Sunday, June 11, 2023

Taman Balaikota Bandung 1994, Keakraban dan Persahabatan Jauh Lebih Berarti dari Piala LBB itu

SIANG itu, bulan Juli 1994, usai pulang sekolah, Kang Ridwan Mustofa, dan beberapa senior kelas 3, mengumpulkan kami, angkatan "Taruna Bangsa 93" Paskibra Smansa Sumedang, di Aula sekolah. Saat itu, disampaikanlah bahwa kami harus mengikuti lomba baris berbaris (LBB) yang digelar oleh Paskibra Kota Bandung. 

Satu peleton disiapkan untuk itu. Dan aku sendiri, hanya menjadi personel cadangan. Aku senang saja sebagai cadangan. Setidaknya aku bisa turut bersama teman-teman, menemani perjuangan mereka. 

Paskibra Smansa "Taruna Bangsa" saat ikut LBB
di Taman Balaikota Bandung, 5 Agustus 1994. 

Demi menghemat tenaga dan konsentrasi, maka kami memutuskan untuk menginap satu hari di Bandung. Untuk itu, Asep Indra Gumilar (Ige), sahabat baikku sejak SMP, kembali berperan besar. Dia mempersilahkan rumah orangtuanya di Komplek Arcamanik Kota Bandung, untuk dijadikan tempat menginap seluruh tim. Maka kami pun berangkat Sabtu sore 4 Agustus 1994 menuju rumah Ige, di Bandung.

Sekedar catatan saja, pasukan yang ikut ke Bandung saat itu adalah; Windhu Tresna, Roni Tonius, Rika Romayanti, Yunyun Yuniar, Nia Dwi, Tita Roosdiana (botit), Dianty Soberlin (Berlin), Taufik Priatna, Gumelar, Dendi, Alya Fadhila, Ige, Erna, Aten Satiana, dan Meti.

Mereka adalah anggota inti. Sementara Mahmud Fasya, Rudi Pebriana, Nova Rukhaida, Heni Rohani, Deci Kuswardhani, dan saya sendiri sebagai anggota cadangan sekaligus penggembira.

Kami sudah menginjak di kelas 2 saat itu. Hanya Kang Yayan Yunari, senior kelas 3 ditunjuk sebagai danton. Entah alasannya apa. Mungkin karena dari seluruh anggota pasukan Taruna Bangsa, suaranya cempreng semua. Kurang nge-bass. Hehehe..
  
Selain Kang Yayan, senior kelas 3 yang membimbing kami antara lain Kang Ridwan Mustofa, Kang Ade, Kang Cecep Ridwan serta Teh Wiwin.

Guru Pembina eskul Paskibra yang turut hadir dan menginap di rumah Ige itu adalah Pak Timbul Kusdiantoro, dan Pak Ujang Sudrajat (Allahuyarham). Adapun Bu Tuti Supriati (sebagai salah seorang pembina OSIS) bergabung di lokasi kegiatan. Bahkan aku ingat, saat sudah di lokasi lomba, datang pula Kang Kurniawan Hidayat, senior yang sudah menjadi alumni, datang menyemangati kami. Dia anggota Purna Paskibraka Indonesia 1992.

Satu yang cukup berkesan saat itu adalah bergabungnya seorang siswi pindahan asal Jakarta. Namanya Nia Dwi Jualianti. Pengalaman Nia saat menjadi anggota Paskibra di sekolah lamanya di Jakarta, membuat dia cepat bahkan langsung bisa beradaptasi dengan kami sebagai satu pasukan. Bahkan, Nia DJ terpilih dalam seleksi calon anggota Paskibraka DKI Jakarta dan siap mengibarkan bendera tanggal 17 Agustus 1994. Tapi kepindahannya ke Sumedang, membuat hal itu tak terjadi. 

Nia yang cantik, tubuhnya semampai ideal, pandai bergaul, khas anak kota, namun tidak sombong, tentu membuat kami senang. Beberapa di antara kami bahkan para senior kelas 3, nampak berupaya tebar pesona di depan dia. Hahahaha... tapi yang kutahu semua gagal. Nia hanya senyum-senyum, manis dan ramah menanggapi mereka semua.

Oiya, saat itu pun mulai bergabung Rudi Pebriana, sahabat sepermainan sejak SMP. Dia pindahan dari SMA Tanjungsari, dan turut bergabung di Paskibra.

Selepas maghrib, kami tiba di Arcamanik. Pak Dodi Kusumaningrat (allahuryarham) ayah Ige, dan Mamah (saya memanggil ibunya Ige), serta si Ade bayi (adik bungsu Ige) yang saat itu sudah bisa berjalan, menyambut kami.

Karena mungkin hanya Aku dan Rudi yang dikenal baik oleh orang tua Ige, maka merekalah yang memintaku dan Rudi untuk turut mempersiapkan segala sesuatunya di rumah itu. Aku pun tentu saja tak sungkan. Tak merasa menjadi tamu.

Waktu senggang selepas Isya dan sudah pada mandi, senang rasanya kami berkumpul bersama, ngobrol, becanda, bernyanyi bersama, dalam suasana yang berbeda dari hari-hari biasa.

Kami saat itu tanpa Arif, Rizti, dan Dwi Kiki. Arif masuk barak calon anggota Paskibraka Jawa Barat. Sementara Rizti dan Dwi Kiki masuk barak capaska Sumedang. Hanya tiga teman itulah yang terpilih dalam seleksi.

Di antara teman-teman Paskibra, aku terbilang yang paling lancar bermain gitar. Beberapa lagu yang sedang Hits saat itu pun dinyanyikanku bersama beberapa orang teman.

Tentu saja petikan gitarku, jangan dibandingkan dengan Kang Cecep Ganda, atau anak-anak band. Yang penting asal Chord-nya masuk, dan genjrengnya tepat saja. Tapi karena ada Nia DJ, si anggota baru itu, aku berusaha memetik gitar sehebat mungkin, sebagus mungkin, sebisaku. Dan akhirnya berhasil juga membuat dia menyapaku dengan senyum. Hahahah...

“Eh nyanyiin lagu Fixing a Broken Heart, dong” kata Nia DJ nyeletuk.

"Oh..euu..iya...eh yang mana ya?" tanyaku. Wajahku mulai terasa blo'on.

Seperti pernah dibilang oleh Nova Rukhaida (anak Fisika 1), aku merasa PLUTO...Polos, Lugu, dan Tolol.

"Ah masa sih gak tau, itu tuh lagunya Indecent Obsession, bisa kan?," kata Nia, dengan wajah yang tetap ramah, dan tersenyum padaku.

Sejujurnya aku tak tahu. Maklum, tak seperti kebanyakan teman-teman yang selalu up to date dengan trend remaja saat itu, sejak SMP aku memang lebih suka lagu dari artis Indonesia, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Chrisye, dan lagu-lagu jadul dari Koes Plus, Panbers, Madesya Grup. Dan..hmm...sedikit ku suka dangdutnya Bang Haji Oma Irama. Kalau lagu sunda, ya Kang Doel Sumbang, dan Darso.

