SIANG itu, bulan Juli 1994, usai pulang sekolah, Kang Ridwan Mustofa, dan beberapa senior kelas 3, mengumpulkan kami, angkatan "Taruna Bangsa 93" Paskibra Smansa Sumedang, di Aula sekolah. Saat itu, disampaikanlah bahwa kami harus mengikuti lomba baris berbaris (LBB) yang digelar oleh Paskibra Kota Bandung.
Satu peleton disiapkan untuk itu. Dan aku sendiri, hanya menjadi personel cadangan. Aku senang saja sebagai cadangan. Setidaknya aku bisa turut bersama teman-teman, menemani perjuangan mereka.
Selain Kang Yayan, senior kelas 3 yang membimbing kami antara lain Kang Ridwan Mustofa, Kang Ade, Kang Cecep Ridwan serta Teh Wiwin.
Guru Pembina eskul Paskibra yang turut hadir dan menginap di rumah Ige itu adalah Pak Timbul Kusdiantoro, dan Pak Ujang Sudrajat (Allahuyarham). Adapun Bu Tuti Supriati (sebagai salah seorang pembina OSIS) bergabung di lokasi kegiatan. Bahkan aku ingat, saat sudah di lokasi lomba, datang pula Kang Kurniawan Hidayat, senior yang sudah menjadi alumni, datang menyemangati kami. Dia anggota Purna Paskibraka Indonesia 1992.
Satu yang cukup berkesan saat itu adalah bergabungnya seorang siswi pindahan asal Jakarta. Namanya Nia Dwi Jualianti. Pengalaman Nia saat menjadi anggota Paskibra di sekolah lamanya di Jakarta, membuat dia cepat bahkan langsung bisa beradaptasi dengan kami sebagai satu pasukan. Bahkan, Nia DJ terpilih dalam seleksi calon anggota Paskibraka DKI Jakarta dan siap mengibarkan bendera tanggal 17 Agustus 1994. Tapi kepindahannya ke Sumedang, membuat hal itu tak terjadi.
Nia yang cantik, tubuhnya semampai ideal, pandai bergaul, khas anak kota, namun tidak sombong, tentu membuat kami senang. Beberapa di antara kami bahkan para senior kelas 3, nampak berupaya tebar pesona di depan dia. Hahahaha... tapi yang kutahu semua gagal. Nia hanya senyum-senyum, manis dan ramah menanggapi mereka semua.
Oiya, saat itu pun mulai bergabung Rudi Pebriana, sahabat sepermainan sejak SMP. Dia pindahan dari SMA Tanjungsari, dan turut bergabung di Paskibra.
Selepas maghrib, kami tiba di Arcamanik. Pak Dodi Kusumaningrat (allahuryarham) ayah Ige, dan Mamah (saya memanggil ibunya Ige), serta si Ade bayi (adik bungsu Ige) yang saat itu sudah bisa berjalan, menyambut kami.
Karena mungkin hanya Aku dan Rudi yang dikenal baik oleh orang tua Ige, maka merekalah yang memintaku dan Rudi untuk turut mempersiapkan segala sesuatunya di rumah itu. Aku pun tentu saja tak sungkan. Tak merasa menjadi tamu.
Waktu senggang selepas Isya dan sudah pada mandi, senang rasanya kami berkumpul bersama, ngobrol, becanda, bernyanyi bersama, dalam suasana yang berbeda dari hari-hari biasa.
Kami saat itu tanpa Arif, Rizti, dan Dwi Kiki. Arif masuk barak calon anggota Paskibraka Jawa Barat. Sementara Rizti dan Dwi Kiki masuk barak capaska Sumedang. Hanya tiga teman itulah yang terpilih dalam seleksi.
Di antara teman-teman Paskibra, aku terbilang yang paling lancar bermain gitar. Beberapa lagu yang sedang Hits saat itu pun dinyanyikanku bersama beberapa orang teman.
