Saturday, June 3, 2023

Pangeran Stichting Kumpulkan 31.000 Gulden untuk Membangun Lingga Sumedang

MONUMEN  Lingga di tengah alun-alun ini memiliki makna tersendiri bagi rakyat sumedang. Bahkan telah lama ditetapkan menjadi lambang resmi Kabupaten Sumedang.

Monumen itu dibangun oleh Pangeran Stichting, dan didedikasikan untuk Pangeran Aria Soeria Atmadja atas jasa-jasanya.


Gubernur Jenderal Dirk Fock hadir meresmikan Lingga
Sumber: Screenshot Film Dokumenter 

Nah, banyak yang mengira Pangeran Stichting itu adalah seorang bangsawan dari negeri belanda. Bahkan masih ada urang sumedang sendiri, yang menyebutnya Pangeran Sicing.. mirip nama bangsa cina..

Padahal Pangeran Stichting itu adalah sebuah lembaga yang terdiri dari belasan orang, salah satunya adalah Raden Sadikin, ayahanda dari Dr. Hasan Sadikin (nama rumah sakit nomor 1 di Jawa Barat), dan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta era 1970-an.

Bagaimana penjelasannya?

Kita mulai dengan membahas tentang Pangeran Aria Soeria Atmadja.

Seperti kita ketahui, Pangeran Aria Soeria Atmadja memerintah di Sumedang Regenschap sejak 31 Januari 1883 – 5 Mei 1919.. Beliau wafat di mekah saat melaksanakan ibadah haji pada 1 Juni 1921.

Di tangan Pangeran Soeria Atmadja itulah Sumedang Regentschap berkembang pesat. Banyak program inovatif yang digagas dan dijalankan oleh Soeria Atmadja di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Salah satu inovasinya adalah sistem terasering yang digunakan untuk membuka lahan sawah dan pertanian di dataran tinggi. Maka tentu saja, bukan hanya rakyat sumedang yang menjadi lebih sejahtera. Pemerintah kolonial hindia belanda pun diuntungkan.

Atas jasa-jasanya yang besar itulah sejumlah elit pemerintah kolonial, keluarga besar menak Sumedang, perwakilan swasta, dan perwakilan warga, kemudian berhimpun membentuk semacam kepanitiaan untuk membangun sebuah monumen sebagai "pangeling-ngeling" atau "mengenang" keberadaan Pangeran Aria Soeria Atmadja.

Nah, lembaga kepanitian itulah yang kemudian disebut sebagai "Pangeran Stichting" dan keberadaanya direstui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. Dirk Fock.

Dalam koran "Preanger Bode" disebutkan, Pangeran Stichting adalah;

de vereeniging ter herdenking van de nagedachtenis van pangeran aria soeria atmdjada

yang artinya kira-kira, perkumpulan yang dibentuk untuk memperingati kenangan (mengenang jasa-jasa) pangeran aria soeria atmadja.

Kliping Koran Preanger Bode

Ada empat belas orang nama yang tercantum sebagai pengurus dan anggota Pangeran Stichting, yaitu

  • AJH. Eiken, residen priangan sebagai ketua
  • CA. de Munnick, asisten residen sumedang sebagai sekretaris
  • I de Vries, pengurus soemedangrische afdeelingsbank, sebagai bendahara
  • Tumendang Kusumadilaga, bupati sumedang
  • Raden Adipati Wiratanoeningrat, bupati tasikmalaya
  • A.J.N Engelenberg, anggota volksraad parlemn
  • H.C.H de Bie, inspektur pendidikan
  • Dr. H.J. Van Der Schroeff, dokter bangsa belanda
  • A.E. Reijnst, ketua perkebunan di sukabumi
  • Raden Kartakusuma, wedana tanjungsari
  • Mas Hadji Abdulmanan, penghulu tandjongsari,
  • Raden Sadikin, guru pertanian pribumi
  • Sumadiria, petani/peternak, dari kalangan warga
  • Tanumanggala, partikulir atau pengusaha pribumi

Untuk melaksanakan rencan a proyek tersebut, Pangeran Stichting kemudian membentuk semacam tim pelaksana. "Preanger Bode" menuliskan, tim ini melibatkan;

  • Raden Adipati Aria Martanegara, mantan bupati Bandoeng.
  • J.Z. van dijck, mantan guru di garoet, yang diminta oleh de pangeran stichting untuk merancang desain monumen yang akan dibangun.
  • W. H. Elsman, seorang insinyur sipil yang ditugasi penyusunan anggaran sesuai desain yang dibuat oleh van dijck,
  • H. Buijs, insinyur dari de techniche hoogeschool te bandung (atau itb sekarang), yang ditugasi sebagai pimpinan pelaksana pembangunan lingga
  • dr. C. Kunst, seorang biologist (dokter heewan) dari unsur pemerintah kolonial yang bertanggungjawab atas rancangan model padang rumput di sekitar lingga
Pangeran stichting kemudian menggalang dana dari berbagai pihak untuk merealisasikan rencana pembangunan monumen. Preanger bode edisi 16 januari 1922 melaporkan, dana yang berhasil dikumpulkan mencapai lebih dari 31.000 gulden.

Dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh seluruh pengurus dan anggotanya, Pangeran Stichting kemudian memutuskan pengalokasian dana tersebut sebagai berikut;
  • 7000 gulden untuk pembangunan fisik monumen
  • 5100 gulden untuk pembangunan taman sekitar monumen (atau alun-alun sumedang)
  • 18000 gulden kemudian didepositokan di soemedangrische afdeelingsbank
Nilai anggaran sebesar itu didasarkan atas kajian Van Dijck, Elsman, dan Buijs

Monumen yang direncanakan akhirnya berhasil dibangun dalam waktu sekitar tiga bulan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Drik Fock datang langsung ke Sumedang dan meresmikan lingga pada hari selasa, tanggal 25 april 1922.

Di salah satu permukaan Lingga terdapat pahatan marmer yang antara lain bertuliskan; 

ridder van de orde van den nederlandschen leeuw, offidier vande orde van oranje nassau, payung song-song kuning dan dianugerahi bintang mas

(ksatria ordo singa belanda, perwira ordo oranye nassau, payung song-song kuning dan bintang emas. itu semua adalah tanda-tanda jasa yang diterima Pangeran Soeria Atmadja dari Kerajaan Belanda di Den Hag serta Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia.)

Namun pahatan marmer ni telah dicabut saat Linggu itu dipugar pada sekitar tahun 1971.

Bagian dasar bangunan Lingga berbentuk bujur sangkar dan dilengkapi dengan sejumlah anak tangga serta pagar disetiap sisinya. bangunan utamanya semacam kubus yang sedikit melengkung disetiap sudut bagian atasnya.

