1444 H.

FSBF Sumedang bergerak di bidang usaha penggemukan sapi, sejak Maret 2019.

Dalam kandang yang terpelihara dengan baik, FSBF Sumedang memelihara sapi secara profesional, antaralain memberikan pakan terbaik berupa rumput segar dari jenis rumput pakchong, rumput odot, rumput kinggass, indigofera dan lain-lain. Rumput-rumput tersebut diambil dari ladang rumput milik sendiri.

Selain rumput, FSBF Sumedang juga menambahkan konsentrat ke dalam pakan, seperti Nutrifeed, ampas tahu serta mineral dan probiotik.

Selian itu, sapi ditimbang setiap bulannya supaya terukur kenaikan berat badannya serta pemberian obat-obatan dan multivitamin.

Untuk kesehatan dan keunggulan sapi-sapi kami, FSBF Sumedang juga secara rutin dan terus menerus menjaga kebersihan kandang. Dan untuk menjaga kesehatan kami, setiap hari sapi-sapai di FSBF Sumedang, di urus dan dimandikan.

Lokasi Farm (klik untuk melihat Google Maps) di dusun Kawungluwuk Desa Conggeang Kulon Kecamatan Conggeang kabupaten Sumedang.

Atau hubungi Nomor Telepon/Whatsapps : 082186692127
 
Berikut kami tunjukkan foto sapi-sapi dari kandang FSBF Sumedang;
  















Kemiripan Nasib Politik Jenderal Nasution dengan Dr. Amin Rais saat Pergantian Rezim di Indonesia. Sejarah Selalu Berulang?

Ada hal yang serupa tapi tak sama antara Jenderal Abdul Haris Nasution dan Dr. M. Amin Rais, ketika tiba di persimpangan masa pergantian rezim dan suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia. Pak Nas dan Pak Amin, sama-sama tokoh kunci dalam titk-titik yang menentukan. Tapi keduanya tidak pernah jadi Presiden Republik Indonesia.
Ada ujar-ujar yang menyebut; "sejarah selalu berulang.." . Entahlah... Bisa iya, bisa tidak. Tapi kalau direnungi apalagi dengan pendekatan cocoklogi, memang banyak substansi peristiwa sejarah yang berulang. hanya cara dan kisahnya yang berbeda. casing nya beda, isinya sama.

Tahun 1998, Prof. Dr. H. M. Amin Rais adalah simbol penting gerakan reformasi. Ada satu cerita, kalau saja tanggal 20 Mei 1998 Pak Amin tidak segera mengumumkan batalnya rencana aksi massa menduduki gedung MR/DPR, bisa saja hari itu akan banjir darah, seperti tragedi Tiananmen di Tiongkok. Untungnya, sekitar pukul 06.00, saya sendiri menyaksikan di televisi, Pak Amin umumkan pembatalan rencana aksi itu.

Artinya, Pak Amin punya "komando" terhadap ratusan ribu massa mahasiswa yang menyemut di sekitar Gedung MPR/DPR. Dia simbol penting. Dia salah satu tokoh yang lahir sebagai antitesis situasi otoriter sebuah rezim. Sejak tahun 1997 kritik-kritiknya terhadap Orde Baru sangat tajam. Maka beliau kemudian dikenal sebagai simbol dan pemimpin gerakan reformasi. Masyarakat pun terkagum-kagum.

Dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, banyak kalangan menilai Pak Amin layak dan punya peluang besar jadi presiden, jika Pak Harto lengser keprabon. Tapi kenyataaanya, tdak.

Kita mengetahui, pasca Presiden Soeharto berhenti jadi presiden, Wakil Presiden BJ Habiebie menggantikannya. Meski itu adalah pilihan terbaik secara konstitusional yang dapat ditempuh agar negeri ini tidak berantakan, namun Pak Amin Rais tetap bersuara lantang menyatakan ketidaksetujuannya.

Di satu sisi, Presiden BJ Habiebie sendiri sepertinya menyadari legitimasi politik kepemimpinannya cukup rentan. Salah satu langkah terbaik yang beliau ambil adalah percepatan pemilu, agar MPR/DPR dapat memilih kembali presiden dan wakil presiden. Maka diselenggarakanlah Pemilu 1999, pemilu yang konon paling demokratis, setelah Pemilu 1955.

Kembali ke peran Pak Amin Rais. Dalam pemilu 1999 itu, beliau memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). Namun di gelanggang parlemen hasil pemilu 1999, beliau malah memilih setuju sebagai Ketua MPR/DPR. Kita tahu, melalui Sidang Paripurna MPR/DPR tahun 1999, KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur yang kemudian terpilih dengan suara terbanyak sebagai presiden menggantikan Presiden BJ Habiebie.

Lantas di mana letak kemiripan nasib politik Pak Amin dengan Pak Nasution? Mari kita kembali ke catatan sejarah negeri ini di sekitar tahun 1967.

Kita tahu, Peristiwa G30S/PKI 1965 telah memicu gejolak sosial, politik, dan ekonomi di tanah air. Mahaiswa turun ke jalan. Aksi mahasiswa "Angkatan 66" menggemakan "Tritura", atau "Tiga Tuntutan Rakyat". Inti tuntutannya;
  1. Bubarkan PKI beserta onderbouwnya, 
  2. Retool (rombak) Kabinet Dwikora, dan 
  3. Turunkan Harga Pangan.
Aksi massa mahasiswa ini terjadi di Jakarta, Bandung, dan sejumlah daerah lain. Dan hal ini seperti menjadi sinyal kuat yang dikirim kepada Bung Karno bahwa sudah waktunya Pemimpin Besar Revolusi itu mundur. 

Tapi bedanya, jika di tahun 1998, mahasiswa menghadapi suatu rezim yang dibekingi oleh militer, sebaliknya, di era 1966, militer yang justru membekingi aksi mahasiswa.

Nah, dalam hal ini Jenderal AH. Nasution, sebagai jenderal yang paling senior dalam militer Indonesia saat itu, banyak tampil kemuka, mendorong aksi mahasiswa. Banyak kalangan menilai, Pak Nas, (panggilan akrab Jenderal Nasution) adalah sosok paling pantas untuk jadi presiden setelah Bung Karno jatuh. Tapi Pak Nas ternyata malah memilih untuk menjadi Ketua MPR Sementara (MPRS).

Pada tahun 1967, MPRS menggelar Sidang Istimewa. Dalam sidang itu, pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno berjudul "Nawaksara" ditolak secara bulat. Maka secara konstitusional, Soekarno harus rela turun dari kursi kepresidenan.


Terlepas dari soal apakah menjadi Ketua MPRS itu adalah pilihan strategi Pak Nas sendiri, atau desakan pihak lain, tapi dengan menjabat sebagai Ketua MPRS, dapat dibaca bahwa Pak Nas tidak terkondisi untuk menjadi presiden yang kedua bagi indonesia.

Padahal semua orang tahu dan kiranya sepakat jika pak nas adalah jenderal paling senior, dengan segudang pengalaman dan prestasi yang mentereng. beliau adalah generasi yang lahir dari rahim revolusi 1945.

Demikianlah. (*)