Maka, saat Nia DJ request lagu itu, meskipun memang sedang hits, aku celingak-celinguk tak karuan.

"Hmm..gini nih...," kata Nia, sambil mendekat, duduk di sampingku, di teras rumah Ige, sambil terus bersenandung, mengajariku nada dan liriknya.

Akhirnya aku coba-coba saja. Dengan sedikit memejamkan mata, bergaya seperti seorang musisi hebat menyusun chord lagu, saya berusaha kuat supaya Nia DJ tak kecewa. Hasilnya lumayan. Setidaknya tak membuat Nia serta temen-temen yang denger mengerutkan kening karena sumbang.

"Lagu lain, bisa gak, Lagunya Whitney Houston ?" kata Nia. Suaranya begitu terdengar syahdu.

"Iya Cus, lagunya Saigon Kick bisa gak?" kata Deci Kuswardhani, ikutan nibrung.

Tentu kedua request ttu kujawab dengan geleng-geleng kepala. Ampuuun dah...lagu barat, aku tak bisa. Hahaha..  

Begitulah yang kuingat. Selanjutnya, aku, Dendi, Nia, Deci, Yuyun, Henti, dan Alya, asyik bercengkrama dan nyanyi-nyanyi bersama mengisi waktu malam itu.

Di rumah Ige itu, semua terlihat enjoy. Senioritas dan suasana formal yang biasa terjadi dalam barisan Paskibra sepertinya tidak berlaku. Pak Timbul, Kang Ridwan Mustafa dan lain-lain, malah ikut bercanda, bercengkrama.

Dari ruang tengah, kudengar Taufiq Priatna tawa terbahak-bahak, nampak senang ketika kartu dominonya berhasil poldan. Ada pula Mahmud yang nampak serius ngobrol sama Aten dan Gumelar. Lalu Ige, kawan karibku itu nampak ngobrol becanda dengan Berlin, Botit, Meti, dan lain-lain.

Setelah asyik nyanyi bersama, Nia Dj, dan Alya, memilih masuk bergabung ke ruang tengah. Tinggal saya dan Yunyun di teras rumah.

Saat itulah aku mulai berterus terang kepada Yunyun tentang si Bidadari yang nyuci kaki depan kelas. (Kisah si Bidadari itu jadi inspirasi novel pertama yang saya tulis). Aku merasa perlu curhat kepada dia, karena Yunyun adalah teman sebangku si bidadari saat di kelas. Tentu ada kedekatan yang lebih dibanding yang lain.

“Adeuuh…nyaan yeuh? Ke ku Yunyun disaurkeun,” kata dia sambil senyum.

“Eh..tapi kumaha ceritana bisa naksir?” lanjut Yuyun, bertanya.

“Panjanglah cerita na mah. Tapi..euu dia ayeuna tos gaduh kabogoh teu acan nya Yun?” kataku balik bertanya.

“Duka tah perkawis eta mah. Tapi perasaan Yun mah, jigana belum tah. Sok atuh deketin, didukunglah,” kata Yunyun sambil senyum-senyum gitu.

“Mungkin teu nya?,” tanyaku, seperti bicara pada diri sendiri.

“Mungkin Naon?,” jawab Yunyun

“Ah henteu…hahah…salam we heula nya..,” kataku.

“Ah teu puguh,” kata Yunyun.

Aku tertawa. Sesaat kemudian, datanglah teman-teman yang lain bergabung, dan kami pun melanjutkan dengan obrolan yang lain.

Baru sekitar puku 23.00, Kang Ridwan Mustafa meminta kami semua untuk segera tidur, karena keesokan harinya kami akan mengikuti lomba yang bertempat di Balai Kota Bandung.

Aku sendiri bukan pasukan inti. Karenanya, senior memaklumiku bila tak taat instruksi untuk segera tidur. Apalagi, di rumah itu, orang tua Ige mengandalkanku untuk membantu melayani teman-teman.

Ketika teman-teman tidur atau setidaknya berusaha untuk tidur, saya tetap saja duduk di teras rumah. Seperti kebiasaanku, merenung sendiri. Namun tentu tak berani merokok. Hehehe...

Aku memeluk kedua lututku. Suasana sekitar mulai hening. Obrolan dengan Yunyun sesaat sebelumnya, membuatku senyum-senyum sendiri. Ada sesuatu di rongga dadaku yang ingin kuungkapkan. Tapi kepada siapa?

Aku menoleh ke ruang tamu, tempat di mana teman-temanku tidur seperti di barak saat pelantikan dulu. Terbayang beberapa kisah selama kami semua senasib dan seperjuangan saat kelas 1. Aku bangga pada teman-temanku. Aku senang telah kenal, dan bersama mereka di Paskibra.

“Can tunduh Sas?” kataku pada Sastra yang nampak belum ngantuk, dan sedang menonton siaran televisi, bersama beberapa kawan dan senior.

“Acan euy. Maneh keur naon? Geura sare, ” ujarnya sambil senyum. Aku menjawabnya dengan tersenyum. Saat itu dia belum sangat akrab denganku.

Aku terus saja melamun di luar. Jujur, ingin sekali aku merokok saat itu. Tapi tak mungkin tega, aku merokok di depan teman-temanku. Bukannya takut. Tapi aku menghargai korps, guru-guru kami, dan tentu saja kedua orang tua Ige.

Saat itulah Deci menghampiriku. Dia sama denganku, bukan anggota pasukan inti yang akan berlomba.

“Dieu Ci,” kataku mempersilahkannya duduk di sampingku. Kami kemudian ngobrol.

“Hayoh keur ngalamun tentang saha?," tanya Deci sambil nyengir.

Deci memang salah satu sahabat perempuan yang akrab denganku. Dia teman curhat dan ngobrol yang asyik dan hangat. Aku bisa bicara apa saja pada dia tentang apapun, termasuk urusan cinta. Hahaha.. Selain Arif dan Sastra, dia selalu ada menampung gelisahku untuk urusan itu.

Maka tak heran bila malam itu, aku terus terang tentang si Bidadari kepadanya. Aku belajar memahami seperti apa dan bagaimana cara pendekatan yang baik untuk mendapat perhatian seorang perempuan yang kutaksir. Ah..aku memang Pluto untuk urusan ini. Istilah saat itu, "kurang kawani". Jauh bila dibanding Arif dan Sastra. hahaha..

Beberapa saat kemudian Deci pamit masuk ke dalam rumah, dan aku tetap di teras. Obrolan dengan Deci tentang dia. tertancap di benak, dan pelan-pelan merasuki hati, menghidupkan kembali sesuatu yang kusimpan di dalamnya, sejak pertemuan di Gunung Palasari.