Tentu saja petikan gitarku, jangan dibandingkan dengan Kang Cecep Ganda, atau anak-anak band. Yang penting asal Chord-nya masuk, dan genjrengnya tepat saja. Tapi karena ada Nia DJ, si anggota baru itu, aku berusaha memetik gitar sehebat mungkin, sebagus mungkin, sebisaku. Dan akhirnya berhasil juga membuat dia menyapaku dengan senyum. Hahahah...
“Eh nyanyiin lagu Fixing a Broken Heart, dong” kata Nia DJ nyeletuk.
"Oh..euu..iya...eh yang mana ya?" tanyaku. Wajahku mulai terasa blo'on.
Seperti pernah dibilang oleh Nova Rukhaida (anak Fisika 1), aku merasa PLUTO...Polos, Lugu, dan Tolol.
"Ah masa sih gak tau, itu tuh lagunya Indecent Obsession, bisa kan?," kata Nia, dengan wajah yang tetap ramah, dan tersenyum padaku.
Sejujurnya aku tak tahu. Maklum, tak seperti kebanyakan teman-teman yang selalu up to date dengan trend remaja saat itu, sejak SMP aku memang lebih suka lagu dari artis Indonesia, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Chrisye, dan lagu-lagu jadul dari Koes Plus, Panbers, Madesya Grup. Dan..hmm...sedikit ku suka dangdutnya Bang Haji Oma Irama. Kalau lagu sunda, ya Kang Doel Sumbang, dan Darso.
Maka, saat Nia DJ request lagu itu, meskipun memang sedang hits, aku celingak-celinguk tak karuan.
"Hmm..gini nih...," kata Nia, sambil mendekat, duduk di sampingku, di teras rumah Ige, sambil terus bersenandung, mengajariku nada dan liriknya.
Akhirnya aku coba-coba saja. Dengan sedikit memejamkan mata, bergaya seperti seorang musisi hebat menyusun chord lagu, saya berusaha kuat supaya Nia DJ tak kecewa. Hasilnya lumayan. Setidaknya tak membuat Nia serta temen-temen yang denger mengerutkan kening karena sumbang.
"Lagu lain, bisa gak, Lagunya Whitney Houston ?" kata Nia. Suaranya begitu terdengar syahdu.
"Iya Cus, lagunya Saigon Kick bisa gak?" kata Deci Kuswardhani, ikutan nibrung.
![]() |
| Paskibra Smansa "Taruna Bangsa" saat ikut LBB di Taman Balaikota Bandung, 5 Agustus 1994. |
Demi menghemat tenaga dan konsentrasi, maka kami memutuskan untuk menginap satu hari di Bandung. Untuk itu, Asep Indra Gumilar (Ige), sahabat baikku sejak SMP, kembali berperan besar. Dia mempersilahkan rumah orangtuanya di Komplek Arcamanik Kota Bandung, untuk dijadikan tempat menginap seluruh tim. Maka kami pun berangkat Sabtu sore 4 Agustus 1994 menuju rumah Ige, di Bandung.
Sekedar catatan saja, pasukan yang ikut ke Bandung saat itu adalah; Windhu Tresna, Roni Tonius, Rika Romayanti, Yunyun Yuniar, Nia Dwi, Tita Roosdiana (botit), Dianty Soberlin (Berlin), Taufik Priatna, Gumelar, Dendi, Alya Fadhila, Ige, Erna, Aten Satiana, dan Meti.
Mereka adalah anggota inti. Sementara Mahmud Fasya, Rudi Pebriana, Nova Rukhaida, Heni Rohani, Deci Kuswardhani, dan saya sendiri sebagai anggota cadangan sekaligus penggembira.
Sekedar catatan saja, pasukan yang ikut ke Bandung saat itu adalah; Windhu Tresna, Roni Tonius, Rika Romayanti, Yunyun Yuniar, Nia Dwi, Tita Roosdiana (botit), Dianty Soberlin (Berlin), Taufik Priatna, Gumelar, Dendi, Alya Fadhila, Ige, Erna, Aten Satiana, dan Meti.
Mereka adalah anggota inti. Sementara Mahmud Fasya, Rudi Pebriana, Nova Rukhaida, Heni Rohani, Deci Kuswardhani, dan saya sendiri sebagai anggota cadangan sekaligus penggembira.