Warga berpose di depan Lingga
Sumber: Koleksi Sang Kelana, 2011

Di dalam bangunan utama ini lingga terdapat sebuah tempat untuk menyimpan barang-barang pusaka peninggalan bupati terdahulu. Lalu bagian atasnya berbentuk kubah setengah lingkaran. kubah lingga ini dapat dibuka dan menjadi akses pengambilan barang-barang yang tersimpan di dalamnya.

Sesepuh sumedang, almarhum Raden Achmad Wiriaatmadja atau Aom ahmad pernah mengatakan bahwa kubah tersebut sempat dibuka. Menurut beliau barang-barang pusaka di dalam Lingga tersebut kemudian dipindahkan ke museum prabu geusan ulun sumedang. Sayang beliau tidak mengatakan kapan kubah lingga itu dibuka. namun dugaan saya, besar kemungkinan saat lingga tersebut dipugar. (^)

Referensi;

Kliping Surat Kabar Preanger bode edisi 16 januari 1922
Dedi Rustandi, "Sekitar Masjid Agung Sumedang", Dinas Arsip Sumedang, 2013
Dokumen Resmi Pembangunan Monumen Lingga 


Tuesday, May 30, 2023

Leuhang, Pengobatan Alternatif Warisan Leluhur Sunda

SAUNA sebagai media pengobatan tidak hanya ada dalam budaya Tiongkok atau Jepang. Ternyata, para leluhur Sunda di tatar Parahyangan telah lama mengenal Leuhang, pengobatan alternatif menggunakan media uap yang didihkan dengan campuran rempah-rempah khas Indonesia.

Keberadaan Leuhang itu dilestarikan oleh Yana Suryana (57) warga Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Sejak 2011 ia mempopulerkan kembali leuhang. Menurut Yana, jauh sebelum muncul sauna yang mengadopsi kultur di Tiongkok atau Jepang, leuhang sudah lebih dulu digunakan oleh para leluhur sunda sebagai media pengobatan alternatif.

Menurut Yana, khasiat leuhang tidak kalah hebat untuk menyembuhkan berbagai kesehatan. Dengan ramuan rempah-rempah yang khas, para pengguna leuhang seolah terbius dan dibuat rilex dengan wewangian serupa aroma terapi.

"Kehadiran leuhang diperkirakan lahir berbarengan etnis sunda. Orang tua kita terlebih dahulu biasa merebus berbagai rempah, kemudian air tampung di dalam wadah dan ditutup oleh kain. Lalu orang tersebut masuk kedalam kain untuk menguapi badan. Tetapi yang membedakan dengan sauna modern, aroma rempah-rempah sangat berkhasiat untuk kesehatan," kata Yana yang akrab disapa Uwa saat dijumpai tempat praktik leuhang miliknya di Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, kemarin (1/9/2017)

Berawal dari hal itulah, Yana mengatakan jika saat ini banyak orang yang mengobati berbagai penyakitnya dengan leuhang. Maka dari situlah mulai banyak masyarakat yang berminat untuk melakukan pengobatan leuhang. Selain berguna untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, Yana pun mengklaim jika leuhang pun membantu melancarkan peredaran darah, sekaligus mengeluarkan toksin (racun) dalam tubuh melalui keringat.

"Mudah-mudahan semua penyakit bisa hilang dengan terapi pengobatan leuhang. Hal itu dikarenakan racun tubuh keluar bersama keringat," katanya.

Namun seiring perkembangan zaman serta teknologi, Yana mengatakan jika leuhang seolah kuno di mata masyarakat. Menjamurnya jumlah sauna dan kemudian menjadi trend pasar, membuat masyarakat kini beranggapan sauna lebih modern dan kekinian.

"Saya memutuskan untuk kembali ke Cisondari untuk menekuni dan mengembangkan leuhang. Ini dilakukan untuk menyelamatkan warisan leluhur, saya pun berinovasi dengan membuat sebuah alat berbentuk kotak untuk mandi uap," katanya.

Sebelum digunakan untuk masyarakat banyak, Yana mengatakan jika dirinya telah mengukur suhu panas serta kemampuan daya tahan tubuh manusia saat berada dalam kota leuhang tersebut. Untuk berada dalam kota leuhang setiap orang hanya mampu selama 15 menit saja. Tetapi itu bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan maupun fisik.

"Rempah-rempah yang digunakan yaitu daun sirih, kayu manis, sereh, daun jeruk dan honje. Itu semua adalah ciptaan yang maha kuasa untuk kita manusia nikmati. Maka dari sayang jika kekayaan alam harus dimusnahkan begitu saja," kata Yana.

Disinggung mengenai tarif untuk satu kali terapi, Yana mengatakan jika dirinya tidak pernah mematok sama kali harga kepada pasiennya. Ia pun menambahkan jika ia yang lakukan adalah sebuah bentuk keiklahlasan untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Selain itu leuhang sebagai wujud bagaimana tanah sunda memiliki keanekaragaman budaya.

Sementara salah seorang pengobatan leuhang, Lili Setia Darma mengatakan jika selama beberapa kali merupakan terapi dirinya mengakui adanya perubahan membaik dalam tubuhnya diantaranya penyakit kolesterol, darah tinggi dan asam urat yang semakin membaik. Selanjutnya Lili mengatakan jika melalui pengobatan medis‎, dirinya Akui tidak adanya perubahan yang signifikan.

"Menepis anggapan selama ini jika teknik pengobatan medis modern adalah satu-satunya cara, padahal sebagai orang Sunda telah diwarisi budaya pengobatan yang sangat luar biasa oleh para leluhur,” tandasnya. ***

(Tulisan ini hasil suntingan saya di tahun 2017, saat masih bekerja di sebuah surat kabar harian yang terbit di kota Bandung)

Sunday, May 28, 2023

Saat Bung Karno Kagumi Gemulai Para Penari Klasik Sumedang

Gemulai para penari menyambut kedatangan Ir. Soekarno, yang berkunjung ke Sumedang pada tahun 1956. Pemimpin Besar Revolusi itu pun kemudian memboyong sejumlah penari dan seniman Sumedang untuk mementaskan tari klasik sunda karya R. Ono Lesmana Kartadikusuma ke Istana Merdeka.


Sosok Bung Karno memang dikenal sangat mencintai kesenian dan keindahan. Banyak fakta dan cerita yang menunjuk betapa pemimpin besar revolusi, panglima tertinggi angkatan perang di masa orde lama itu memiliki kelembutan hati, dan punya apresiasi yang tinggi terhadap kesenian.