“*..! Mungkinkah?!,” gumamku, sambil menghela nafas, mengakhiri lamunan.

Aku langsung masuk rumah, dan bergabung dengan Sastra, nonton tv hingga tertidur.

**

Esok harinya, 5 Agustus 1994. setelah bersiap, pamit dan berterima kasih kepada kedua orang tua Ige, kami semua meluncur ke tempat lomba. Kami bertemu dengan sesama anggota Paskibra dari sekolah lain se-Jawa Barat. Lomba pun berlangsung, dan kami tak masuk kategori juara.

Bagaimana bisa juara. Dari seluruh pasukan se Jawa Barat, hanya Paskibra Smansa Sumedang yang memakai seragam putih-abu. Sangat sederhana sekali. Para peserta lain menggnakan baju seragam lapangan khas mereka, lengkap dengna atribut kebesaran satuan mereka.

Bukan juara yang kami kejar. Tapi pengalaman, keakraban, kebersamaan, dan suasana yang hangat saat kami datang ke Bandung itulah yang bagiku jauh lebih berarti daripada piala lomba atau gelar juara.

Dan bagiku sendiri, momen itu menjadi momen di mana untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Taman Balaikota Bandung. Aku tak pernah menyangka, jika taman dengan pepohonan yang teduh serta patung Badak Putih di tengahnya itu, menjadi tempat yang akrab denganku beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah di Bandung, dengan kisah yang lain, yang berbeda, tapi tak kalah indah. (*)



Saturday, June 10, 2023

PELANTIKAN ASDS: Ditampar, Dibentak, dan Senior Tidak Pernah Salah



Sore itu, Sabtu 18 September 1993, sekitar pukul 15.30 saya dan teman-teman calon anggota Ambalan Soeria Atmadja Dewi Sartika (ASDS) tiba di Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua. Kami semua akan mengakhiri "masa tamu" dan dilantik menjadi anggota. Seingat saya, pelantikan angkatan kami adalah yang terakhir dilakukan di Kawasan Mata Air Ciembutan. Setelah kami, tak pernah ada lagi pelantikan ASDS di situ, hingga kini.

***

Pelantikan ASDS 1993 di Mata Air Ciembutan
Kak Budi Raharja (paling ddepan mengangkat tangan)
Kak Cuanda Almarhum (kaos biru dongker, di kanan)

Sebuah truk dolak mengangkut kami berangkat dari sekolah, seperti sepasukan relawan tempur yang siap di medan perang. Atau mungkin sama seperti rombongan sapi-sapi kurban idul adha...haha.

Di dalam truk kami berjejalan. Yang saya ingat ada 76 orang calon anggota ASDS angkatan kami yang hendak di lantik. Kami diangkut bersama sejumlah barang-barang seperti tenda, tongkat pramuka, dan peralatan kemah lainnya. Tapi kami semua bergembira.

Dari pemberhtentian truk , kami terus berjalan menuju lapang desa. Di sana kami kemudian berbaris, lalu kakak-kakak senior yang mulai memasang wajah garang, membagi kami dalam beberapa kelompok. Lalu setelah sedikit diberi "olahraga" kecil, kami kemudian dibubarkan dengan satu perintah, membuat tenda regu.

Tentu saja, tenda "Soeria" (sebutan untuk anggota laki-laki) terpisah dengan tenda "Radesa" (sebutan untuk anggota perempuan). Tapi jika disuruh berkumpul di lapangan, kami berbaris berdasarkan regu yang terdiri dari "Soeria-Radesa".

Di tengah kesibukan membuat tenda, beberapa senior Soeria nampak mengawasi kami. Mata mereka tajam. Tidak ada wajah ramah. Sesekali mereka membentak. Ada yang mengejek, ada pula yang meledek. Cuma beberapa yang kuketahui sebagai Dewan Ambalan saat itu yang nampak tenang dan masih sedikit berwajah ramah, seperti Kak Kosasih, Teh Gilang, Teh Santi, Kak Cuanda (almarhum), Kak Ujang, dan beberapa lainnya. Kalau Kak Budi Raharja, Hmmmm..ya dia mah memang gitu. Galak tapi cempreng..hahaha.

Sekitar pukul 19.30 selepas isya, Upacara Pembukaan acara dilakukan di tengah-tengah api unggun yang berkobar. Pak Wahyu Budiman, sebagai Pembina ASDS menjadi inspektur upacara. Suasana mulai terasa khidmat. Jujur saya merinding melihat kobaran api unggun itu. Entahlah.

Suasana agak mencair saat kami semua wajib menampilkan atraksi menyanyi, menari, atau apapun untuk mengisi acara hiburan api unggun. Beberapa teman nampak menikmati, sementara saya sendiri merasa "garing". Saya lebih sibuk dengan pertanyaan di dalam benak saya, apa selanjutnya setelah keakraban ini? Apa rencana kakak-kakak terhadap kami? Seperti apa pelantikan semalam suntuk ini harus kami lalui? Begitulah kira-kira.

Acara api unggun selesai sekitar pukul 21.30, dan kami semua diperintah untuk memasuki tenda regu masing-masing dan tidur.

Kami semua sudah tahu, bahwa tidak mungkin kami tidur. Kami harus bersiap bahwa kami akan dibangunkan lagi. Itu karena Api Unggun itu baru pembukaan. Acara inti pelantikan belum dimulai sama sekali. Maka meski mulai terasa ada kantuk, saya tetap berjaga. Tapi ada juga teman yang tertidur.

Benar saja. Baru sekitar setengah jam kami masuk tenda, suara bentakan, teriakan, caci maki, sumpah serapah, seperti berondongan senjata otomatis AK-47. Saya yang sejak tadi tidak membuka sepatu dan tetap bersiaga dengan segala atribut dan peralatan yang wajib kami pakai selama pelantikan, segera membangunkan teman-teman dan segera membentuk barisan. Maklum, saya Ketua Regu saat itu.

Mata saya sempat melirik ke arah tenda di kanan saya. Saya melihat seorang senior menarik kerah baju salah seorang teman dari regu lain, dan menyeretnya keluar tenda. Namun sebuah dorongan pun membuat saya hampir jatuh ke tanah, dan segera berlari berasama regu saya ke titik kumpul.

Dalam suasana gelap, dibangunkan mendadak lenkap dengan segala macam bentakan, kami dikumpulkan di tengah lapang.

Dengan wajah garang dan bentakan yang nyaris tak pernah berhenti, para senior itu memeriksa kami. Tak pelak kami mendapat tamparan hingga push up. Entah sudah berapa kali. Tak terhitung. Setiap seorang melakukan kesalahan atau tidak lengkap memakai atribut, satu regu harus kena getanya. Dan itu konon dilakukan atas nama KORSA. Ah..saat itu saya tak faham, apa itu Korsa.

Setelah puas membentak dan menghukum kami, para senior itu kemudian berkumpul di tempat tersendiri, dan membiarkan Kak Budi Raharja yang berbicara di depan kami. Saya lupa apa yang disampaikannya.