Kami sudah menginjak di kelas 2 saat itu. Hanya Kang Yayan Yunari, senior kelas 3 ditunjuk sebagai danton. Entah alasannya apa. Mungkin karena dari seluruh anggota pasukan Taruna Bangsa, suaranya cempreng semua. Kurang nge-bass. Hehehe..
Selain Kang Yayan, senior kelas 3 yang membimbing kami antara lain Kang Ridwan Mustofa, Kang Ade, Kang Cecep Ridwan serta Teh Wiwin.
Guru Pembina eskul Paskibra yang turut hadir dan menginap di rumah Ige itu adalah Pak Timbul Kusdiantoro, dan Pak Ujang Sudrajat (Allahuyarham). Adapun Bu Tuti Supriati (sebagai salah seorang pembina OSIS) bergabung di lokasi kegiatan. Bahkan aku ingat, saat sudah di lokasi lomba, datang pula Kang Kurniawan Hidayat, senior yang sudah menjadi alumni, datang menyemangati kami. Dia anggota Purna Paskibraka Indonesia 1992.
Satu yang cukup berkesan saat itu adalah bergabungnya seorang siswi pindahan asal Jakarta. Namanya Nia Dwi Jualianti. Pengalaman Nia saat menjadi anggota Paskibra di sekolah lamanya di Jakarta, membuat dia cepat bahkan langsung bisa beradaptasi dengan kami sebagai satu pasukan. Bahkan, Nia DJ terpilih dalam seleksi calon anggota Paskibraka DKI Jakarta dan siap mengibarkan bendera tanggal 17 Agustus 1994. Tapi kepindahannya ke Sumedang, membuat hal itu tak terjadi.
Nia yang cantik, tubuhnya semampai ideal, pandai bergaul, khas anak kota, namun tidak sombong, tentu membuat kami senang. Beberapa di antara kami bahkan para senior kelas 3, nampak berupaya tebar pesona di depan dia. Hahahaha... tapi yang kutahu semua gagal. Nia hanya senyum-senyum, manis dan ramah menanggapi mereka semua.
Oiya, saat itu pun mulai bergabung Rudi Pebriana, sahabat sepermainan sejak SMP. Dia pindahan dari SMA Tanjungsari, dan turut bergabung di Paskibra.
Selepas maghrib, kami tiba di Arcamanik. Pak Dodi Kusumaningrat (allahuryarham) ayah Ige, dan Mamah (saya memanggil ibunya Ige), serta si Ade bayi (adik bungsu Ige) yang saat itu sudah bisa berjalan, menyambut kami.
Karena mungkin hanya Aku dan Rudi yang dikenal baik oleh orang tua Ige, maka merekalah yang memintaku dan Rudi untuk turut mempersiapkan segala sesuatunya di rumah itu. Aku pun tentu saja tak sungkan. Tak merasa menjadi tamu.
Waktu senggang selepas Isya dan sudah pada mandi, senang rasanya kami berkumpul bersama, ngobrol, becanda, bernyanyi bersama, dalam suasana yang berbeda dari hari-hari biasa.
Kami saat itu tanpa Arif, Rizti, dan Dwi Kiki. Arif masuk barak calon anggota Paskibraka Jawa Barat. Sementara Rizti dan Dwi Kiki masuk barak capaska Sumedang. Hanya tiga teman itulah yang terpilih dalam seleksi.
Di antara teman-teman Paskibra, aku terbilang yang paling lancar bermain gitar. Beberapa lagu yang sedang Hits saat itu pun dinyanyikanku bersama beberapa orang teman.
Tentu saja petikan gitarku, jangan dibandingkan dengan Kang Cecep Ganda, atau anak-anak band. Yang penting asal Chord-nya masuk, dan genjrengnya tepat saja. Tapi karena ada Nia DJ, si anggota baru itu, aku berusaha memetik gitar sehebat mungkin, sebagus mungkin, sebisaku. Dan akhirnya berhasil juga membuat dia menyapaku dengan senyum. Hahahah...
“Eh nyanyiin lagu Fixing a Broken Heart, dong” kata Nia DJ nyeletuk.