Bung Karno
Sumber: net
Saat Kabupaten Sumedang dipimpin oleh Bupati Sulaeman Sumitakusumah, pada tahun 1956, Presiden Soekarno itu melakukan kunjungan kerja ke Sumedang. Bung Karno disambut dengan antusias oleh rakyat Kabupaten Sumedang.

Dan seperti tamu-tamu agung lainnya, Bung Karno di sambut dengan gemulai penari-penari asal Sumedang di Gedung Srimanganti.

Saya tahu hal itu, ketika berbincang dengan almarhum R. Ahmad Wiriatmadja, di beranda Gedung Srimanganti, Komplek Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, sekitar tahun 2012, . Saat itu beliau tercatat sebagai Ketua Pemangku Adat Keraton Sumedang.

“Saat itu Bung Karno disambut dengan Tari Topeng. Dan juga beberapa tarian karya putra Sumedang, R. Ono Lesmana Kartadikusuma. Bung Karno sangat tertarik dan memuji penampilan para penari, sehingga diboyong untuk dipentaskan di Istana Merdeka,” ujarnya.

Pria sepuh yang akrab dipanggil Aom Ahmad ini pun melanjutkan kisahnya. Karena tertarik dengan gemulai para penari, Bung Karno memboyong sejumlah penari itu ke Istana Merdeka

“Yang jadi penari istana waktu itu seperti Ibu Idar dan Ibu Tati,” kata Aom.

Diketahui, R. Ono Lesmana Katadikusumah adalah seorang putra Sumedang. Ia mulai mencipta dan mengajarkan Tari Wayang pada tahun 1926. Di adalah salah satu maestro dalam hal penciptaan tari-tari klasik sunda.

Selain Tari Wayang, karya terkenal R. Ono antara lain Tari Jayengrana, Jakasona, dan Suraning Pati. Mulai tahun 1986 tarian-tarian karya R. Ono dilestarikan dan dilatihkan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang

Lebih dalam, Aom Ahmad menilai apresiasi terhadap seni-seni klasik di zaman modern sangat mahal dan langka pada jaman sekarang.


Anak-anak belajar menari tari klasik di Gedung Srimanganti
Foto Koleksi "Sang Kelana", 2011
Menurutnya, semangat untuk memelihara dan ngamumule (memulyakan-red) seni-seni tradisional klasik seperti tarian karya R. Ono Lesmana itu bukan berarti mengajak kembali ke kehidupan masa lalu.

Bila tari adalah keindahan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan berbentuk gerak tubuh yang diperhalus melalui estetika, maka menurut Aom, ada nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam setiap gemulai gerakan tari, terutama dalam mengolah rasa.

“Kita bisa belajar ada saatnya harus bersikap keras, tapi ada saatnya hati itu harus lembut,” demikian pesan yang bisa saya simak dari seorang sesepuh Sumedang kala itu.

Memang, di zaman ini, hiburan telah menjadi industri, dan industri akan selalu berorientasi pada selera pasar. Mari kita simak baik, apakah pementasan Tari Klasik misalnya, akan seheboh rencana konser grup band "Coldplay"? Saya kira jauh tanah ke langit.

Upaya-upaya untuk mendorong, baik secara formal melalui kebijakan maupun secara informal melalui lembaga-lembaga seni untuk mempertahankan kehadiran seni tradisi, memang kerap dilakukan.

Namun pada kenyataannya tidaklah serta merta menjamin berkembang dan dekatnya kedudukan seni tradisi tersebut di masyarakat luas. Bahkan mungkin para agennya telah sampai pada titik jenuh dan kelelahan. (*)

A Brief History of Sumedang


SUMEDANG is one of regencies in West Java, in Indonesia. It is located 45 km north-east from Bandung City.

Lingga Monument. The Symbol of Sumedang City
(2020)

This regency is bordered by Indramayu district in the North, Majalengka in East, Garut regency in the South, Bandung regency and Subang District in West.

Sumedang has a long history as the former Sumedanglarang Kingdom. The kingdom reached its heyday under the rule of Raden Angkawijaya alias Prabu Geusan Ulun from 1578 to 1610, A.D.

After going through various historical seminars attended by academies, historians, and Sundanese community leaders, in 2009, the Sumedang Regency Government declared that Sumedang was a Sundanese Cultural Center.

It is also based on the historical fact that the Sumedanglarang Kingdom became the heir to the Sunda Padjadjaran Kingdom (the largest kingdom in West Java).

When the Padjadjaran Kingdom collapsed in 1579 AD , the Binokasih Crown, which became the main symbol of the kingdom, was handed over to Prabu Geusan Ulun.

The Kandaga Lante is four men who were sent Sri Baduga Maharaja aka Prabu Siliwangi to hand over the Binokasih Crown, a number of heirlooms and royal clothes. They are consist of "Sanghyang Hawu" aka "Jaya Perkosa", "Batara Dipati Wiradidjaya" aka "Nangganan", "Sangyang Kondanghapa", and "Batara Pancar Buana" aka "Mbah Terong Peot".

Until now, the Binokasih Crown, heirlooms, and royal clothes are stored in "Prabu Geusan Ulun Museum".

In addition, Sumedanglarang also inherited the former territory of the Kingdom of Padjadjaran (entire area of ​​West Java Province at this time), except Banten and Cirebon.

In "Pusaka Kertabhumi", an ancient book about the history of the kingdoms in Sunda land, it is stated;

“Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan,"

Wich means, Geusan Ulun ruled the Pajajaran region which had collapsed, which was gone on the earth of Parahyangan.

The following picture illustrates the area of ​​the Sumedanglarang Kingdom during the time of King Geusan Ulun.

The Sumedanglarang region during almost the entire area of west java


After King Geusan Ulun died, in 1609 AD, Sumedanglarang experienced a setback. Until finally around the year 1620 AD, Raden Suriadiwangsa alias Prince Ranggagempol met Sultan Agung, the king of the Mataram Kingdom (the largest kingdom on the island of Java at that time). Since then, Sumedanglarang has become a vassal kingdom of Mataram.

Furthermore, the Mataram Kingdom fell under the control of the Dutch through the VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie).

Since then the status of Sumedanglarang was changed to a district. It continues until now, in Republic Indonesia.

Aria Soeria Atmadja, The Last Prince of Sumedang
He died in mecca during the hajj worship in 1921

Because the historical background, Sumedang has a lot of potential for tourism, especially cultural and nature tourism, like Sumedang town square, Sumedang great mosque, Lingga monument, Prabu Geusan Ulun Museum, Dayeuh Luhur graveyard, the grave of Cut Nyak Dien, Tampomas Mount for Hiking, , Pasarean Gede Graveyard, Gunung Lingga graveyard, etc.