Saat itu, di tengah keremangan lampu petromak yang dipasang di depan tenda panitia saya melihat banyak orang-orang yang tidak kukenal. Mereka tidak berpakaian atau menggunakan atribut pramuka., Bahkan beberapa di antaranya asyik merokok. Ada yang sudah berkumis. Ada yang berambut gondrong, dan sebagainya. Tak cuma pria. Saat mereka bercengkrama, kudengar suara khas perempuan.

Sampai detik itu saya tidak tahu siapa mereka. Tapi kulihat senior-senior kelas 2 dan kelas 3 begitu hormat kepada mereka. Barulah saat memasuki setiap pos dalam acara Jurit Malam di pelantikan itu kutahu mereka adalah Anggota Kehormatan ASDS atau alumni SMAN 1 Sumedang yang semasa sekolah menjadi anggota ASDS.

Acara Jurit Malam menurutku, tegang tapi mengasyikan juga. Ada senior yang menakut-nakuti kami dengan barang-barang seperti labu hallowen, atau suara-suara aneh menyerupai sesuatu, tapi di telingaku malah terdengar lucu.

Saat melintasi pematang-pematang sawah, tidak cuma ular yang melintas (seperti yang pernah kuceritakan), tapi juga boneka-boneka sawah atau kami menyebutnya "bebegig sawah" nampak bergerak-gerak, sengaja digerakan menakut-nakuti kami. Saat berjumpa dengan senior pun, mereka seperti menyugesti kami dengan kalimat; "Tetap hati-hati, jangan melamun, baca ayat quran, dan sebagainya"

Bagi saya biasa saja. Barangkali, satu-satunya yang membuat saya kaget justru si Ular Sialan itu. Tapi memang kudengar pula bahwa ada teman kami yang kesurupan di salah satu pos. Saya lupa siapa. Tapi memang saat itu cukup heboh.

Selanjutnya, setelah melewati pos terakhir, regu yang saya pimpin tiba kembali di lapangan. Perasaan lelah mulai menerpa. Tapi kami harus bertahan, karena kami kini berhadapan dengan para Anggota Kehormatan.

Tak ayal, bentakan dan tamparan kami dapatkan. Kami lebih banyak diam. Kalau pun menjawab atau berargumen selau saja salah. Karena merasa serba salah, saya memilih tidak banyak menjawab. Dan karena itu, saya memilih menerima tamparan, makian, atau push up. Yah...memang dalam hal seperti itu, "Senior Tidak Pernah Salah".

"Kamu mau melawan saya ya? Catat ya! Nama saya Iin Ruslan!" begitu bentak seorang anggota kehormatan. Wajahnya tepat sekitar dua jengkal dari muka saya.

Saya diam saja. Saya pastikan, menjawab pun pasti salah.

Beberapa saat kemudian, seorang anggota kehormatna lain datang mendekat. Seperti hendak melerai Kang Iin Ruslan itu.

"Sudah... ! Sekarang juga kamu cari yang namanya Taufik Gunawansyah. Suruh dia ke sini!" kata orang itu. Suaranya tenang meski terdengar membentak.

"Siap ! Saya tidak tahu siapa dan yang mana Taufiq Gunawansyah, Kak!" jawabku.

Yang menjawab malah Kang Iin Ruslan.

"Ya kalau kamu tidak tahu, cari tahu dong, gimana caranya. Tanya tuh senior kamu yang lain," ujar Kang Iin, dan,

"Plak..plak..", sepasang tamparan gulungan koran yang dia pegang, mendarat di kedua belah pipi saya.

"Siap Kak !" jawab saya, lalu balik kanan.

Karena bingung harus bertanya ke siapa, maka saya saat itu juga langsung teriak-teriak.

"Yang namanya Taufiq Gunawansyah segera menghadap Kang Iin Ruslan..!" teriak saya, berkali-kali.

Saat berteriak seperti itu, saya mendengar Kang Iin dan para anggota kehormatan itu ramai tertawa terbahak-bahak. Saya tidak tahu apa yang mereka tertawakan.

"Hey kamu! Ke sini!" ujar seorang anggota kehormatan yang tadi menyuruh saya mencari

Saya berhenti teriak, lalu menghadap kepadanya.

"Kamu tahu tidak Taufiq Gunawansyah yang mana, hah?! Siapa yang menyuruh Taufiq Gunawansyah menghadap Kak Iin Ruslan, hah!? Saya tidak menyuruh begitu!" ujarnya, membentak saya. Tapi tidak seperti senior lain, dia tidak menampar atau menyuruh saya push up.

"Kenapa kamu tambah-tambah seperti itu?" tanya dia.

"Biar cepat Kak !" jawab saya.

"Biar cepat? Bagaimana, hah?" tanya dia. Sementara senior yang lain mulai kembali terbahak-bahak.

"Saya tidak tahu Taufik GUnawansyah. Dia juga tidak tahu kepada saya. Tapi saya yakin dia teman Kak Iin. Maka supaya cepat, saya bilang disuruh menghadap Kak Iin," jawab saya. Sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan.

"Eeh...apa kamu? Mau jual-jual nama saya, goblok kamu, berani sama saya ya?!" bentak Kak Iin Ruslan. Dan lagi-lagi pipi saya mendapat tamparan gulungan koran.

Saya diam dan mulai merasa lelah. Saya membayangkan betapa enaknya tidur dalam tenda. Sementara para senior anggota kehormatan itu terus saja membentak, menampar, menyuruh push up, menyuruh kami semua mengerjakan hal-hal aneh yang barangkali gak mungkin kami lakukan.

Setelah puas mengerjai saya dan teman-teman regu saya, Kak Iin Ruslan suaranya mulai datar. Tak lagi membentak.

"Coba kamu menghadap ke yang nyuruh kamu tadi, kenalan sama dia. Bilang kata Kak Iin disuruh kenalan gitu!," perintahnya.

Setelah menjawab "Siap!" saya melangkah menghadap seorang senior anggota kehormatan yang tadi menyuruh saya mencari Taufik Gunawansyah. Dia nampak merokok. Tangannya sedang memegang cangkir minum. Mungkin berisi seduhan kopi. Saat itu dia sedang ngobrol dengan seorang senior perempuan, berkerudung. Entah siapa.

"Siap Kak, nama saya Kurniawan. Maaf, saya mau kenalan sama kakak. Disuruh sama Kak Iin," ujar dia.

"Hehehe.... kamu yang tadi saya suruh nyari Taufiq Gunawansyah ya?," tanya dia.

"Siap kak!," jawab saya.

"Saya Taufik Gunawansyah! Sudah sana kembali ke Si Iin. Bilang sudah kenalan," jawabnya santai, lalu kembali ngobrol berdua dengan teteh anggota kehormatan di depannya.

