Saturday, June 3, 2023

Kemiripan Nasib Politik Jenderal Nasution dengan Dr. Amin Rais saat Pergantian Rezim di Indonesia. Sejarah Selalu Berulang?

Ada hal yang serupa tapi tak sama antara Jenderal Abdul Haris Nasution dan Dr. M. Amin Rais, ketika tiba di persimpangan masa pergantian rezim dan suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia. Pak Nas dan Pak Amin, sama-sama tokoh kunci dalam titk-titik yang menentukan. Tapi keduanya tidak pernah jadi Presiden Republik Indonesia.
Ada ujar-ujar yang menyebut; "sejarah selalu berulang.." . Entahlah... Bisa iya, bisa tidak. Tapi kalau direnungi apalagi dengan pendekatan cocoklogi, memang banyak substansi peristiwa sejarah yang berulang. hanya cara dan kisahnya yang berbeda. casing nya beda, isinya sama.

Tahun 1998, Prof. Dr. H. M. Amin Rais adalah simbol penting gerakan reformasi. Ada satu cerita, kalau saja tanggal 20 Mei 1998 Pak Amin tidak segera mengumumkan batalnya rencana aksi massa menduduki gedung MR/DPR, bisa saja hari itu akan banjir darah, seperti tragedi Tiananmen di Tiongkok. Untungnya, sekitar pukul 06.00, saya sendiri menyaksikan di televisi, Pak Amin umumkan pembatalan rencana aksi itu.

Artinya, Pak Amin punya "komando" terhadap ratusan ribu massa mahasiswa yang menyemut di sekitar Gedung MPR/DPR. Dia simbol penting. Dia salah satu tokoh yang lahir sebagai antitesis situasi otoriter sebuah rezim. Sejak tahun 1997 kritik-kritiknya terhadap Orde Baru sangat tajam. Maka beliau kemudian dikenal sebagai simbol dan pemimpin gerakan reformasi. Masyarakat pun terkagum-kagum.

Dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, banyak kalangan menilai Pak Amin layak dan punya peluang besar jadi presiden, jika Pak Harto lengser keprabon. Tapi kenyataaanya, tdak.

Kita mengetahui, pasca Presiden Soeharto berhenti jadi presiden, Wakil Presiden BJ Habiebie menggantikannya. Meski itu adalah pilihan terbaik secara konstitusional yang dapat ditempuh agar negeri ini tidak berantakan, namun Pak Amin Rais tetap bersuara lantang menyatakan ketidaksetujuannya.

Di satu sisi, Presiden BJ Habiebie sendiri sepertinya menyadari legitimasi politik kepemimpinannya cukup rentan. Salah satu langkah terbaik yang beliau ambil adalah percepatan pemilu, agar MPR/DPR dapat memilih kembali presiden dan wakil presiden. Maka diselenggarakanlah Pemilu 1999, pemilu yang konon paling demokratis, setelah Pemilu 1955.

Kembali ke peran Pak Amin Rais. Dalam pemilu 1999 itu, beliau memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). Namun di gelanggang parlemen hasil pemilu 1999, beliau malah memilih setuju sebagai Ketua MPR/DPR. Kita tahu, melalui Sidang Paripurna MPR/DPR tahun 1999, KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur yang kemudian terpilih dengan suara terbanyak sebagai presiden menggantikan Presiden BJ Habiebie.

Lantas di mana letak kemiripan nasib politik Pak Amin dengan Pak Nasution? Mari kita kembali ke catatan sejarah negeri ini di sekitar tahun 1967.

Kita tahu, Peristiwa G30S/PKI 1965 telah memicu gejolak sosial, politik, dan ekonomi di tanah air. Mahaiswa turun ke jalan. Aksi mahasiswa "Angkatan 66" menggemakan "Tritura", atau "Tiga Tuntutan Rakyat". Inti tuntutannya;
  1. Bubarkan PKI beserta onderbouwnya, 
  2. Retool (rombak) Kabinet Dwikora, dan 
  3. Turunkan Harga Pangan.
Aksi massa mahasiswa ini terjadi di Jakarta, Bandung, dan sejumlah daerah lain. Dan hal ini seperti menjadi sinyal kuat yang dikirim kepada Bung Karno bahwa sudah waktunya Pemimpin Besar Revolusi itu mundur. 

Tapi bedanya, jika di tahun 1998, mahasiswa menghadapi suatu rezim yang dibekingi oleh militer, sebaliknya, di era 1966, militer yang justru membekingi aksi mahasiswa.

Nah, dalam hal ini Jenderal AH. Nasution, sebagai jenderal yang paling senior dalam militer Indonesia saat itu, banyak tampil kemuka, mendorong aksi mahasiswa. Banyak kalangan menilai, Pak Nas, (panggilan akrab Jenderal Nasution) adalah sosok paling pantas untuk jadi presiden setelah Bung Karno jatuh. Tapi Pak Nas ternyata malah memilih untuk menjadi Ketua MPR Sementara (MPRS).

Pada tahun 1967, MPRS menggelar Sidang Istimewa. Dalam sidang itu, pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno berjudul "Nawaksara" ditolak secara bulat. Maka secara konstitusional, Soekarno harus rela turun dari kursi kepresidenan.


Terlepas dari soal apakah menjadi Ketua MPRS itu adalah pilihan strategi Pak Nas sendiri, atau desakan pihak lain, tapi dengan menjabat sebagai Ketua MPRS, dapat dibaca bahwa Pak Nas tidak terkondisi untuk menjadi presiden yang kedua bagi indonesia.

Padahal semua orang tahu dan kiranya sepakat jika pak nas adalah jenderal paling senior, dengan segudang pengalaman dan prestasi yang mentereng. beliau adalah generasi yang lahir dari rahim revolusi 1945.

Demikianlah. (*)




0 Comments:

Post a Comment