Besides that, there are several buildings and places of former Dutch colonial heritage which can be historical tourism objects in Sumedang City. (*)

Pesta Seks Berujung Pembunuhan di Hannover Jerman, 24 Agustus 1980

MAX Dittmann, seorang tukang ledeng ditemukan tewas di rumahnya, di Kota Hannover Jerman, Minggu 24 Agustus 1980. Saat ditemukan saksi mata, tubuh korban telanjang bulat. Satu tombak aneh tertancap di punggungnya.

Max Dittmann, Korban Pembunuhan

Pada waktu itu, profesi tukang ledeng di Jerman cukup keren dan populer. Generasi 90-an pasti kenal tokoh Mario dan Luigi. Keduanya adalah tukang ledeng, dalam game Nintendo yang terkenal, Super Mario Brss.

Dittman adalah seorang tukang ledeng yang ahli, dan cekatan. Ia sukses dengan pekerjaannya, dan tak pernah mengecewakan pelanggan. Ia tinggal di Hannover bersama Johana, istirnya, dan Fritz anaknya yang baru berusia 10 tahun.

Kehidupan keluarga itu cukup bahagia. Bila musim panas tiba (sekitar bulan Agustus), Max selalu mengajak istri dan anaknya berlibur. Biasanya mereka pergi ke Italia atau Spanyol. Mereka tidak pernah ke Perancis, karena dianggap biayanya terlalu mahal. Lagi pula menurut anggapan orang-orang Jerman saat itu, orang Perancis sombong dan kasar.

Tapi tiga musim panas terakhir, Max tak lagi mengajak keluarganya berlibur. Itu sebabnya, pada musim panas panas 1980, Johana mengambil inisiatif, berlibur berdua bersama Firzt, anaknya, ke Austrian Triol. Mereka sepakat, Dittmann tidak ikut. Max tetap di Hanover dan mengisi waktu liburan bersama teman-temannya. Biasanya Max berkumpul bersama teman dan koleganya di sebuah Brauhaus, semacam tempat bagi mereka untuk kongkow dan minum bir atau minuman alkohol lainnya, hingga mabuk.

Sesuai rencana, Sabtu sore, 23 Agustus 1980, Max mengantarkan istri dan anaknya ke stasiun kereta api. Setelah itu, dia langsung menuju "Lion Brauhaus" menemui teman-temannya. Di sana, Max cukup dikenal dan disegani. Dia dapat meneguk 20 gelas bir tanpa rasa mual. Sesekali, dia meminum semacam arak, sebagai selingan.

Johana sudah tahu betul perilaku dan kebiasaan suaminya itu. Namun dia menganggapnya biasa dan tidak masalah. Johana tetap percaya bahwa Max adalah suami yang setia dan bertanggungjawab. Di mata Johana, Max tipe suami yang ideal.

Minggu Pagi 24 Agustus 1980, Max sudah punya agenda bertemu kawan lamanya, Alfred Kroeg. Sebelumnya, Kroeg telah menyewa sebuah motel atau tempat istirahat yang tidak jauh dari Hannover. Mereka sepakat bertemu di situ.

Saat itu, Kroeg, hendak menjemput sahabatnya itu. Ia tiba di rumah Max Kira-kira pukul 10.30. Karena pintu depan tidak dikunci, Kroeg langsung saja masuk ke dalam rumah.

Tapi, betapa terkejutnya dia saat menemukan tubuh Max terbujur kaku bersimbah darah, tanpa selembar kain pun. Sebuah tombak tertancap di punggungnya.

Melihat darah yang berceceran di mana-mana, dan kondisi tubuh korban seperti itu, Kroeg bingung. Dia sempat panik, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Mulanya ia bermaksud memanggil polisi, Tapi niat itu dibatalkan. Ia mengaku tidak tega kalau sahabatnya itu dimasukan koran dalam berita utama apalagi dipotret dalam keadaan telanjang bulat. Karena itu dia berusaha membuat tempat itu sedikit lebih rapi sebelum polisi dipanggil.

Tanpa berfikir panjang, sejumlah pakaian yang nampak berserakan dia bereskan. Dia pun menemukan sejumlah kartu remi yang tercecer di sekitar ruangan. Kroeg pun berfikir, bahwa malam minggu sebelum dia ke rumah itu, Max pasti sedang bermain kartu. Tapi dengan siapa? Mengapa Max sampai telanjang bulat? Pertanyaan itu tak bisa dia jawab.

Setelah dapat menguasai dan menenangkan dirinya, Kroeg tiba-tiba menyadari bahwa apa yang di hadapannya saat itu adalah kasus pembunuhan. Dia kembali panik dan berasumsi bahwa polisi pasti menduga bahwa dialah pelakunya.

Maka, satu-satunya jalan adalah menghubungi polisi. Segera dia angkat gagang telepon dan memutar nomor yang dituju. Dia lalu melaporkan apa yang telah dilihatnya.

Lantas, Kroeg pun diperntahkan untuk tetap diam di tempat, dan tidak boleh menyentuh apapun sampai tiba petugas kepolisian. Sambil menunggu polisi datang, Kroeg berusaha mengembalikan posisi pakaian dan barang-barang yang sudah dibereskannya, seperti sebelum dia datang. Tapi dia merasa tidak yakin dapat menghilangkan kecurigaan polisi kepadanya.

Tak lama kemudian polisi datang. Saat dimintai keterangan, Kroeg menjawabnya dalam keadaan cemas dan gugup. Akibatnya dia memberikan keterangan dengan berbelit-belit. Tak pelak, polisi pun langsung mencurigainya. Untuk sementara polisi kemudian mengamankan Kroeg. Dia ditahan dengan borgol di tangan. Walaupun sempat memprotes, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekitar pukul 15.00, Paul Schaefer, Sersan Detektif Kriminal Kepolision Hannover tiba di tempat kejadian perkara (TKP). Setelah menyelidik sejenak, dia memerintahkan Alfred Kroeg dilepaskan, lalu menyuruh petugas polisi yang lain untuk mengamankan tempat itu.

Tak lama berselang, Inspektur Oscar Brinkmann datang. Atas ijin Pak Inspektur, Kroeg diperbolehkan pulang, dengan satu syarat, jika sewaktu-waktu petugas menghubunginya, ia harus siap.

Beberapa menit kemudian tiba juga Dr. Driesch, dokter ahli forensik. Tanpa banyak bicara dia mengambil foto, lalu bekerja melakukan penyelidikan forensik di tempat kejadian perkara.

"Pembunuhan ini sangat aneh," bisik Driesch kepada Inspektur Brinkmann.

"Senjata yang dipakai buatan tangan. Panjangnya 10 inci dengan kedua sisi sangat tajam. Tapi bukan senjata kuno, dan terbuat dari baja kualitas tinggi," papar Driesch.