Setelah balik kanan, sambil melangkah kembali ke Kak Iin, hati saya berkata;

"Sialan !!!"

Hahahahhahahaha,.....

Bertahun-tahun setelah pelantikan itu, saya kemudian mengenal Kak Taufiq GUnawansyah itu sebagai sosok yang lain. Saya tidak perlu menjelaskan siapa dan bagaimana dia di Sumedang ini. Bagi saya, Taufiq Gunawansyah ya Taufiq Gunawansyah saja, senior ASDS yang saya hormati, dan mengerjai saya dalam pelantikan yang berkesan dalam. Itu saja.

Esok harinya, sekitar pukul 06.30 Kak Budi Raharja kemudian membawa kami menyusuri jalan setapak menuju Mata Air Ciembutan. Anak-anak Soeria disuruh berendam di sekitar mata air, sebelum kami membacakan Sandi Ambalan Soeria Atmadja. 

Lega rasanya. Karena dengan menyebut Sandi Ambalan itu, secara de facto, kami telah diterima  sebagai anggota. Sisanya tinggal hura-hura pelantikan dengan tingkah senior yang mempermainkan kami saja, tapi penuh dengan kehangatan dan keakraban. 

Demikianlah.
  















Sunday, June 4, 2023

KISAH LUGU PUTIH ABU: Pengalaman Pertama Ikut Survei LLA Pramuka ASDS, Bertemu Teman Cantik

LOMBA Lintas Alam (LLA) adalah kegiatan populer saat itu yang dilaksanakan oleh Ambalan Pramuka Soeriaatmadja-Dewi Sartika (ASDS) Gugus Depan SMAN 1 Sumedang.

Pada tahun 1993, ASDS kembali menggelar acara itu. Kalau tidak salah ingat, digelar awal bulan September. Aku lupa ini LLA edisi yang ke berapa.

Layaknya anggota baru, aku dan anak-anak kelas 1 lainnya dilibatkan dijajaran paling depan kepanitiaan. Aku bertugas di Seksi Lapangan, yang bertanggungjawab atas rute, serta medan lomba lintas alam.

Seksi itu diketuai oleh Kak Budi Raharja, kakak kelas 3 Biologi. Orangnya tenang, tapi kalau sudah teriak-teriak, suaranya khas, cempreng. Kak Budi ini selalu meyakinkan bahwa yang bergabung di seksi lapangan haruslah orang-orang yang tangguh dan siap menempuh perjalanan jauh, melintasi jalan setapak, menerabas semak-semak, mendaki atau menyusuri sungai. Hujan atau panas.

“Kalian seksi lapangan, itu bukan anak-anak cengeng dan loyo. Kalau kalian merasa loyo dan tidak mampu, gabung aja sama seksi yang lain,” kata Kang Budi saat brifing.

Dia coba tampil berwibawa. Dan berhasil. Namun itu suaranya, tetap saja cempreng.

***

Start Keberangkatan Peserta LLA ASDS di Tahun 1990-an
Foto Koleksi Pribadi "Sang Kelana"

Minggu pagi, bulan Agustus 1993, untuk pertamakalinya digelar Survei gabungan panitia lomba lintas alam di bawah koordinasi Seksi Lapangan Panitia LLA. Karena ini gabungan, maka yang ikut Survei bukan saja anak-anak pramuka, tetapi juga anak eskul lain, seperti Paskibra, Pecinta Alam (Repala Adinira), dan Palang Merah Remaja (PMR).

Cerah sekali pagi itu. Pukul 8 matahari sudah mulai terasa menyengat. Warna langit biru cerah, nyaris tak ada awan, kecuali tipis-tipis saja.

Setelah brifing, pukul 9 kami semua mulai berangkat Survei. Berangkat per kelompok eskul. Aku berangkat paling akhir. Kak Budi menugaskanku masuk ke kelompok terakhir sebagai tim penyapu rombongan.

Kawasan alam yang pertama kami masuki adalah Gunung Palasari. Jaraknya memang paling dekat dari sekolah. Tinggi gunung itu cuma ratusan meter saja di atas permukaan laut. Tidak terlalu terjal, bahkan kendaraan pun bisa sampai di puncaknya. Namun saat itu memang cukup merepotkan dilalui, terutama bagi mereka yang kurang suka kegiatan alam.

Aku berjalan sendirian, menyusuri jalan setapak yang mulai menanjak. Kiri dan kanan adalah belukar, rumpun bambu, dan pohon-pohon pinus. Yang terasa sial saat itu adalah sepatu boot ku agak kekecilan. Sehingga baru saja mulai menanjak, tumit rasanya mulai panas bergesekan dengan bagian dalam sepatuku.

Tepat menjelang puncak, aku melihat seorang kawan perempuan duduk beristrirahat di tepi jalan. Aku tak tahu dia anak eskul mana. Anak pramuka tentu kukenal. Anas Paskibra juga pasti kukenal. Jadi kemungkinannya, dia itu anak Repala atau anak PMR. Ah...mana kutahu saat itu.

Sekitar beberapa langkah aku akan melewatinya, mataku meliriknya. Dia tak acuh. Mungkin memang kecapaian. Wajahnya nampak memerah kepanasan. Nafasnya naik turun. Keringat nampak membasahi raut wajah yang kelelahan.

Aku pun tak acuh. Cuma tentu saja aku merasa perlu untuk berbasa-basi ketika hendak melewatinya.

“Hayu,” kataku. Mataku melihat ke arah jalan setapak.

“Mangga ti payun,” jawabnya. Saat itu aku tak tau seperti apa ekspresi wajahnya saat menjawab sapaanku. Tapi mungkin dia memang sedang lelah.

Aku pun terus berlalu hingga mencapai puncak Palasari. Di situ aku duduk bersandar pada sebuah pohon pinus. Aku pun bertemu dengan teman-teman lain yang juga sedang beristirahat. Sementara dari kejauhan kulihat rombongan yang pertama berangkat sudah mulai menuruni puncak, meneruskan perjalanan menyusuri rute yang akan dilombakan.

“Kumaha Kur? Capek?” sapa Kak Budi sambil menghampiriku.

“Ah deet keneh sakieu mah, Kang,” jawabku.

Tentu saja jawabanku tak jujur. Sesungguhnya tumitku terasa semakin panas saat itu.

“Sayah terus nya, Kamu coba catet titik-titik nu matak bingung, engke dipasang pos bayangan,” perintah Kak Budi.

Dia pun memintaku untuk menunggu rombongan terakhir yang masih tertinggal, di belakang kami, baru kemudian boleh meneruskan perjalanan.

"Tungguan heula rombongan terakhir. Engke kakara bergerak deui nya. Sayah duluan," kata Kak Budi dengan suara cemprengnya yang khas.

“Siap Kak,” jawabku sambil terus membuka sepatuku.

Dan benar saja, kulit sekitar tumitku menggelembung putih. Di dalamnya ada cairan. Pertanda lecet mendera.. Wajahku sedikit meringis. Sementara keringat sudah sejak tadi membasahi baju lapanganku.