"Oh..euu..iya...eh yang mana ya?" tanyaku. Wajahku mulai terasa blo'on.
Seperti pernah dibilang oleh Nova Rukhaida (anak Fisika 1), aku merasa PLUTO...Polos, Lugu, dan Tolol.
"Ah masa sih gak tau, itu tuh lagunya Indecent Obsession, bisa kan?," kata Nia, dengan wajah yang tetap ramah, dan tersenyum padaku.
Sejujurnya aku tak tahu. Maklum, tak seperti kebanyakan teman-teman yang selalu up to date dengan trend remaja saat itu, sejak SMP aku memang lebih suka lagu dari artis Indonesia, seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, Chrisye, dan lagu-lagu jadul dari Koes Plus, Panbers, Madesya Grup. Dan..hmm...sedikit ku suka dangdutnya Bang Haji Oma Irama. Kalau lagu sunda, ya Kang Doel Sumbang, dan Darso.
Maka, saat Nia DJ request lagu itu, meskipun memang sedang hits, aku celingak-celinguk tak karuan.
"Hmm..gini nih...," kata Nia, sambil mendekat, duduk di sampingku, di teras rumah Ige, sambil terus bersenandung, mengajariku nada dan liriknya.
Akhirnya aku coba-coba saja. Dengan sedikit memejamkan mata, bergaya seperti seorang musisi hebat menyusun chord lagu, saya berusaha kuat supaya Nia DJ tak kecewa. Hasilnya lumayan. Setidaknya tak membuat Nia serta temen-temen yang denger mengerutkan kening karena sumbang.
"Lagu lain, bisa gak, Lagunya Whitney Houston ?" kata Nia. Suaranya begitu terdengar syahdu.
"Iya Cus, lagunya Saigon Kick bisa gak?" kata Deci Kuswardhani, ikutan nibrung.
Tentu kedua request ttu kujawab dengan geleng-geleng kepala. Ampuuun dah...lagu barat, aku tak bisa. Hahaha..
Begitulah yang kuingat. Selanjutnya, aku, Dendi, Nia, Deci, Yuyun, Henti, dan Alya, asyik bercengkrama dan nyanyi-nyanyi bersama mengisi waktu malam itu.
Di rumah Ige itu, semua terlihat enjoy. Senioritas dan suasana formal yang biasa terjadi dalam barisan Paskibra sepertinya tidak berlaku. Pak Timbul, Kang Ridwan Mustafa dan lain-lain, malah ikut bercanda, bercengkrama.
Dari ruang tengah, kudengar Taufiq Priatna tawa terbahak-bahak, nampak senang ketika kartu dominonya berhasil poldan. Ada pula Mahmud yang nampak serius ngobrol sama Aten dan Gumelar. Lalu Ige, kawan karibku itu nampak ngobrol becanda dengan Berlin, Botit, Meti, dan lain-lain.
Setelah asyik nyanyi bersama, Nia Dj, dan Alya, memilih masuk bergabung ke ruang tengah. Tinggal saya dan Yunyun di teras rumah.
Saat itulah aku mulai berterus terang kepada Yunyun tentang si Bidadari yang nyuci kaki depan kelas. (Kisah si Bidadari itu jadi inspirasi novel pertama yang saya tulis). Aku merasa perlu curhat kepada dia, karena Yunyun adalah teman sebangku si bidadari saat di kelas. Tentu ada kedekatan yang lebih dibanding yang lain.
“Adeuuh…nyaan yeuh? Ke ku Yunyun disaurkeun,” kata dia sambil senyum.
“Eh..tapi kumaha ceritana bisa naksir?” lanjut Yuyun, bertanya.
“Panjanglah cerita na mah. Tapi..euu dia ayeuna tos gaduh kabogoh teu acan nya Yun?” kataku balik bertanya.
“Duka tah perkawis eta mah. Tapi perasaan Yun mah, jigana belum tah. Sok atuh deketin, didukunglah,” kata Yunyun sambil senyum-senyum gitu.
“Mungkin teu nya?,” tanyaku, seperti bicara pada diri sendiri.