"Tombak dihujamkan dari belakang korban dan tempat mengenai jantung dan paru-paru kiri," lanjutnya.

"Hmm..Apa dia (korban) mati seketika itu juga," tanya inspektur.

"Tidak. Kira-kira sembilan menit setelah terluka, baru dia meninggal," jawab Driesch.

"Tombak itu digenggam atau dilempar?," tanya inspektur

"Digenggam, kemudian dicampakkan dengan sekuat-kuatnya. Tapi sudut lemparannya salah. Ia jatuh tergeletak waktu tombak itu mengenainya," jawab Driesh.

"Mungkinkah ada perlawanan?. Korban dipukul jatuh, kemudian ditusuk pada waktu tergeletak?," tiba-tiba Sersan Schaefer, menyela dengan pertanyaan.

Dokter Driecsh menggelengkan kepala.

"Bukan. Sebenarnya, korban berada di atas seseorang. Bukan di lantai tapi di sofa. Mereka dalam keadaan bersetubuh," jawab Driesch.

Jawaban Dr. Diresch ini membuat Inspektur Brinkman dan Sersan Schaefer, melongo kaget.

"Bersetubuh?" tanya Inspektur dengna nada tak percaya.

"Ya itulah yang dilakukannya. Tentu pasangannya terkejut meskipun ujung tombak itu tidak sampai melukainya," jelas Driesch.

"Sekitar pukul berapa dia meninggal?," tanya inspektur.

"Antara pukul 1.30 sampai pukul 2.00 dinihari," jawab Driesch.

Selanjutnya, mayat korban pun diangkut oleh petugas untuk diotopsi lebih lanjut.

Inspektur Brinkmann, Dr. Driesh, dan Sersan Schaefer, kemudian sama-sama keluar dari rumah korban. Mereka kemudian berdiskusi sambil makan siang disebuah restoran sekitar 2 mil dari tempat kejadian perkara.

Inspektur mengeluarkan catatannya, lalu memimpin diskusi itu. Sersan Schaefer diminta lebih dulu mengungkapkan pandangannya.

Pak Sersan menilai pembunuhan itu aneh. Dia berasumsi telah terjadi pesta seks dan mabuk-mabukan di rumah korban. Dia pun menyebut kemungkinan penggunaan narkoba. Sersan berasumsi ada sejumlah orang di sana, mabuk, bermain kartu dan bermain seks. Kemudian ada yang marah, lalu menikam Max dengan senjata tombak.

"Tapi dari mana asal tombak itu? Kemungkinan milik korban," kata Sersan..

"Menurut tetangganya, Max seorang tukang ledeng yang ahli, suami dan ayah yang baik. Dan belakangan ini sejak istri dan anaknya berlibur, ia sering membawa seorang wanita ke rumah selama dua atu tiga malam. Biasanya ia di Lion Brauhaus. Mungkin kita bisa mendapatkan informasi dari sana," kata Sersan.

"Bagus !," kata Insperktur.

Dia kemudian bertanya dan mempersilahkan Dr. Driesch menyampaikan pandangannya.

Pendapat Dr. Driesch hampir sama dengan Pak Sersan. Tapi ia mengoreksi soal adanya obat terlarang. Ia sepakat seseorang mungkin marah dan menikam Max hingga tergelatk di sofa.

"Dia (kroban) berusaha bangun, berjalan ke pinu dngan pisau yang masih tertancap di punggunnya. Ia berusaha ke sofa, tapi keburu mati," kata Driesch.

"Saat peristiwa terjadi, yang lain mungkin berusaha mengenakan pakaian mereka kembali. Sementara wanita yang disetubuhi Max mungkin terluka sedikit di bahu kanan atau dada kiri, bergantung posisi mereka bersetubuh. Aku tidak dapat memastikan," tambah Dr. Driesch.

"Warna rambutnya apa?" tanya Inspektur.

"Pirang. Beberapa helai sudah diserahkan pada sersan untuk diperiksa," jawab Driesch.

"Mungkin sidik jari ada pada tombak. Tapi sayang sudah berlumuran darah. Benda yang lain tak dapat dijadikan bahan penyelidikan," kata Sersan Schaefer, menambahkan.

Setelah mendengar pandangan Sersan Schaefer dan Dr. Driesch, giliran Inspektur Brinkmann menyampaikan asumsi penyelidikannya.

"Aku cenderung pembunuhnya bukan profesional. Tampaknya mereka orang biasa yang menjadi korban dari apa yang mereka sebut revolusi seks. Kalau mereka tidak melakukaan itu diangap ketinggalan zaman. Mungkin salah satu cemburu, maka terjadi pembunuhan," ujar Inspektur.

"Aku setuju sekali dengan yang kalian bicarakan. Tapi letak keanehan kasus ini ada pada jenis dan bentuk senjatanya," tegas Inspektur.

"Menurut pendapatmu, dari mana tombak itu?" tanya dokter

Inspektur mengangkat bahunya tanda tak tahu. Tapi ia kemudian menduga bahwa senjata itu milik korban sendiri. Inspektur berasumsi, sebagai tukang ledeng, Max biasa bekerja dengan logam.

"Paul, malam ini juga kau pergi ke Lion Brauhaus. Coba dapatkan informasi. Dan kau, dokter Driesch, boleh kembali ke kamar mayat. Bila di antara kalian menemukan keterangan bermanfaat malam ini, aku ada di kantor atau di lab," kata Inspektur, memberi perintah pada Sersan Schaefer dan dokter Driesch.

***

Johana Dittmann kemudian mendapat informasi tentang peristiwa pembunuhan suaminya itu dari Inspektur Oscar Brinkmann. Dia masih di Austrian Tirol saat itu. Inspektur meneleponnya.

Saat ditanya lebih lanjut Johana mengaku tidak tahu menahu mengenai pesta seks. Bahkan ia tidak percaya sama sekali kalau suaminya sampai terlibat dalam perbuatan tidak senonoh seperti itu.

"Max suami yang baik. Dan jika ia melakukan hal seperti itu pasti karena sengaja digoda oleh wanita-wanita itu," tegas Johana.

"Mengapa mereka sengaja menggoda suamimu?," tanya Inspektur.

"Uang ! Apalagi kalau bukan itu? Sudah anda selidiki rumah itu? Kira-kira ada empat atau lima ratus dollar uang kontan," jawab Johana.

Ketika diselidiki soal uang itu, polisi tak menemukannya. Namun dari keterangan Johana, Inspektur mendapat informasi penting tentang tombak yang dipakai membunuh Max. Menurut Johana, Max baru saja menyelesaikan tombak itu kira-kira dua minggu sebelum Johana dan anaknya pergi berlibur.