Tak beberapa lama, rombongan terakhir tim survei pun tiba di puncak Palasari. Kulihat "Si Kerudung Putih" pun ada dalam rombongan itu. Hebatnya, mereka memilih tidak beristirihat di puncak, tapi memilih meneruskan perjalanan.

“Punten,” kata salah seorang dari mereka. Sementara si kerudung putih tak acuh, lewat di depanku..

“Mangga,” kataku pelan. Lalu meringis, menempelkan handyplast di kedua tumitku yang lecet.

Aku mulai bimbang, apakah meneruskan perjalanan atau pulang. Lecet di kakiku, mulai tak mau kompromi.

Namun memilih pulang atau terus ikut survei, sama saja. Aku tetap harus menuruni dulu Palasari sampai tiba di jalan desa. Maka setelah beberapa jarak rombongan terakhir lewat, seperti perintah Kak Budi, aku bersiap meneruskan langkahku.

Aku berdiri. Handyplast cukup membantu mengurangi sakit, ketika harus bergesekan lagi dengan sepatu boot sialan itu. Tapi tetap saja kakiku sedikit terpincang saat melangkah berjalan.

Beberapa saat berlalu. Karena rombongan terakhir ini berjalan cukup pelan, apalagi menuruni jalan yang penuh semak belukar, maka tak butuh waktu lama, aku sudah berada sekitar beberapa meter saja di belakang mereka. Dan si Kerudung putih itu kulihat berjalan paling belakang.

Dalam benakku saat itu, hanya ada satu hal: ingin cepat sampai di jalan desa. Di situ baru akan kuputuskan, jika kakiku tidak lagi terasa sakit, aku akan terus ikut survei. Tapi jiga ternyata lecet di kakiku makin parah, aku pulang.

Rombongan tim survei di depanku menuruni jalan setapak yang memang licin. Si kerudung putih kulihat susah payah memegang akar semak-semak agar tak jatuh. Lalu kulihat dia duduk dulu di atas tanah dan menghela nafas. Maka aku pun jadi melewatinya.

“Punten,” kataku.

“Mangga,” katanya, dia menoleh ke aku, dan dengan demikian untuk pertama kalinya aku dapat dengan jelas memandang wajahnya. Mata kami beradu pandang.

Dia tersenyum lalu menunduk. Tangannya memegang tali tas punggungnya. Aku tidak tahu dia senyum ke siapa atau kenapa. Mungkin kaget.

Aku sendiri, merasa terpana. Sesunggungnya, sejak dua bulan pertama jadi siswa SMA, aku baru melihatnya. Berkerudung putih, wajah yang anggun dan bersih, alis matanya yang tebal meneduhi sorot matanya yang bening. Pipinya memerah, dibasahi cucuran keringat. Dia lelah, tapi berusaha tersenyum. Akhirnya, jadi terlihat setengah meringis.

Itu kesan pertamaku saat beradu pandang dengannya, untuk pertama kalinya;. Tapi harus segera kulupakan. Karena ternyata lecet di kedua tumit kakiku makin terasa panas dan perih.

“Ti payun,” kataku ke dia, berbasa-basi.

Tibalah aku di jalan desa. Dan aku pun akhirnya memutuskan pulang. Padahal survei rute itu sendiri baru satu pos saja, belum apa-apa. Aku tak sempat melapor lagi sama Kak Budi. Di zaman itu belum ada handphone untuk SMS atau WA. Radio HT pun masih ekslusif dan mahal, bukan mainan anak SMA.

Maka, baru pada saat pertemuan latihan hari Jumat, aku didamprat Kak Budi. Suaranya yang cempreng terdengar seperti suara Gatotkaca anak Bima, saat marah kepadaku. Dia lalu menghukumku karena aku satu-satunya anggota Seksi Lapangan yang kabur saat survei itu. 

Dan aku menerimanya, lalu menjalani hukuman dengan senang hati. Aku sadar, lecet bukan alasan bagi sebuah pelarian atas tugas dan tanggungjawab. Apalagi LLA adalah agenda besar. Itu pelajaran berharga bagi anggota ASDS, dulu. Kalau sekarang? Ah...entahlah.

Lantas, siapakah si Kerudung Putih?

Sejujurnya, sejak saat itu aku lupa. Bahkan hingga beberapa waktu di sekolah, tak kuketahui siapa namanya dan anak kelas mana. Aku pun tak berusaha untuk tahu.

Sampai tiba pada suatu ketika yang membuatku kembali bertemu dengaannya. Lalu bergulir menjadi salah satu kisah terindah di masa SMA yang tak banyak orang tahu.

Siapakah dia? Ssst...Kalian jangan Kepo. Hahahhahaha... (*)
 


Saturday, June 3, 2023

FSBF Sumedang Sediakan Sapi Sehat dan Unggul untuk Berkurban

SEBENTAR lagi Hari Raya Iedul Adha 1444 H. Pada hari raya itu, setelah melaksanakan salat ied, maka kaum Muslimin yang mampu, diperintahkan untuk menyemblih hewan qurban. FSBF Sumedang telah menyiapkan sapi-sapi terbaik untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam yang hendak berkurban.

Dalam Qur'an surat Al-Kautsar jelas dinyatakan;

"Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)."

Sementara dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad SAW bersabda;

"Dari Abu Hurairah, "Rasulullah SAW telah bersabda, barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami," (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Terkait dengan hal itu, Fattah Syifa Barokah Farm (FSBF) Sumedang telah siap dalam hal pengadaan hewan qurban yang sehat dan sesuai dengan syarat-syarat syar'i untuk Hari Raya Iedul Adha 1444 H.

FSBF Sumedang bergerak di bidang usaha penggemukan sapi, sejak Maret 2019.

Dalam kandang yang terpelihara dengan baik, FSBF Sumedang memelihara sapi secara profesional, antaralain memberikan pakan terbaik berupa rumput segar dari jenis rumput pakchong, rumput odot, rumput kinggass, indigofera dan lain-lain. Rumput-rumput tersebut diambil dari ladang rumput milik sendiri.

Selain rumput, FSBF Sumedang juga menambahkan konsentrat ke dalam pakan, seperti Nutrifeed, ampas tahu serta mineral dan probiotik.

Selian itu, sapi ditimbang setiap bulannya supaya terukur kenaikan berat badannya serta pemberian obat-obatan dan multivitamin.

Untuk kesehatan dan keunggulan sapi-sapi kami, FSBF Sumedang juga secara rutin dan terus menerus menjaga kebersihan kandang. Dan untuk menjaga kesehatan kami, setiap hari sapi-sapai di FSBF Sumedang, di urus dan dimandikan.

Lokasi Farm (klik untuk melihat Google Maps) di dusun Kawungluwuk Desa Conggeang Kulon Kecamatan Conggeang kabupaten Sumedang.