“Mungkin Naon?,” jawab Yunyun
“Ah henteu…hahah…salam we heula nya..,” kataku.
“Ah teu puguh,” kata Yunyun.
Aku tertawa. Sesaat kemudian, datanglah teman-teman yang lain bergabung, dan kami pun melanjutkan dengan obrolan yang lain.
Baru sekitar puku 23.00, Kang Ridwan Mustafa meminta kami semua untuk segera tidur, karena keesokan harinya kami akan mengikuti lomba yang bertempat di Balai Kota Bandung.
Aku sendiri bukan pasukan inti. Karenanya, senior memaklumiku bila tak taat instruksi untuk segera tidur. Apalagi, di rumah itu, orang tua Ige mengandalkanku untuk membantu melayani teman-teman.
Ketika teman-teman tidur atau setidaknya berusaha untuk tidur, saya tetap saja duduk di teras rumah. Seperti kebiasaanku, merenung sendiri. Namun tentu tak berani merokok. Hehehe...
Aku memeluk kedua lututku. Suasana sekitar mulai hening. Obrolan dengan Yunyun sesaat sebelumnya, membuatku senyum-senyum sendiri. Ada sesuatu di rongga dadaku yang ingin kuungkapkan. Tapi kepada siapa?
Aku menoleh ke ruang tamu, tempat di mana teman-temanku tidur seperti di barak saat pelantikan dulu. Terbayang beberapa kisah selama kami semua senasib dan seperjuangan saat kelas 1. Aku bangga pada teman-temanku. Aku senang telah kenal, dan bersama mereka di Paskibra.
“Can tunduh Sas?” kataku pada Sastra yang nampak belum ngantuk, dan sedang menonton siaran televisi, bersama beberapa kawan dan senior.
“Acan euy. Maneh keur naon? Geura sare, ” ujarnya sambil senyum. Aku menjawabnya dengan tersenyum. Saat itu dia belum sangat akrab denganku.
Aku terus saja melamun di luar. Jujur, ingin sekali aku merokok saat itu. Tapi tak mungkin tega, aku merokok di depan teman-temanku. Bukannya takut. Tapi aku menghargai korps, guru-guru kami, dan tentu saja kedua orang tua Ige.
Saat itulah Deci menghampiriku. Dia sama denganku, bukan anggota pasukan inti yang akan berlomba.
“Dieu Ci,” kataku mempersilahkannya duduk di sampingku. Kami kemudian ngobrol.
“Hayoh keur ngalamun tentang saha?," tanya Deci sambil nyengir.
Deci memang salah satu sahabat perempuan yang akrab denganku. Dia teman curhat dan ngobrol yang asyik dan hangat. Aku bisa bicara apa saja pada dia tentang apapun, termasuk urusan cinta. Hahaha.. Selain Arif dan Sastra, dia selalu ada menampung gelisahku untuk urusan itu.
Maka tak heran bila malam itu, aku terus terang tentang si Bidadari kepadanya. Aku belajar memahami seperti apa dan bagaimana cara pendekatan yang baik untuk mendapat perhatian seorang perempuan yang kutaksir. Ah..aku memang Pluto untuk urusan ini. Istilah saat itu, "kurang kawani". Jauh bila dibanding Arif dan Sastra. hahaha..
Beberapa saat kemudian Deci pamit masuk ke dalam rumah, dan aku tetap di teras. Obrolan dengan Deci tentang dia. tertancap di benak, dan pelan-pelan merasuki hati, menghidupkan kembali sesuatu yang kusimpan di dalamnya, sejak pertemuan di Gunung Palasari.
“*..! Mungkinkah?!,” gumamku, sambil menghela nafas, mengakhiri lamunan.
Aku langsung masuk rumah, dan bergabung dengan Sastra, nonton tv hingga tertidur.
**
Esok harinya, 5 Agustus 1994. setelah bersiap, pamit dan berterima kasih kepada kedua orang tua Ige, kami semua meluncur ke tempat lomba. Kami bertemu dengan sesama anggota Paskibra dari sekolah lain se-Jawa Barat. Lomba pun berlangsung, dan kami tak masuk kategori juara.