Sementara itu, dari Lion Brauhaus, Sersan Schaefer mendapat informasi. Orang-orang di sana mengaku melihat Dittmann bersama seorang "Pekerja Seks Komersil" (PSK) bernama Inge Stegmuller.

Inge Stegmuller, seorang PSK yang Cantik dan Ramah
dia memberikan keterangan penting atas kematian Max Dittman

Diperoleh informasi, meskipun dikenal sebagai PSK yang populer dan sukses, tapi Inge tidak tergabung dalam mucikari. Dia menlakukan usahanya dengan menggunakan Mercedes putih yang ia beli dari hasil keringatnya.

Inge Stegmuller datang ke kantor Inspektur. Dia berukur 22 tahun. Rambutnya pirang dan terawat dengan baik. Parasnya cantik, seksi, dan ramah. Mungkin itulah yang menyebabkan dia menjadi PSK yang sukses. Polisi melihat Inge bukan tipe seorang pembunuh.

Di kantor, Inspektur Brinkmann memberitahu Inge bahwa Max Dittmann telah dibunuh, dan menanyakan apakah Inge mengetahui peristiwa itu.

"Tidak. Saya tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi padanya. Max itu baik walaupun dia selalu berpendapat bahwa wanita dilahirkan memang untuk melayani laki-laki," kata Inge.

"Saya kenal cukup dekat dengannya, dan ke rumahnya tiga atau empat kali sejak dua minggu yang lalu. Terakhir kali saya melihatnya hari Rabu malam," kata Inge.

"Kau berada di mana sekitar pukul satu sampai dua pada minggu pagi?," tanya Inspektur.

"Coba kulihat dulu buku catatanku. Pada waktu itu saya sibuk. Tapi tidak ingat dengan siapa," jawab PSK cantik itu.

Kemudian, Inge menunjukkan sebuah nama dan nomor telepon yang tercatat dibukunya. Saat dihubungi polisi, orang yang diajak bicara membenarkan bahwa ia bersama-sama Inge pada jam-jam dimaksud.

Baru saja Inspektur meletakkan gagang telepon di tempatnya, Inge menyampaikan sesuatu.

"Apakah sudah menghubungi teman wanita Max yang lainnya," tanya Inge.

"Maksudmu, wanita profesional?," tanya Inspektur.

"Bukan. Aku pernah melihat Max bersama sepasang muda-mudi. Si gadis kira-kira berumur 18 tahun dan si pemuda juga seumur dengan gadis itu," jawab Inge.

"Apa mereka punya reputasi buruk?," tanya Inspektur.

"Aku kira tidak. Mereka biasa-biasa saja. Tetapi aku menduga mungkin Max bertengkar gara-gara memperebutkan gadis itu," jawab Inge.

Dia tidak ingat lagi kapan terakhir melihat Max dengan sepasang muda-mudi itu. Inge tidak mengenal keduanya., tetapi diperkirakan mereka tinggal di sekitar Brauhaus.

Dari keterangan Inge, Inspektur kemudian mengembangkan penyelidikan tentang sepasang muda-mudi itu. Sejummlah pengunjung dan pelayan di Brauhaus mengatakan, Max memang berteman dengan muda-mudi itu. Yang laki-laki bernama Louis Huber, berusia 20 tahun. Sementara yang perempuan bernama Lydia Moersch.

Louis Hubber, mengaku menyukai Max

Lydia Moersch, teman Hubber

Penyelidikan lebih lanjut menghasilkan konklusi, bahwa Max Dittmann memang berteman baik dengan Huber. Keduanya suka minum bersama di Brauhaus. Tetapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Max mengenali Moersch.

Inspektur Brinkmann kemudian memerintahkan Sersan Paul Schaefer untuk segera menangkap Huber dan Moersch.


Polisi Jerman menangkap Louis Hubber
Proses pemeriksaan berjalan lama dan berbelit-belit. Polisi hampir menyerah karena tidak ada bukti kuat bahwa Huber dan Moersch ada di rumah Max Dittman pada malam kejadian. Tapi akhirnya setelah berkali-kali berbohong, Louis Huber akhirnya mengakui bahwa dia yang melakukan pembunuhan itu.

Lantas apa motifnya?

Beberapa saat sebelum kejadian ketiga orang itu sudah telanjang bulat. Louis Huber mengaku menyukai Max. Saat itu, dia, Max, dan Lydia sudah sangat mabuk dan bermain kartu.

Huber melangkah masuk ke kamar mandi. Lalu saat keluar, dia melihat Max sedang bergumul dengan Lydia. Dalam keadaan mabuk, Louis berasumsi bahwa Max sedang memperkosa Lydia. Dengan cepat dia mengamil tombak yang ada di kursi ruang tamu, lalu menghujamkannya ke punggung Max. Lalu, Louis dan Lydia dengan tergesa-gesa berpakaian, dan kabur dari rumah itu.

Sementara dalam keterangannya, Lydia tidak membantah atau membenarkan keterangan Louis. Dia hanya mengaku bahwa saat itu sangat mabuk dan tidak ingat apa yang terjadi.

Kasus itu akhirnya bisa dipecahkan.

Johana, istri korban, sama sekali tidak mengira bahwa suaminya berperilaku seperti itu. Dia mengira selam ini suaminya sangat setia, padahal telah menipunya. Johana pun akhirnya tidak tahu siapa yang harus disalahkan; dirinya sendiri atau suaminya?

(Disadur dari tulisan Paul Burns/Tjie Tjin Siang, yang dimuat di majalan "Zaman" Edisi 23 Mei 1982)


Saturday, May 27, 2023

Betapa Kita Mudah Terjebak Syakwasangka (Merenungi Kasus Yana "yang hilang" di Cadaspangeran, Tahun 2021)

PADA bulan November 2021, publik Sumedang bahkan Indonesia, dihebohkan oleh "hilangnya" Yana Supriatna, warga Desa Sukajaya Kec. Sumedang Selatan, di kawasan Cadaspangeran. Banyak kasus orang hilang, tapi rasanya tak seheboh itu. Mengapa? Karena manusia memang takut oleh hal-hal yang tak kasat mata atau gaib.

Ilustrasi: Ular Kuning asli di Alun-alun Sumedang
Masyarakat pernah heboh oleh berita seorang pemuda bernama
Yana Supriatna hilang disembunyikan oleh Siluman Ular Kuning di Cadaspangeran
  
Tiga hari sejak dilaporkan hilang Senin (15/11/2021) lalu, Yana akhirnya ditemukan Kamis (18/11/2021). Jauh dari sangkaan, dia ditemukan dalam keadaan sehat wal afiat di kawasan Dawuan Kabupaten Majalengka. Semua geleng-geleng kepala. Kata seorang teman, Yana sukses membuat lelucon yang bikin polisi, tentara, basarnas, warga biasa, hingga paranormal berkata dengan intonasi yang sama: "sialan, gua kena prank!".