Atau hubungi Nomor Telepon/Whatsapps : 082186692127
 
Berikut kami tunjukkan foto sapi-sapi dari kandang FSBF Sumedang;
  















Kemiripan Nasib Politik Jenderal Nasution dengan Dr. Amin Rais saat Pergantian Rezim di Indonesia. Sejarah Selalu Berulang?

Ada hal yang serupa tapi tak sama antara Jenderal Abdul Haris Nasution dan Dr. M. Amin Rais, ketika tiba di persimpangan masa pergantian rezim dan suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia. Pak Nas dan Pak Amin, sama-sama tokoh kunci dalam titk-titik yang menentukan. Tapi keduanya tidak pernah jadi Presiden Republik Indonesia.
Ada ujar-ujar yang menyebut; "sejarah selalu berulang.." . Entahlah... Bisa iya, bisa tidak. Tapi kalau direnungi apalagi dengan pendekatan cocoklogi, memang banyak substansi peristiwa sejarah yang berulang. hanya cara dan kisahnya yang berbeda. casing nya beda, isinya sama.

Tahun 1998, Prof. Dr. H. M. Amin Rais adalah simbol penting gerakan reformasi. Ada satu cerita, kalau saja tanggal 20 Mei 1998 Pak Amin tidak segera mengumumkan batalnya rencana aksi massa menduduki gedung MR/DPR, bisa saja hari itu akan banjir darah, seperti tragedi Tiananmen di Tiongkok. Untungnya, sekitar pukul 06.00, saya sendiri menyaksikan di televisi, Pak Amin umumkan pembatalan rencana aksi itu.

Artinya, Pak Amin punya "komando" terhadap ratusan ribu massa mahasiswa yang menyemut di sekitar Gedung MPR/DPR. Dia simbol penting. Dia salah satu tokoh yang lahir sebagai antitesis situasi otoriter sebuah rezim. Sejak tahun 1997 kritik-kritiknya terhadap Orde Baru sangat tajam. Maka beliau kemudian dikenal sebagai simbol dan pemimpin gerakan reformasi. Masyarakat pun terkagum-kagum.

Dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, banyak kalangan menilai Pak Amin layak dan punya peluang besar jadi presiden, jika Pak Harto lengser keprabon. Tapi kenyataaanya, tdak.

Kita mengetahui, pasca Presiden Soeharto berhenti jadi presiden, Wakil Presiden BJ Habiebie menggantikannya. Meski itu adalah pilihan terbaik secara konstitusional yang dapat ditempuh agar negeri ini tidak berantakan, namun Pak Amin Rais tetap bersuara lantang menyatakan ketidaksetujuannya.

Di satu sisi, Presiden BJ Habiebie sendiri sepertinya menyadari legitimasi politik kepemimpinannya cukup rentan. Salah satu langkah terbaik yang beliau ambil adalah percepatan pemilu, agar MPR/DPR dapat memilih kembali presiden dan wakil presiden. Maka diselenggarakanlah Pemilu 1999, pemilu yang konon paling demokratis, setelah Pemilu 1955.

Kembali ke peran Pak Amin Rais. Dalam pemilu 1999 itu, beliau memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). Namun di gelanggang parlemen hasil pemilu 1999, beliau malah memilih setuju sebagai Ketua MPR/DPR. Kita tahu, melalui Sidang Paripurna MPR/DPR tahun 1999, KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur yang kemudian terpilih dengan suara terbanyak sebagai presiden menggantikan Presiden BJ Habiebie.

Lantas di mana letak kemiripan nasib politik Pak Amin dengan Pak Nasution? Mari kita kembali ke catatan sejarah negeri ini di sekitar tahun 1967.

Kita tahu, Peristiwa G30S/PKI 1965 telah memicu gejolak sosial, politik, dan ekonomi di tanah air. Mahaiswa turun ke jalan. Aksi mahasiswa "Angkatan 66" menggemakan "Tritura", atau "Tiga Tuntutan Rakyat". Inti tuntutannya;
  1. Bubarkan PKI beserta onderbouwnya, 
  2. Retool (rombak) Kabinet Dwikora, dan 
  3. Turunkan Harga Pangan.
Aksi massa mahasiswa ini terjadi di Jakarta, Bandung, dan sejumlah daerah lain. Dan hal ini seperti menjadi sinyal kuat yang dikirim kepada Bung Karno bahwa sudah waktunya Pemimpin Besar Revolusi itu mundur. 

Tapi bedanya, jika di tahun 1998, mahasiswa menghadapi suatu rezim yang dibekingi oleh militer, sebaliknya, di era 1966, militer yang justru membekingi aksi mahasiswa.

Nah, dalam hal ini Jenderal AH. Nasution, sebagai jenderal yang paling senior dalam militer Indonesia saat itu, banyak tampil kemuka, mendorong aksi mahasiswa. Banyak kalangan menilai, Pak Nas, (panggilan akrab Jenderal Nasution) adalah sosok paling pantas untuk jadi presiden setelah Bung Karno jatuh. Tapi Pak Nas ternyata malah memilih untuk menjadi Ketua MPR Sementara (MPRS).

Pada tahun 1967, MPRS menggelar Sidang Istimewa. Dalam sidang itu, pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno berjudul "Nawaksara" ditolak secara bulat. Maka secara konstitusional, Soekarno harus rela turun dari kursi kepresidenan.


Terlepas dari soal apakah menjadi Ketua MPRS itu adalah pilihan strategi Pak Nas sendiri, atau desakan pihak lain, tapi dengan menjabat sebagai Ketua MPRS, dapat dibaca bahwa Pak Nas tidak terkondisi untuk menjadi presiden yang kedua bagi indonesia.

Padahal semua orang tahu dan kiranya sepakat jika pak nas adalah jenderal paling senior, dengan segudang pengalaman dan prestasi yang mentereng. beliau adalah generasi yang lahir dari rahim revolusi 1945.

Demikianlah. (*)




Pangeran Stichting Kumpulkan 31.000 Gulden untuk Membangun Lingga Sumedang

MONUMEN  Lingga di tengah alun-alun ini memiliki makna tersendiri bagi rakyat sumedang. Bahkan telah lama ditetapkan menjadi lambang resmi Kabupaten Sumedang.

Monumen itu dibangun oleh Pangeran Stichting, dan didedikasikan untuk Pangeran Aria Soeria Atmadja atas jasa-jasanya.


Gubernur Jenderal Dirk Fock hadir meresmikan Lingga
Sumber: Screenshot Film Dokumenter 

Nah, banyak yang mengira Pangeran Stichting itu adalah seorang bangsawan dari negeri belanda. Bahkan masih ada urang sumedang sendiri, yang menyebutnya Pangeran Sicing.. mirip nama bangsa cina..