Bagaimana bisa juara. Dari seluruh pasukan se Jawa Barat, hanya Paskibra Smansa Sumedang yang memakai seragam putih-abu. Sangat sederhana sekali. Para peserta lain menggnakan baju seragam lapangan khas mereka, lengkap dengna atribut kebesaran satuan mereka.
Bukan juara yang kami kejar. Tapi pengalaman, keakraban, kebersamaan, dan suasana yang hangat saat kami datang ke Bandung itulah yang bagiku jauh lebih berarti daripada piala lomba atau gelar juara.
Dan bagiku sendiri, momen itu menjadi momen di mana untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Taman Balaikota Bandung. Aku tak pernah menyangka, jika taman dengan pepohonan yang teduh serta patung Badak Putih di tengahnya itu, menjadi tempat yang akrab denganku beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah di Bandung, dengan kisah yang lain, yang berbeda, tapi tak kalah indah. (*)
Begitulah yang kuingat. Selanjutnya, aku, Dendi, Nia, Deci, Yuyun, Henti, dan Alya, asyik bercengkrama dan nyanyi-nyanyi bersama mengisi waktu malam itu.
Di rumah Ige itu, semua terlihat enjoy. Senioritas dan suasana formal yang biasa terjadi dalam barisan Paskibra sepertinya tidak berlaku. Pak Timbul, Kang Ridwan Mustafa dan lain-lain, malah ikut bercanda, bercengkrama.
Dari ruang tengah, kudengar Taufiq Priatna tawa terbahak-bahak, nampak senang ketika kartu dominonya berhasil poldan. Ada pula Mahmud yang nampak serius ngobrol sama Aten dan Gumelar. Lalu Ige, kawan karibku itu nampak ngobrol becanda dengan Berlin, Botit, Meti, dan lain-lain.
Setelah asyik nyanyi bersama, Nia Dj, dan Alya, memilih masuk bergabung ke ruang tengah. Tinggal saya dan Yunyun di teras rumah.
Saat itulah aku mulai berterus terang kepada Yunyun tentang si Bidadari yang nyuci kaki depan kelas. (Kisah si Bidadari itu jadi inspirasi novel pertama yang saya tulis). Aku merasa perlu curhat kepada dia, karena Yunyun adalah teman sebangku si bidadari saat di kelas. Tentu ada kedekatan yang lebih dibanding yang lain.
“Adeuuh…nyaan yeuh? Ke ku Yunyun disaurkeun,” kata dia sambil senyum.
“Eh..tapi kumaha ceritana bisa naksir?” lanjut Yuyun, bertanya.
“Panjanglah cerita na mah. Tapi..euu dia ayeuna tos gaduh kabogoh teu acan nya Yun?” kataku balik bertanya.
“Duka tah perkawis eta mah. Tapi perasaan Yun mah, jigana belum tah. Sok atuh deketin, didukunglah,” kata Yunyun sambil senyum-senyum gitu.
“Mungkin teu nya?,” tanyaku, seperti bicara pada diri sendiri.
“Mungkin Naon?,” jawab Yunyun
“Ah henteu…hahah…salam we heula nya..,” kataku.
“Ah teu puguh,” kata Yunyun.
Aku tertawa. Sesaat kemudian, datanglah teman-teman yang lain bergabung, dan kami pun melanjutkan dengan obrolan yang lain.
Baru sekitar puku 23.00, Kang Ridwan Mustafa meminta kami semua untuk segera tidur, karena keesokan harinya kami akan mengikuti lomba yang bertempat di Balai Kota Bandung.
Aku sendiri bukan pasukan inti. Karenanya, senior memaklumiku bila tak taat instruksi untuk segera tidur. Apalagi, di rumah itu, orang tua Ige mengandalkanku untuk membantu melayani teman-teman.
Ketika teman-teman tidur atau setidaknya berusaha untuk tidur, saya tetap saja duduk di teras rumah. Seperti kebiasaanku, merenung sendiri. Namun tentu tak berani merokok. Hehehe...