Laporan orang hilang bukan hal yang baru. Tapi hilang di Cadaspangeran, mudah membuat orang membuat spekulasi, terutama hal yang berbau mistis. Maklum, mitos tentang kawasan itu sudah berurat akar, terutama di Sumedang.

Dan bumbu cerita mistis pun begitu manis dikunyah oleh media massa, setelah Yana mengirim voice note yang isinya mengesankan dia hilang secara misterius. Maka asumsi miring bahwa Yana diculik mahluk halus, segera saja mendapat tempat pertama di benak publik.

Singkat kata, kasus hilangnya Yana secara misterius jadi trending topik karena masyarakat kita memang hampir selalu mabuk oleh cerita-cerita misteri. Lumrah memang, karena siapapun kita, selalu sama-sama resah oleh ketidakpastian. Yang berbeda adalah respon dan tindakan.

Demikianlah. Saya teringat bulan-bulan pertama wabah covid-19 mulai menyerang, menghebohkan, dan mengguncang seluruh aspek kemanusiaan secara global. Seketika, warga dunia panik dan suasana ketidakpastian berkembang memayungi perihidup kita sehari-hari.

Spekulasi bermunculan. Debat kusir di mana-mana. Teori-teori, dari yang remeh temeh, hingga konspirasi yang rumit pun, lalu lalang di perangkat genggam komunikasi kita. Logika dan mitos campur aduk. Produksi hoax di mana-mana, berseteru head to head dengan mereka yang menyaksikan atau merasakan langsung bagaimana ketika covid-19 menginfeksi tubuh.

Mengapa? Karena covid-19 tak kasat mata. Ia ghoib secara harfiyah. Ia ada, namun tak nampak oleh mata telanjang.

Dalam menghadapi situasi seperti itu, yang bisa dilakukan adalah waspada, waspada lagi, dan terus waspada. Pepatah lama, "mengecah jauh lebih baik daripada mengobati", layak kita pegang. Ketika protokol kesehatan dirumuskan para ahli lalu dilegitimasi menjadi kebijakan oleh pemerintah, itu saja yang bisa kita lakukan. Meski dalam hati ada yang berbisik sambil terkekeh; "setinggi-tinggi sekolah, sekeras-kerasnya otak berfikir tentang mikrobiologi, pada akhirnya kembali pada pelajaran taman kanak-kanak; rajin cuci tangan pakai sabun.

Tapi apa boleh buat. Hanya itu yang bisa kita pegang dan lakukan. Kita boleh mengkritisi kecenderungan perilaku korup penguasa. Kita boleh nyinyir dengan apa saja kebijakan yang dibuat pemerintah. Tapi sisakan sedikit dalam lubuk hati, bahwa tak ada satu pun orde atau pemerintahan yang hendak mengubur massal rakyatnya sendiri.

Toh, pelan tapi pasti, dalam kegalauan sehari-hari menjalani masa pandemi itu, muncul kesadaran betapa kesehatan itu mahal harganya. Betapa udara yang kita hirup adalah setinggi harga nyawa yang kita pertahankan. Serta kesadaran-kesadaran baru, yang bisa terus berkembang berbuah perilaku, kreasi dan hal-hal yang baru.

Dari upaya bertahan, kita jadi terbiasa. Dan konon, kemampuan beradaptasi jadi cara manusia menjadi mahluk yang paling mampu bertahan di muka bumi ini. Sisanya, Tuhan Maha Punya Rencana.

Suatu ketika, selepas menunaikan kewajiban waktu dzuhur, saya berbicang dengan seorang teman di pelataran masjd. Dia berkata; "orang yang meninggal karena wabah penyakit itu mati syahid. Jadi kenapa kita harus takut tak pakai masker", begitu ujarnya dalam bahasa sunda.

Saya tersenyum saja. Sambil memakai kembali sepatu saya dan menyimpulkan talinya, saya berujar menanggapinya.

"Orang yang mendapat syahid itu, mati karena berperang, bukan mati konyol. Kalau meninggal karena tak pakai masker, tak peduli protokol kesehatan saat wabah terjadi, itu ibarat memberikan leher untuk di tebas musuh. Ya mati konyol.... Assalaamu'alaikum!" ujar saya, sambil berlalu. (*)

Kisah "Taman Endog" dan Pasar Sandang Sumedang, dari Hoax hingga Fakta

ENTAH apa yang dipikirkan warga Sumedang saat pertama kali Taman Endog itu dibangun. Pada zaman, ketika sumber informasi sangat terbatas, dan percepatan sebaran informasi tak semassif hari ini, warga hanya bisa menerima satu sumber resmi.

Taman Endog Sumedang
Foto Koleksi Pribadi tahun 2021

 Untuk apa Taman Endog itu dibangun? Dalam rangka apa monumen di dekat jembatan pasifik itu didirikan?

Hanya orang-orang pemerintahan dan kalangan tertentu yang tahu. Mereka yang bertanya, mencatat, dan mengabarkan, mungkin merasa lebih nyaman menyimpan cerita-cerita lain di luar jawaban resmi sebagai catatan pribadi.

Saya sendiri masih duduk di kelas 2 bangku SMP saat Taman Endog diresmikan. Dan tulisan ini berdasar pada ingatan seorang anak berusia 14 tahun tentang apa yang dilihat dan didengarnya. Jadi jangan dianggap serius.

Sebagai pelengkap, saya masukan pula narasi yang berasal dari dokumen dan buku-buku sejarah tentang kota leutik campernik itu.
**
Saat menjabat sebagai Regent van Sumedang, Pangeran Aria Soeri Atmadja melakukan penataan kawasan Kota Sumedang. Untuk kawasan bisnis dan perdagangan (selanjutnya kita sebut sebagai pasar), itu ditempatkan sekitar 1 kilometer dari Gedong Bengkok yang menjadi kantor pusat pemerintahan saat itu.

Di kawasan pasar itu, dibangun pula pos polisi yang hingga pertengahan dekada 2000-an, kita kenal sebagai Markas Polsek Sumedang Utara. Kini kembali menjadi pos polisi, setelah Mapolsek Sumedang Utara menempati bangunan baru di kawasan Rancamulya.

Seiring laju pertumbuhan penduduk, dan dinamika sosial ekonomi di Sumedang hingga akhir dekade 1980-an, lokasi pasar utama sudah sesak oleh pedagang. Los-los pasar yang berada tepat di pinggir Jalan Mayor Abdurahman berpotensi menimbulkan kesemwarutan tata kota. Maka, Pemerintah Daerah TIngkat 2 Kabupaten Sumedang saat itu berencana melakukan relokasi dan menata ulang pasar sandang Sumedang.