Padahal Pangeran Stichting itu adalah sebuah lembaga yang terdiri dari belasan orang, salah satunya adalah Raden Sadikin, ayahanda dari Dr. Hasan Sadikin (nama rumah sakit nomor 1 di Jawa Barat), dan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta era 1970-an.

Bagaimana penjelasannya?

Kita mulai dengan membahas tentang Pangeran Aria Soeria Atmadja.

Seperti kita ketahui, Pangeran Aria Soeria Atmadja memerintah di Sumedang Regenschap sejak 31 Januari 1883 – 5 Mei 1919.. Beliau wafat di mekah saat melaksanakan ibadah haji pada 1 Juni 1921.

Di tangan Pangeran Soeria Atmadja itulah Sumedang Regentschap berkembang pesat. Banyak program inovatif yang digagas dan dijalankan oleh Soeria Atmadja di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Salah satu inovasinya adalah sistem terasering yang digunakan untuk membuka lahan sawah dan pertanian di dataran tinggi. Maka tentu saja, bukan hanya rakyat sumedang yang menjadi lebih sejahtera. Pemerintah kolonial hindia belanda pun diuntungkan.

Atas jasa-jasanya yang besar itulah sejumlah elit pemerintah kolonial, keluarga besar menak Sumedang, perwakilan swasta, dan perwakilan warga, kemudian berhimpun membentuk semacam kepanitiaan untuk membangun sebuah monumen sebagai "pangeling-ngeling" atau "mengenang" keberadaan Pangeran Aria Soeria Atmadja.

Nah, lembaga kepanitian itulah yang kemudian disebut sebagai "Pangeran Stichting" dan keberadaanya direstui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. Dirk Fock.

Dalam koran "Preanger Bode" disebutkan, Pangeran Stichting adalah;

de vereeniging ter herdenking van de nagedachtenis van pangeran aria soeria atmdjada

yang artinya kira-kira, perkumpulan yang dibentuk untuk memperingati kenangan (mengenang jasa-jasa) pangeran aria soeria atmadja.

Kliping Koran Preanger Bode

Ada empat belas orang nama yang tercantum sebagai pengurus dan anggota Pangeran Stichting, yaitu

  • AJH. Eiken, residen priangan sebagai ketua
  • CA. de Munnick, asisten residen sumedang sebagai sekretaris
  • I de Vries, pengurus soemedangrische afdeelingsbank, sebagai bendahara
  • Tumendang Kusumadilaga, bupati sumedang
  • Raden Adipati Wiratanoeningrat, bupati tasikmalaya
  • A.J.N Engelenberg, anggota volksraad parlemn
  • H.C.H de Bie, inspektur pendidikan
  • Dr. H.J. Van Der Schroeff, dokter bangsa belanda
  • A.E. Reijnst, ketua perkebunan di sukabumi
  • Raden Kartakusuma, wedana tanjungsari
  • Mas Hadji Abdulmanan, penghulu tandjongsari,
  • Raden Sadikin, guru pertanian pribumi
  • Sumadiria, petani/peternak, dari kalangan warga
  • Tanumanggala, partikulir atau pengusaha pribumi

Untuk melaksanakan rencan a proyek tersebut, Pangeran Stichting kemudian membentuk semacam tim pelaksana. "Preanger Bode" menuliskan, tim ini melibatkan;

  • Raden Adipati Aria Martanegara, mantan bupati Bandoeng.
  • J.Z. van dijck, mantan guru di garoet, yang diminta oleh de pangeran stichting untuk merancang desain monumen yang akan dibangun.
  • W. H. Elsman, seorang insinyur sipil yang ditugasi penyusunan anggaran sesuai desain yang dibuat oleh van dijck,
  • H. Buijs, insinyur dari de techniche hoogeschool te bandung (atau itb sekarang), yang ditugasi sebagai pimpinan pelaksana pembangunan lingga
  • dr. C. Kunst, seorang biologist (dokter heewan) dari unsur pemerintah kolonial yang bertanggungjawab atas rancangan model padang rumput di sekitar lingga
Pangeran stichting kemudian menggalang dana dari berbagai pihak untuk merealisasikan rencana pembangunan monumen. Preanger bode edisi 16 januari 1922 melaporkan, dana yang berhasil dikumpulkan mencapai lebih dari 31.000 gulden.

Dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh seluruh pengurus dan anggotanya, Pangeran Stichting kemudian memutuskan pengalokasian dana tersebut sebagai berikut;
  • 7000 gulden untuk pembangunan fisik monumen
  • 5100 gulden untuk pembangunan taman sekitar monumen (atau alun-alun sumedang)
  • 18000 gulden kemudian didepositokan di soemedangrische afdeelingsbank
Nilai anggaran sebesar itu didasarkan atas kajian Van Dijck, Elsman, dan Buijs

Monumen yang direncanakan akhirnya berhasil dibangun dalam waktu sekitar tiga bulan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Drik Fock datang langsung ke Sumedang dan meresmikan lingga pada hari selasa, tanggal 25 april 1922.

Di salah satu permukaan Lingga terdapat pahatan marmer yang antara lain bertuliskan; 

ridder van de orde van den nederlandschen leeuw, offidier vande orde van oranje nassau, payung song-song kuning dan dianugerahi bintang mas

(ksatria ordo singa belanda, perwira ordo oranye nassau, payung song-song kuning dan bintang emas. itu semua adalah tanda-tanda jasa yang diterima Pangeran Soeria Atmadja dari Kerajaan Belanda di Den Hag serta Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia.)

Namun pahatan marmer ni telah dicabut saat Linggu itu dipugar pada sekitar tahun 1971.

Bagian dasar bangunan Lingga berbentuk bujur sangkar dan dilengkapi dengan sejumlah anak tangga serta pagar disetiap sisinya. bangunan utamanya semacam kubus yang sedikit melengkung disetiap sudut bagian atasnya.

Warga berpose di depan Lingga
Sumber: Koleksi Sang Kelana, 2011

Di dalam bangunan utama ini lingga terdapat sebuah tempat untuk menyimpan barang-barang pusaka peninggalan bupati terdahulu. Lalu bagian atasnya berbentuk kubah setengah lingkaran. kubah lingga ini dapat dibuka dan menjadi akses pengambilan barang-barang yang tersimpan di dalamnya.

Sesepuh sumedang, almarhum Raden Achmad Wiriaatmadja atau Aom ahmad pernah mengatakan bahwa kubah tersebut sempat dibuka. Menurut beliau barang-barang pusaka di dalam Lingga tersebut kemudian dipindahkan ke museum prabu geusan ulun sumedang. Sayang beliau tidak mengatakan kapan kubah lingga itu dibuka. namun dugaan saya, besar kemungkinan saat lingga tersebut dipugar. (^)

Referensi;

Kliping Surat Kabar Preanger bode edisi 16 januari 1922
Dedi Rustandi, "Sekitar Masjid Agung Sumedang", Dinas Arsip Sumedang, 2013
Dokumen Resmi Pembangunan Monumen Lingga