Aku memeluk kedua lututku. Suasana sekitar mulai hening. Obrolan dengan Yunyun sesaat sebelumnya, membuatku senyum-senyum sendiri. Ada sesuatu di rongga dadaku yang ingin kuungkapkan. Tapi kepada siapa?
Aku menoleh ke ruang tamu, tempat di mana teman-temanku tidur seperti di barak saat pelantikan dulu. Terbayang beberapa kisah selama kami semua senasib dan seperjuangan saat kelas 1. Aku bangga pada teman-temanku. Aku senang telah kenal, dan bersama mereka di Paskibra.
“Can tunduh Sas?” kataku pada Sastra yang nampak belum ngantuk, dan sedang menonton siaran televisi, bersama beberapa kawan dan senior.
“Acan euy. Maneh keur naon? Geura sare, ” ujarnya sambil senyum. Aku menjawabnya dengan tersenyum. Saat itu dia belum sangat akrab denganku.
Aku terus saja melamun di luar. Jujur, ingin sekali aku merokok saat itu. Tapi tak mungkin tega, aku merokok di depan teman-temanku. Bukannya takut. Tapi aku menghargai korps, guru-guru kami, dan tentu saja kedua orang tua Ige.
Saat itulah Deci menghampiriku. Dia sama denganku, bukan anggota pasukan inti yang akan berlomba.
“Dieu Ci,” kataku mempersilahkannya duduk di sampingku. Kami kemudian ngobrol.
“Hayoh keur ngalamun tentang saha?," tanya Deci sambil nyengir.
Deci memang salah satu sahabat perempuan yang akrab denganku. Dia teman curhat dan ngobrol yang asyik dan hangat. Aku bisa bicara apa saja pada dia tentang apapun, termasuk urusan cinta. Hahaha.. Selain Arif dan Sastra, dia selalu ada menampung gelisahku untuk urusan itu.
Maka tak heran bila malam itu, aku terus terang tentang si Bidadari kepadanya. Aku belajar memahami seperti apa dan bagaimana cara pendekatan yang baik untuk mendapat perhatian seorang perempuan yang kutaksir. Ah..aku memang Pluto untuk urusan ini. Istilah saat itu, "kurang kawani". Jauh bila dibanding Arif dan Sastra. hahaha..
Beberapa saat kemudian Deci pamit masuk ke dalam rumah, dan aku tetap di teras. Obrolan dengan Deci tentang dia. tertancap di benak, dan pelan-pelan merasuki hati, menghidupkan kembali sesuatu yang kusimpan di dalamnya, sejak pertemuan di Gunung Palasari.
“*..! Mungkinkah?!,” gumamku, sambil menghela nafas, mengakhiri lamunan.
Aku langsung masuk rumah, dan bergabung dengan Sastra, nonton tv hingga tertidur.
**
Esok harinya, 5 Agustus 1994. setelah bersiap, pamit dan berterima kasih kepada kedua orang tua Ige, kami semua meluncur ke tempat lomba. Kami bertemu dengan sesama anggota Paskibra dari sekolah lain se-Jawa Barat. Lomba pun berlangsung, dan kami tak masuk kategori juara.
Bagaimana bisa juara. Dari seluruh pasukan se Jawa Barat, hanya Paskibra Smansa Sumedang yang memakai seragam putih-abu. Sangat sederhana sekali. Para peserta lain menggnakan baju seragam lapangan khas mereka, lengkap dengna atribut kebesaran satuan mereka.
Bukan juara yang kami kejar. Tapi pengalaman, keakraban, kebersamaan, dan suasana yang hangat saat kami datang ke Bandung itulah yang bagiku jauh lebih berarti daripada piala lomba atau gelar juara.
Dan bagiku sendiri, momen itu menjadi momen di mana untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Taman Balaikota Bandung. Aku tak pernah menyangka, jika taman dengan pepohonan yang teduh serta patung Badak Putih di tengahnya itu, menjadi tempat yang akrab denganku beberapa tahun kemudian, saat aku kuliah di Bandung, dengan kisah yang lain, yang berbeda, tapi tak kalah indah. (*)




.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)

.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)

.jpeg)
.jpeg)