Tentu tak mudah mengubah mindset dan kebiasaan. Tak mudah meyakinkan para pedagang untuk ditempatkan ke lokasi baru. Besar atau kecil, pasti ada penentangan dari kaum pedagang.

Meski di zaman itu, sangat mudah Pemerintah menggunakan tangan besi, tapi saya berasumi, Pemkab Sumedang yang dipimpin oleh Bupati Drs. H. Sutardja, memilih jalan persuasif. Dan untuk itu, tentu saja selalu butuh alasan yang bisa diterima terutama oleh hati dan keyakinan warga Sumedang umumnya.

Nah, saya ingat betul, saat itu berkembang isu (saya sendiri saat ini menilai itu adalah hoax) bahwa di kalangan warga Sumedang, bahwa konon pemerintah pusat melalui Pak Sudomo (Mantan Pangkopkamtib, seorang menteri yang sangat berpengaruh di zaman itu, dan beragam Kristen), akan membangun sebuah gereja di tengah Kota Sumedang. Pemerintah pusat meminta lahan pasar untuk direlokasi, karena lahan itu dipilih untuk dibangun sebuah gereja.

"Cenah mah, Sudomo rek ngabangun gereja di dieu, jadi ku Pak Sutardja (Bupati Sumedang) dipiheulaan we dijieun taman," ujar Mang Uca Cahyana, salah seorang pedagang pasar yang akrab dengan saya, dulu. Kenapa akrab? Karena dia dulu pernah kos di rumah nenek saya.

Tentu saja, kita tidak bisa percaya begitu saja dengan kabar yang disampaikan Mang Uca seperti itu. Bahkan mungkin tertawa kecil mendengarnya.

Tapi benak saya menilai saat ini ucapan Mang Uca itu cukup logis sebagai suatu alasan yang sengaja dibuat pihak tertentu (entah siapa), agar tidak terjadi penentangan dari kaum pedagang di pasar yang akan direlokasi.

Memang, situasi sosial politik zaman itu, ketika rezim Orde Baru terkesan menekan kelompok-kelompok Islam. Kasus Tanjungpriok (1983), dan Tragedi Woyla (1984), terekam kuat dalam ikatan kolektif masyarakat Indonesia termasuk warga Sumedang.

Jadi, daripada dibangun gereja ditempat itu yang pastinya akan bertentangan dengan hati dan keyakinan kebanyakan kaum Muslim di Sumedang, maka Bupati Sutardja mendahuluinya dengan membangun sebuah taman. Begitulah kira-kira. Ya..anggap saja cocoklogi. hehehe...

Wallahu alam bisshowwab. Tapi yang pasti, relokasi pasar sandang itu terjadi dengan mulus. Pedagang setuju dan dengan tertib memindahkan kiosnya, mengisi kios di los-los pasar yang baru di sebelah timur.

Lalu, sebuah taman pun dibangun, lengkap dengan patung Endog (telur) yang sedang disangga oleh dua belah tangan. Taman dan patung endog itu selesai dibangun tahun 1991 dan diresmikan oleh Bupati Sutardja.

Maka, kawasan itu pun tidak lagi nampak kumuh. Jalan Mayor Abdurachman sampai pertigaan ke arah Panyingkiran, yang biasanya macet oleh aktifitas pedagang, pembeli serta kendaraan angkutan umum, jadi lancar dan tetata lebih rapih.

Nah, jadi mungkin inilah sebetulnya tujuan dari relokasi dan pembangunan taman Endog itu.

Pembangunannya sendiri berkat kerjasama antara Pemerintah Daerah Tingkat II Sumedang dengan PT. Djarum. Itu tertera dalam prasasti tertulis di salah satu sisi monumen atau patung Endog itu.

Di sisi lainnya terdapat sebuah pesan bertuliskan :

Sumedang Tandang Nyandang Kahayang;

Pembangunan berbagai sendi kehidupan adalah milik kita. Roda kehidupan terus berputar, yang terlahir demi pembangunan, menempuh perjalanan panjang, pembangunan takkan pernah berhenti, kehati-hatian itu adalah kata hati kita, langkah kitalah yang menopang gerak pembangunan, keberhasilan pun sempat kita jelang, tapi perlu kita jaga lir ibarat nanggeuy endog beubeureumna.

Sumedang, 28 Oktober 1991,
Bupati / Kepala Daerah Tingkat II

Drs. H. Sutardja

Kalimat terakhir "lir ibarat nanggeuy endog beubeureumna", itu berupa peribahasa dalam bahasa Sunda yang dapat bermakna, menjaga dengan sungguh-sungguh, penuh kehati-hatian.  

Dari kalimat itu pula, ditambah dengan bentuk monumen di tengah taman itu sendiri, maka warga Sumedang kemudian sepakat menamai taman itu dengan Taman Endog.

Dulu ada teman saya yang menulis Taman Endog itu dengan padanan kata Bahasa Indonesia, sehingga ditulisnya jadi "Taman Telur". Saya protes. Alasannya, pertama, karena penulisan untuk nama tempat itu tidak harus diterjemahkan. Kedua, ya tidak enak saja didengarnya. Hehehe... 

***
Selanjutnya, dua puluh empat tahun kemudian, tepatnya sekitar akhir tahun 2015, kawasan pasar sandang direnovasi dan direvitalisasi, sehingga nampak seperti saat ini. Pihak swasta bermodal besar masuk menjadi investor dalam proyek itu.

Penolakan atas rencana itu warga pedagang pasar terjadi besar-besaran. Pembongkaran los bangunan pasar sampai dilakukan di malam hari dengan kawalan ketat Satpol PP yang dibantu Polisi dan TNI. Saat alat-alat berat itu mulai beroperasi, para pedagang masih melakukan perlawanan, meski bentrokan besar tidak terjadi.

Untunglah, semua pihak berkoordinasi . Meski harus berjalan dengan alot, jalan musyawarah dengan para pedagang pasar akhirnya menuai kesepakatan. Bangunan dan los-los pasar yang baru pun kemudian berhasil dibangun lebih tetata rapi dan dibuat menjadi tiga lantai.

Tapi tantangan zaman tidak berhenti. Era disrupsi digital datang, menggeser perilaku pembeli. Para konsumen kini (terutama kaum milenial) lebih senang berbelanja online.

Entah ada hubungannya atau tidak, tapi sampai saat ini banyak kios-kios di lantai dua dan tiga pasar itu yang tutup, tak terisi. Dan pera pemilik kios di lantai satu pun kerap mengeluh sepi pembeli.

Demikianlah.